Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengintip Keindahan Papua dari Dunia Sinema

30 Desember 2016   01:52 Diperbarui: 30 Desember 2016   02:08 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang diungkapkan Marissa itu, sedikitnya memang mewakili efek sebuah film pada bagaimana pengaruhnya kepada publik. Sederhananya, pemeran filmnya saja bisa dibuat jatuh hati atas daerah itu, apalagi yang menyaksikan film tersebut.

Film Epen Cupen memang bukan film pertama yang berkisah tentang Papua. Paling tidak mereka berusaha mengenalkan keindahan alam provinsi itu dengan cara yang cukup mampu mengundang rasa penasaran, entah dari beberapa aksi--terlepas lebih banyak bersetting Jakarta--yang benar-benar menunjukkan kota-kota di Papua dan laut dengan gunungnya.

Hampir 10 tahun lalu, kehadiran film Denias: Senandung di Atas Awan yang digarap John de Rantau terbilang sebagai salah satu film dengan setting Papua paling berpengaruh . 

Bahkan cerita film yang kental sisi kemanusiaan, tak melupakan keindahan alam Papua yang turut dihadirkan. Lebih-lebih lagi saat mereka dikabarkan masuk dalam seleksi Piala Oscar, dua tahun kemudian. Tentu itu tak hanya menjadi gengsi bagi Papua tapi juga Indonesia secara keseluruhan.

Film itu sendiri memang disebut-sebut mengambil tempat lebih banyak di seputar area PT Freeport Indonesia. Namun masih mampu menunjukkan wajah asli provinsi itu dengan berbagai ciri khasnya. 

Cenderawasih mewakili keindahan alam Papua - Gbr: Harian Papua
Cenderawasih mewakili keindahan alam Papua - Gbr: Harian Papua
Terlebih lagi ketika menyorot kampung yang menjadi tempat tinggal Denias, tokoh di film ini, yang memang berada di kawasan pegunungan Wamena. Jadi, orang-orang yang tak pernah menjejakkan kaki ke tanah Papua pun terbetot rasa penasaran, karena di sana secara gamblang ditampilkan tak terkecuali rumah-rumah khas penduduk setempat. Seperti apa kebiasaan mereka sehari-hari, tak terkecuali dalam cara mereka berinteraksi, tersaji di sini.

Apa adanya. Tak terkesan dilebih-lebihnya, membuat film-film itu terasa istimewa, dan mampu memenuhi sebagian rasa penasaran, seperti apakah wajah Papua dan keindahan mereka. Jujur saja, sebagai bagian masyarakat yang tak pernah ke sana, media-media seperti film terasa lebih meyakinkan dalam menggambarkan Papua. Ada sesekali provinsi itu muncul di pemberitaan televisi, tapi acap kali hanya menonjolkan konflik dan masalah, yang saya kira justru berdampak buruk pada mereka.

Saya dapat mengatakan sedikit sekali liputan yang berhubungan dengan provinsi yang dulu bernama Irian Jaya tersebut. Terutama yang betul-betul seimbang menonjolkan kelebihan mereka alih-alih hanya konflik dan hal-hal negatif. 

Maka itu saya juga turut mensyukuri saat Irham Acho Bahtiar, juga sutradara Epen Cupen, mengangkat film bertajuk Lost in Papua pada 2011.  Tak tanggung-tanggung, sineas tersebut bersama produser Naynie Ardiansyah dan Iwan Trilaksana, melibatkan sederet aktor papan atas seperti Piet Pagau, mendiang Didi Petet, Fauzy Baadillah, hingga Fanny Fabriana, berikut Edo Borne dan Petrus Taro Gerze.

Terlepas film disebut terakhir sempat menuai sorotan para pengamat perfilman karena kelemahan yang cenderung ke sisi teknis, setidaknya mereka unggul dalam menampilkan berbagai sisi asli Papua, sehingga membuat masyarakat luar terasa lebih akrab dengan provinsi itu. Mungkin penonjolan sisi ini tak lepas juga dari keberadaan Acho sebagai sutradara yang terkenal sangat mencintai Papua. Ada unsur-unsur lokal yang masih dapat terlihat di film ini, termasuk pergelaran adat masyarakat setempat.

Ari Sihasale, salah satu sineas getol mengangkat Papua - Gbr: Screenshoot YouTube
Ari Sihasale, salah satu sineas getol mengangkat Papua - Gbr: Screenshoot YouTube
Lebih-lebih setelah itu, dalam waktu berdekatan, sosok yang juga menjadi produser film Denias, Ari Sihasale, belakangan turut mengangkat lagi film yang kembali mengambil lokasi di Papua; Di Timur Matahari. Bahkan dia sendiri turun tangan sebagai sutradara. Ringgo Agus Rahman, Lukman Sardi, hingga Laura Basuki tercatat sebagai bagian pemeran di film ini, cukup membantu melejitkan reputasi film tersebut di mata masyarakat luar Papua. Selain, keaslian Papua terwakili lewat figur Michael Jakarimilena terlepas sejatinya dia berlatar belakang penyanyi--jebolan Indonesian Idol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun