Apalagi, sebagai mantan presiden dan menjadi otak di balik kelahiran sebuah partai, melupakan begitu saja sebuah tahta yang pernah ditempati bukanlah sesuatu yang mudah.
Belum lagi dia juga melihat rekam jejak Soeharto sebagai pendahulunya, bisa melahirkan sebuah kekuatan politik yang sangat matang walaupun dia sendiri tak menjabat sebagai ketua umum.
Itu tentu saja menjadi hal yang sangat logis jika kemudian mengakibatkan lahirnya cemburu. Belum lagi salah satu rivalnya, Megawati Soekarnoputri, dengan kendaraannya PDIP sukses menjembataninya berkuasa, selain juga mengantarkan orang lain untuk juga berkuasa.
Apalagi, Megawati pun terlalu "kasar" menyindirnya. Memupuk seorang Puan Maharani--putrinya--hingga begitu rupa, berpengaruh di ranah politik hingga di lingkaran kekuasaan itu sendiri.
Sementara SBY adalah seorang pendiri partai, yang pernah menyalip Mega, dan pernah menancapkan kuku di negeri ini hingga satu dekade.
Satu dekade berkuasa, tapi tak meninggalkan bekas apa-apa kecuali ingatan kuat rakyat atas seabrek masalah diwariskannya, ibarat nyawa yang meninggalkan tubuh sebelum sempat menebus dosa; hanya dibayangi dosa.
Mega sadis. Dia punya kekurangan saat dia berkuasa, dari persoalan perang dengan separatis yang tak teratasi hingga kemelut "lumbung uang" pada perusahaan yang punya sangkut paut langsung dengan negara. Tapi dia justru "membayar" itu lewat tangan lain, lewat sosok bernama Joko Widodo, yang sejauh ini mampu bermain ibarat kuda di meja catur politik negeri ini.
Pekerjaan SBY saat ini bukan untuk menutupi gerak kuda itu. Sebab kematian kuda sekalipun belum menjanjikan kemenangan, walaupun keberadaan kuda rentan menjadi penyebab kekalahan.
SBY hanya membatasi kuda tersebut tak terlalu masuk ke wilayahnya, dan rentan membuat area dikuasainya teracak-acak. Itu bisa berakibat terlalu fatal.
Bagaimana tidak, tersangkutnya beberapa figur di lingkaran terdekatnya dengan perkara terbilang aib besar korupsi, sudah menjadi sebuah hantaman sangat tragis.
Ibarat raja yang harus berjalan sendiri tanpa pengawalan dan tameng, risiko dilumpuhkan terlalu terbuka. Jika pelumpuhan itu terjadi, pertaruhannya adalah nama baik.