Di Amerika Serikat, Donald Trump makin santer jadi bahan pemberitaan. Termasuk di Indonesia, presiden anyar AS hanya bersaing dengan mantan presiden negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono.
Satu titik temu antara figur yang baru menguasai satu negara dengan yang sudah dua tahun lebih meninggalkan kursi kekuasaan, sama-sama terlihat resah.
Trump resah oleh isu terorisme dan khawatir negaranya jadi sasaran Islam garis keras. Walhasil beberapa negara dicoret olehnya alias dilarang menyambangi wilayah kekuasaannya.
SBY resah oleh isu yang mendudukkannya sebagai salah satu aktor dibalik ribut-ribut politik di negeri ini. Sebuah keresahan yang bersambung dengan keresahan lainnya; tetap sebagai sosok disegani rakyatnya, dan juga bagaimana "putra mahkota"-nya bisa menjadi magnet di sebuah medan laga bernama Pilkada.
Percayalah, keresahan Trump di Amerika sana tidaklah lebih besar dari keresahan SBY di Nusantara ini.
Kenapa? Trump sudah berusia terlalu sepuh, dan belum tentu masa jabatannya akan lebih panjang dari usianya yang tersisa.
Sementara SBY terbilang masih potensial, untuk memupuk kekuatan politik; muncul lagi ke atas atau mengangkat anaknya sendiri agar namanya abadi di negeri ini.
Artinya, berbicara ambisi, rasanya Trump tak lagi terlalu berambisi. Sebab melihat rekam jejaknya, di luar bisnis pribadinya tak ada lagi yang membetot perhatiannya.
Politik bagi Trump tak lebih seperti sebuah rumah tangga, jika "tangga" di sana dirasa terlalu rapuh, ia bisa berganti tangga ke tempat lain yang juga tinggi--entah itu mungkin di surga. Apalagi, dari pernikahan pun Trump sudah tiga kali menikah, menjadi bukti dia tak melihat apa pun yang betul-betul sakral--apalagi politik?
Beda halnya dengan SBY, lahir dan besar hingga berkuasa di sebuah negara yang memang kental feodalisme. Di sini kekuasaan betul-betul menjadi "tahta" yang di sana bisa membuat siapa saja harus menunduk di depan "raja".
SBY paham, sekadar punya kekuatan tanpa adanya tahta, maka tak ada bedanya dengan para mafioso yang hanya bisa menggertak tapi hanya untuk ditakuti, bukan benar-benar dituruti.
Apalagi, sebagai mantan presiden dan menjadi otak di balik kelahiran sebuah partai, melupakan begitu saja sebuah tahta yang pernah ditempati bukanlah sesuatu yang mudah.
Belum lagi dia juga melihat rekam jejak Soeharto sebagai pendahulunya, bisa melahirkan sebuah kekuatan politik yang sangat matang walaupun dia sendiri tak menjabat sebagai ketua umum.
Itu tentu saja menjadi hal yang sangat logis jika kemudian mengakibatkan lahirnya cemburu. Belum lagi salah satu rivalnya, Megawati Soekarnoputri, dengan kendaraannya PDIP sukses menjembataninya berkuasa, selain juga mengantarkan orang lain untuk juga berkuasa.
Apalagi, Megawati pun terlalu "kasar" menyindirnya. Memupuk seorang Puan Maharani--putrinya--hingga begitu rupa, berpengaruh di ranah politik hingga di lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Sementara SBY adalah seorang pendiri partai, yang pernah menyalip Mega, dan pernah menancapkan kuku di negeri ini hingga satu dekade.
Satu dekade berkuasa, tapi tak meninggalkan bekas apa-apa kecuali ingatan kuat rakyat atas seabrek masalah diwariskannya, ibarat nyawa yang meninggalkan tubuh sebelum sempat menebus dosa; hanya dibayangi dosa.
Mega sadis. Dia punya kekurangan saat dia berkuasa, dari persoalan perang dengan separatis yang tak teratasi hingga kemelut "lumbung uang" pada perusahaan yang punya sangkut paut langsung dengan negara. Tapi dia justru "membayar" itu lewat tangan lain, lewat sosok bernama Joko Widodo, yang sejauh ini mampu bermain ibarat kuda di meja catur politik negeri ini.
Pekerjaan SBY saat ini bukan untuk menutupi gerak kuda itu. Sebab kematian kuda sekalipun belum menjanjikan kemenangan, walaupun keberadaan kuda rentan menjadi penyebab kekalahan.
SBY hanya membatasi kuda tersebut tak terlalu masuk ke wilayahnya, dan rentan membuat area dikuasainya teracak-acak. Itu bisa berakibat terlalu fatal.
Bagaimana tidak, tersangkutnya beberapa figur di lingkaran terdekatnya dengan perkara terbilang aib besar korupsi, sudah menjadi sebuah hantaman sangat tragis.
Ibarat raja yang harus berjalan sendiri tanpa pengawalan dan tameng, risiko dilumpuhkan terlalu terbuka. Jika pelumpuhan itu terjadi, pertaruhannya adalah nama baik.
Apalagi ini bukan pertaruhan pertama. Sebab pertaruhan nama baik sebelumnya sudah lebih dulu terjadi ketika memberikan kepercayaan penting kepada sosok seperti Anas hingga Malarangeng. Sialnya, saat itu ia kalah taruhan.
Ibarat berjudi, lenyapnya taruhan termahal yang dimiliki tak berarti segalanya berakhir. Masih ada cara lain bertaruh, yakni manfaatkan modal lain, tak harus yang ada di tangan sendiri tapi bisa di tangan siapa saja. Catatannya hanyalah, cukup dengan kemampuan menjamin, pertaruhan kali tidak akan gagal.
Kesan terkuat yang muncul kini, ya di situ. SBY tak segan-segan melempar berbagai isu, entah terkait proyek di masanya yang terbengkalai, hingga teranyar namanya terseret hanya karena urusan Pilkada DKI Jakarta.
Ini bukan sekadar soal Pilkada. Sebab Pilkada ini sendiri tak lebih sebagai "pertaruhan kedua" untuk membayar kekalahan di "bursa judi" sebelumnya.
Orang-orang hanya akan melihat apalah arti satu ajang demokrasi sekelas Pilkada, mungkin. Tapi, seorang jenderal yang pernah menjadi presiden itu tampaknya memahami sekali, tak perlu senjata laras panjang untuk melumpuhkan lawan, terkadang sangkur pun cukup sekadar untuk menikam dan menyungkurkan lawan.
Di sinilah SBY bermain, dan permainan ini adalah wilayah politik yang dalam banyak sisi punya kemiripan dengan permainan catur, dan sisi lain juga berwajah permainan judi. Kemenangan di sini (politik) juga acap dipengaruhi oleh seberapa berani seseorang mempertaruhkan apa yang dia miliki.
Jadi, saya pribadi hanya dapat menyampaikan ucapan selamat saja; selamat berjudi.*
Note: Artikel ini juga dimuat di situs pribadi www.tularin.comÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI