Nama Moammar Emka tak asing lagi dengan dunia literasi Indonesia. Ia dulu melejit dengan buku Jakarta Undercover, yang banyak bercerita tentang dunia hitam Jakarta. Buku yang dapat dibilang sebagai masterpiece pria asal Tuban, Jawa Timur, tersebut menjadi cara baginya dalam memperlihatkan realita apa adanya di tengah masyarakat yang acap menafikan keberadaan banyak fakta di sekeliling mereka.
Kini, Moammar tak lagi melulu membahas perihal yang dipersepsikan publik sebagai ranah esek-esek. Dia juga menunjukkan kepiawaiannya dalam membicarakan dunia rasa, dunia jiwa, hingga cinta. Teranyar, bersama Penerbit Gagas Media, ia menelurkan sebuah buku baru bertajuk, Dear You Again.
Tak lepas dari buku terbaru itu, hal menarik dilakukannya dalam membangun kedekatan dengan para pembacanya adalah memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi sekaligus berbagi pengalaman dengan mereka.
Lewat akun jejaring sosial Instagram Gagas Media (@gagasmedia), dia melakukan tanya-jawab dengan para penggemar. Para follower-nya dibebaskan untuk menanyakan perihal apa saja seputar dunia kepenulisan, tak hanya terkait dengan buku yang baru diluncurkan tersebut. Bahkan ada beberapa yang curhat seputar cinta, namun tetap diladeni sosok yang juga pernah menjadi cameo di beberapa film ini.
Sebut saja pemilik akun @nzrhlm, menanyakan apa sih yang membuat @moammaremka menulis buku yang terkesan berbeda? Senada dengan pemilik akun @arumdhalu12, apa yang bikin Moammar ingin menulis cerita Dear You Again? Atau akun @wahyuni.enka yang menanyakan, apakah buku teranyar adalah sekuel dari buku sebelumnya yang berjudul Dear You?
Tak hanya itu, tapi juga ada penggemarnya yang meminta cara atau kiat menulis hingga bagaimana proses kreatif bagi Moammar hingga dapat terus menulis. Ya, penulis tersebut dihujani pertanyaan oleh penggemarnya, yang dibalas olehnya satu per satu.
Surprised! Saat saya meminta kepadanya untuk dapat mengutip obrolannya di sana, dia mengizinkannya untuk saya muat di situs milik saya: Tul@rin.
Menurutnya, di buku itu sendiri, dia mendapatkan ilham dari pengalaman pribadi, selain juga dari pengalaman teman-temannya. Dia pun mengakui jika dia menulis setiap hari, minimal satu halaman. Maka itu, menurut penulis kelahiran 13 Februari 1974 ini, tak ada istilah"block writer"Â baginya.
Selain itu Moammar juga menyebutkan bahwa motivasinya dalam menulis buku-bukunya, cenderung pada motivasi ingin berbagi cerita dan juga keinginannya untuk dapat menginspirasi bagi para pembaca.
Soal kendala dalam menulis dengan kesibukan lainnya, Moammar pun mengaku tak menjadikan itu sebagai masalah. "Bagi waktunya, alamiah saja. Pake rumus skala prioritas," ucapnya dalam obrolan tersebut.
Dia juga menyebut bahwa menulis novel itu sebagai sesuatu yang menyenangkan, karena dapat menumpahkan ide-ide yang berdesakan. "Kasian kalo-ide itu--disimpan tanpa ada penyaluran," katanya.
Terkait buku teranyarnya itu sendiri, Moammar pun mengakui jika itu awalnya hanya menjadi "proyek" untuk perasaan, awalnya. "Sebagai ekspresi perasaan," dia menambahkan. "(Tentang di mana tempat biasa menulis), saya menulis bisa di mana saja dan kapan saja ... apalagi sekarang gadget memudahkan semuanya."
Tak hanya itu, dalam perjalanannya menulis, Moammar pun berterus terang jika aktivitas menulis tak dapat lepas dari yang namanya "passion".
"Passion. Itu kuncinya ... kalau numpang lewat atau aji mumpung, gak tahan lama," ujarnya lagi.
Tentang latar belakangnya terjun ke dunia kepenulisan--meski acap ditanyakan oleh kalangan pers setiap bersua dengannya--turut dibahas lagi di obrolan di Instagram itu, karena salah satu fannya @ratuanisah_df menanyakan kepadanya bagaimana kemudian dia bisa menjadi penulis.
Soal tips-tips kepenulisan, yang juga ditanyakan penggemarnya, Moammar berterus terang itu sudah sangat banyak dibahas, termasuk di Google akan dengan mudah bisa didapatkan, dari sisi teknis. Dia hanya menjelaskan dari sisi non-teknis. "Yang non-teknis, intinya adalah menjadikan menulis sebagai kebiasaan ... bukan kerja borongan, apalagi sambilan."
Terkait soal bagaimana nasib sebuah karya tulis, tak luput dari pertanyaan, dan itu disampaikan oleh pemilik akun @fauziahoctvnt. Moammar pun menjawabnya dengan gamblang, "Setiap karya punya nasibnya sendiri. Tapi dari awal menulis kemudian memutuskan untuk terbit, pada titik itu saya harus yakin terlebih dulu, puas secara pribadi."
Moammar juga mengakui tak terlalu memusingkan apa buku karyanya akan bernasib baik semisal best seller di pasar atau tidak. Sebab dia menilai untuk sebuah buku menjadi best seller itu adalah sesuatu yang misterius.
Di sisi lain, dia pun berterus terang tak tak menutup diri dengan mengikuti tren, tapi dia juga menggarisbawahi bahwa motivasi itu tak harus 100 persen. Menurutnya, idealisme harus ada. Soal dari mana ia acap mendapatkan ide, dia menegaskan itu didapatkan dari perjalanan.
Tak kalah menarik saat dia mengulas siapa saja penulis yang memberi ilham banyak kepadanya, sehingga menyukai buku-buku mereka, seperti Pramoedya Ananta Toer (Pram), Kahlil Gibran, dan bahkan Paulo Coelho--penulis asal Brasil.Â
Terutama kekagumannya kepada karena dia melihat sosok tersebut sebagai figur yang hebat dan tangguh. Tekanan dari kekuasaan tak membuat Pram surut dengan idealisme kepenulisannya dan kegilaannya dalam menulis.
"Ya saya suka Pram, realis nulisnya," kata Moammar lagi. "Bagaimana dia berjuang dan berkorban untuk terus dan dapat tetap menulis di bawah tekanan kekuasaan."
Dari sanalah, Moammar Emka merasa tak perlu menjadikan kesulitan atau tekanan sebagai persoalan yang menghalangi langkahnya untuk menulis dan menulis. Apalagi hanya sekadar kritikan atas karyanya, menurut dia, itu bukanlah sesuatu yang buruk untuk dapat melihatnya secara positif. Jadi, katanya, jadikan saja kritikan dari orang sebagai referensi untuk evaluasi diri.
Sementara seputar bahasa yang digunakannya di buku-buku terkini yang terkesan puitis, dia pun tak menampik jika Kahlil Gibran dan Jalaluddin Rumi adalah dua penyair paling digemarinya--sehingga mungkin saja memengaruhinya secara langsung atau tidak. Bahkan, katanya, dari SMA sudah membaca buku-buku dari kedua penyair kelas dunia dari Timur Tengah tersebut.
Terlepas buku-bukunya terkesan romantis, tapi Moammar juga mengaku tak melulu gemar dengan buku yang berbahasa puitis. Bahkan sosok penulis cerita silat legendaris Indonesia, Asmaraman S. Kho Ping Ho pun acap dilahapnya, dan amat disukainya.
Terlebih lagi, kata dia, dari buku-buku Kho Ping Ho, dia banyak belajar tentang "deskripsi" alias menjabarkan sesuatu dengan sejelas-jelasnya sehingga dapat dibayangkan oleh pembaca. Dan, salah satu prinsip atau filosofi yang menjadi pegangannya selama ini, menurut Moammar, itu adalah filosofi melankolis romantis.
Dear You Again memang menjadi buku teranyar, setidaknya menjelang Natal tahun ini. Tapi Moammar juga bercerita akan merilis buku lainnya, berupa novel Jakarta Undercover, dalam waktu dekat. Wah! Anda dapat bayangkan bagaimana dia menulis?
Dalam obrolan di Instagram itu sendiri, dia memang tak membeberkan seluruh cerita seputar kepenulisannya. Terlebih dia pun hanya mengikuti seperti apa pertanyaan yang diajukan oleh penggemarnya yang sebagian berasal dari kalangan remaja dan mahasiswa.
Tapi, di dunia para penulis, dia memang terkenal dengan style unik dalam memperkaya tulisan-tulisannya. Ia akan bergaul dengan siapa saja sebagai cara untuk memahami sebuah persoalan yang berkaitan dengan ide yang sedang ingin ditelusuri dan didalaminya.
Tak heran jika dia pun takkan sungkan-sungkan melakukan hal-hal yang acap dilabeli sebagai kebiasaan kalangan hedonis semisal clubbing. Di sisi lain, kemampuannya dalam melakukan investigasi pun acap menjadi perbincangan sendiri di kalangan penulis, terutama di kalangan pers.
Ya, untuk hal terakhir, investigasi, tampaknya ia terbawa oleh latar belakangnya sebagai wartawan yang terkadang harus merambah berbagai tempat tanpa peduli bagaimana citra tempat tersebut, atau bagaimana orang-orang akan memandangnya.
Setidaknya, kegigihannya melakukan banyak hal untuk "mengabdi" pada dunia kepenulisan, telah membawa buah manis. Di sanalah terlihat, bahwa proses takkan mengkhianati hasil.
Hasil terpenting bagi penulis tentu saja bukanlah sekadar seberapa banyak uang diraupnya. Melainkan seberapa banyak karya dapat dilahirkan.
Moammar sendiri mengakui jika bukunya sejauh ini telah ada sekitar 30-an buku. Silakan bayangkan lagi berapa banyak waktu dibutuhkan untuk mengerjakan buku-buku itu. Tanpa dedikasi, passion, dan kegigihan, melahirkan buku sejumlah itu dalam usianya yang terbilang muda, tentu saja mustahil.
Namun Moammar telah menabrak kemustahilan itu, sehingga berbagai buku telah lahir lewat tangannya seperti Jakarta Undercover 2 (Karnaval Malam), Jakarta Undercover 3 (Forbidden City), Siti Madonna, hingga In Bed with Models yang rilis di pertengahan 2006 dan juga terbit versi teranyar pada 2014--edisi revisi.
Setelah Jakarta Undercover, buku In Bed with Models terbilang sebagai buku kedua yang sempat booming, lantaran berisikan cerita seputar sisi gelap para seleb Indonesia untuk mencari pendapatan "lebih". Walaupun, iya, buku itu memang tak lepas dari dunia seks.
Baru belakangan, tampaknya karena perjalanan usia--kini 42 tahun--buku-buku karyanya terasa lebih soft. Sebut saja buku seperti Cinta Daur Ulang, Cinta itu Kamu, I Do, Dear You, dan terkini Dear You Again! Tantangan baginya, tentu saja, apakah buku teranyarnya itu mampu menembus jangkauan lebih luas kepada para pembacanya? Tapi sekali lagi, seperti kata dia sendiri, "Buku memiliki nasibnya sendiri, dan best seller adalah sesuatu yang misteri."
Yang jelas, seberapa misterius nasib baik untuk sebuah karya tulis, setidaknya Moammar telah membuktikan dia tidak dikalahkan oleh "misteri" itu, kecuali bekerja keras menaklukkannya dengan cara tak pernah berhenti berkarya.* (Disalin ulang dari artikel pribadi di:Â TUL@RIN)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H