Apa yang diungkapkan Marissa itu, sedikitnya memang mewakili efek sebuah film pada bagaimana pengaruhnya kepada publik. Sederhananya, pemeran filmnya saja bisa dibuat jatuh hati atas daerah itu, apalagi yang menyaksikan film tersebut.
Film Epen Cupen memang bukan film pertama yang berkisah tentang Papua. Paling tidak mereka berusaha mengenalkan keindahan alam provinsi itu dengan cara yang cukup mampu mengundang rasa penasaran, entah dari beberapa aksi--terlepas lebih banyak bersetting Jakarta--yang benar-benar menunjukkan kota-kota di Papua dan laut dengan gunungnya.
Hampir 10 tahun lalu, kehadiran film Denias: Senandung di Atas Awan yang digarap John de Rantau terbilang sebagai salah satu film dengan setting Papua paling berpengaruh .Â
Bahkan cerita film yang kental sisi kemanusiaan, tak melupakan keindahan alam Papua yang turut dihadirkan. Lebih-lebih lagi saat mereka dikabarkan masuk dalam seleksi Piala Oscar, dua tahun kemudian. Tentu itu tak hanya menjadi gengsi bagi Papua tapi juga Indonesia secara keseluruhan.
Film itu sendiri memang disebut-sebut mengambil tempat lebih banyak di seputar area PT Freeport Indonesia. Namun masih mampu menunjukkan wajah asli provinsi itu dengan berbagai ciri khasnya.Â
Apa adanya. Tak terkesan dilebih-lebihnya, membuat film-film itu terasa istimewa, dan mampu memenuhi sebagian rasa penasaran, seperti apakah wajah Papua dan keindahan mereka. Jujur saja, sebagai bagian masyarakat yang tak pernah ke sana, media-media seperti film terasa lebih meyakinkan dalam menggambarkan Papua. Ada sesekali provinsi itu muncul di pemberitaan televisi, tapi acap kali hanya menonjolkan konflik dan masalah, yang saya kira justru berdampak buruk pada mereka.
Saya dapat mengatakan sedikit sekali liputan yang berhubungan dengan provinsi yang dulu bernama Irian Jaya tersebut. Terutama yang betul-betul seimbang menonjolkan kelebihan mereka alih-alih hanya konflik dan hal-hal negatif.Â
Maka itu saya juga turut mensyukuri saat Irham Acho Bahtiar, juga sutradara Epen Cupen, mengangkat film bertajuk Lost in Papua pada 2011.  Tak tanggung-tanggung, sineas tersebut bersama produser Naynie Ardiansyah dan Iwan Trilaksana, melibatkan sederet aktor papan atas seperti Piet Pagau, mendiang Didi Petet, Fauzy Baadillah, hingga Fanny Fabriana, berikut Edo Borne dan Petrus Taro Gerze.
Terlepas film disebut terakhir sempat menuai sorotan para pengamat perfilman karena kelemahan yang cenderung ke sisi teknis, setidaknya mereka unggul dalam menampilkan berbagai sisi asli Papua, sehingga membuat masyarakat luar terasa lebih akrab dengan provinsi itu. Mungkin penonjolan sisi ini tak lepas juga dari keberadaan Acho sebagai sutradara yang terkenal sangat mencintai Papua. Ada unsur-unsur lokal yang masih dapat terlihat di film ini, termasuk pergelaran adat masyarakat setempat.