Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sosok Pepih: Otak di Balik Kelahiran Kompasiana

27 Desember 2016   20:22 Diperbarui: 31 Desember 2016   09:38 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini sebelumnya hanya dimuat eksklusif di situs pribadi penulis di www.tularin.com bertajuk Pepih: Otak di Balik Kelahiran Kompasiana, tapi kemudian terpikir untuk menuangkan kembali via Kompasiana karena pertimbangan akan ada manfaat untuk para Kompasianer dan pembaca umumnya. Selain juga karena pertimbangan utang budi dan ilmu, lantaran lewat sosok ini, penulis mendapatkan banyak catatan penting seputar dunia Citizen Journalism dan media secara umum. Selain juga karena alasan bahwa beliau memilih keluar dari zona nyaman, Kompasiana yang telah dibesarkan olehnya bersama Iskandar Zulkarnaen, Nurulloh, Robert, dan beberapa lainnya. 

Berikut cerita yang penulis rangkum berdasarkan pengalaman berdiskusi dengannya selama bertahun-tahun, dari warung makan hingga warung kopi kaki lima, di berbagai tempat di mana sengaja tak sengaja bertemu dengannya di Jakarta:

Perawakannya terbilang kecil. Tapi pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Desember 1964 tersebut siap memamah siapa saja dengan sorot matanya yang tajam. Mata yang mencerminkan karakternya yang tak ingin tertinggal oleh zaman. Dialah Pepih Nugraha, sosok yang juga menjadi otak di balik kelahiran sebuah media berbasis citizen journalism, Kompasiana.

Berlatar belakang sebagai jurnalis di surat kabar kawakan, KOMPAS, sejak 1990 membuat instingnya dalam membaca situasi sangat tajam. Dia menjadi figur yang sangat memahami perkembangan dan perubahan yang mengikutinya.

Itu terbukti dengan kecepatannya membaca perkembangan dunia blogging, yang dulunya kerap dianggap kelas dua dalam jurnalisme, sebagai sesuatu yang diperhitungkan olehnya.

Gbr: Zulfikar Akbar
Gbr: Zulfikar Akbar
Maka itu, Kompasiana yang dibidani olehnya dengan penamaan yang tak lepas dari sosok Budiarto Shambazy, awalnya memang hanya diperuntukkan untuk kalangan wartawan di surat kabar KOMPAS, namun di tangannya berubah menjadi media "keroyokan" yang menampung ribuan penulis di Indonesia. Bukan prestasi sederhana, tentu saja.

Dia mengakui, perjalanannya membanting setir--meski tak sepenuhnya--dengan memberi fokus pada dunia blog, membuatnya kerap dicibir atau dicemooh.

Tapi, pria mungil itu bukan tipe pemilik nyali kecil. "Saya harus menerobos anggapan bernada cemoohan yang menyebut bahwa blog sudah selesai," katanya, seperti berjanji dengan diri sendiri. "Dengan konsep blog keroyokan, saya hadir melawan segala cemoohan."

Dia pun menepati janjinya. Walaupun dia mengaku sangat menyadari, pilihannya itu terkesan melawan arus, dan awalnya dia sendiri tak terlalu yakin bahwa itu adalah keputusan tepat atau keliru.

Apalagi di awal dia menggerakkan Kompasiana, saat wartawan KOMPAS lainnya tak dapat secara intens menulis di sana karena ketatnya deadline dan kesibukan lain selayaknya wartawan mainstream, dia berusaha terus menulis dan menulis--selain di KOMPAS pun tetap menulis.

Pep--sapaannya--tak surut. Dia hanya mengingat dan mensugesti dirinya, ada minat kuat pada publik, terutama bagi para penulis dari lintas genre yang tak semuanya tertampung di media arus utama.

Lalu, dia pun menelurkan tulisan yang dapat dikatakan memang ditujukan untuk mengompori publik. "Jangan Malu untuk Memulai!" yang memang juga memberi kesan kuat dan kental jargon, agitatif, dan memang berdampak.

Tulisan dia itu sendiri saat itu hanya dibaca oleh 444 orang, angka yang sangat dihafal olehnya dan acap disebutkan saat tampil di dalam talk-show di berbagai media televisi, atau sedang memberikan ceramah seputar dunia citizen journalism.

"Itupun hanya mendapatkan tiga komentar, dan dua komentar lainnya dari saya sendiri sebagai balasan untuk mereka yang menanggapi artikel itu," ceritanya.

Apa yang terjadi kemudian, menabrak skeptis yang sempat menghantuinya. Kompasiana mampu melawan sosial blog ternama seperti Stomp di Singapura, OhMyNews di Korea Selatan, hingga NowPublic di Kanada--yang berdiri pada 2005 namun gulung tikar pada 2013 .

