Apalagi ini bukan pertaruhan pertama. Sebab pertaruhan nama baik sebelumnya sudah lebih dulu terjadi ketika memberikan kepercayaan penting kepada sosok seperti Anas hingga Malarangeng. Sialnya, saat itu ia kalah taruhan.
Ibarat berjudi, lenyapnya taruhan termahal yang dimiliki tak berarti segalanya berakhir. Masih ada cara lain bertaruh, yakni manfaatkan modal lain, tak harus yang ada di tangan sendiri tapi bisa di tangan siapa saja. Catatannya hanyalah, cukup dengan kemampuan menjamin, pertaruhan kali tidak akan gagal.
Kesan terkuat yang muncul kini, ya di situ. SBY tak segan-segan melempar berbagai isu, entah terkait proyek di masanya yang terbengkalai, hingga teranyar namanya terseret hanya karena urusan Pilkada DKI Jakarta.
Ini bukan sekadar soal Pilkada. Sebab Pilkada ini sendiri tak lebih sebagai "pertaruhan kedua" untuk membayar kekalahan di "bursa judi" sebelumnya.
Orang-orang hanya akan melihat apalah arti satu ajang demokrasi sekelas Pilkada, mungkin. Tapi, seorang jenderal yang pernah menjadi presiden itu tampaknya memahami sekali, tak perlu senjata laras panjang untuk melumpuhkan lawan, terkadang sangkur pun cukup sekadar untuk menikam dan menyungkurkan lawan.
Di sinilah SBY bermain, dan permainan ini adalah wilayah politik yang dalam banyak sisi punya kemiripan dengan permainan catur, dan sisi lain juga berwajah permainan judi. Kemenangan di sini (politik) juga acap dipengaruhi oleh seberapa berani seseorang mempertaruhkan apa yang dia miliki.
Jadi, saya pribadi hanya dapat menyampaikan ucapan selamat saja; selamat berjudi.*
Note: Artikel ini juga dimuat di situs pribadi www.tularin.comÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H