Bagaimana bisa terjadi? Tak lain karena anggota terdaftar pun mendekati satu juta penulis! Dengan penulis sebanyak itu, hampir seribuan tulisan bisa tayang di Kompasiana per harinya.

Jangan tanya tentang jumlah pembaca, jika dulu hanya ratusan di awal kemunculannya, beranjak jutaan dihitung per bulan, belakangan justru bisa menembus angka jutaan pembaca dalam sehari!

Berbagai cara pun dilakukannya untuk membuat para penulis di Kompasiana kian termotivasi. Di antaranya, diadakan halaman khusus untuk kawasan tertentu, menjadi suplemen di Kompas yang dipilih dari tulisan terbaik di Kompasiana.

Tak berhenti di sana, belakangan sempat muncul juga muncul suplemen lain, Freez. Namun di era suplemen terakhir itu, para penulis yang artikelnya masuk di sana mendapatkan imbalan yang layak.

Gbr: FP Kompasiana.com
Gbr: FP Kompasiana.com
Cara "mengompori" sangat brilian, tentunya. Para penulis, terutama yang belum dikenal publik, mendapati tulisannya muncul di Kompas, walaupun di halaman suplemen, tetap saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka.

Apa yang dilakukan penulis yang terpilih di halaman suplemen itu, tak sedikit yang meng-capture artikel-artikelnya yang dimuat di Freez tersebut. Dari sana, Kompasiana mendapatkan keuntungan, membangun jaring laba-laba, penulis tadi menjaring penulis lainnya, sehingga jumlah penulis di media tersebut pun kian meraksasa.

Inovasi menjadi kata kunci lain dari perkembangan Kompasiana yang digawangi Pepih sebagai otaknya, termasuk melakukan terobosan dengan menobatkan para penulis yang gemar dengan topik tertentu, tampil di Kompas TV bersama para pakar di berbagai bidang.

Sontak, sahutan dan antusiasme penulis Kompasiana pun kian melejit tinggi di media tersebut.

Bukan hal mengagetkan jika saat ini, telah ada dua juta artikel terdapat di blog tersebut, dengan rata-rata pengunjung per bulan minimal 18 juta pengunjung. Media itu juga menjadi bagian dari 10 besar situs berita di Indonesia dan lima besar situs buatan dalam negeri.

Gbr: FB Pepih Nugraha
Gbr: FB Pepih Nugraha
Menarik. Perkembangan Kompasiana yang melesat bak meteor tak membuat Pepih ongkang-ongkang kaki. Belakangan dia muncul dengan berbagai idenya, dan merambah dengan mendirikan PepNews, yang memang kental dengan nama panggilannya sendiri.

Walaupun untuk ide-idenya itu, dia harus keluar dari comfort zone alias zona nyaman di korporasi sekelas Kompas Gramedia, yang selama ini telah memberikan imbalan besar kepadanya.

Per November, saat para teman-temannya tak banyak yang tahu mimpi-mimpi besarnya dan apa yang menjadi rencananya, mengajak saya dan seorang rekan berlatar belakang IT, Riki Kurniadi, ngobrol-ngobrol di salah satu resto di Gandaria City. Di sanalah dia mengabarkan kepada saya dan Riki, "Saya memutuskan keluar dari Kompas!" ucapnya dengan sorot mata khasnya, tajam.

Dan, per Desember dia mengumumkan pengunduran diri dari raksasa media itu, yang disahuti para fan-nya dengan penuh tanda tanya.

Inovasi anyarnya, PepNews belum sebesar Kompasiana. Dia pun memercayakan situs itu kepada beberapa penulis yang diambil dari beberapa daerah dari Sumatra  hingga belahan timur Indonesia. Tidak mengandalkan kekuatan modal, kecuali menanamkan kekuatan keyakinan kepada rekan-rekannya yang dirangkul mengasuh media tersebut.

Selain itu, dia turut menggawangi Selasar.com, dan menjadi COO sekaligus Co-founder media tersebut. Tapi itu menjadi bukti, bagi dia, pencapaian dan prestasi besar bukan alasan untuk berhenti berkreasi.

Di hampir setiap kesempatan saya bersua dengan pria yang acap saya sapa Kang Pep itu, dia acap mengatakan, "Saya tak pernah membiarkan pikiran saya untuk tidur!", dan kenyamanan di perusahaan sekelas Kompas telah ditinggalkan olehnya. Ya, mungkin karena dia tak ingin kenyamanan itu melelapkan dirinya.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun