Terkait buku teranyarnya itu sendiri, Moammar pun mengakui jika itu awalnya hanya menjadi "proyek" untuk perasaan, awalnya. "Sebagai ekspresi perasaan," dia menambahkan. "(Tentang di mana tempat biasa menulis), saya menulis bisa di mana saja dan kapan saja ... apalagi sekarang gadget memudahkan semuanya."
Tak hanya itu, dalam perjalanannya menulis, Moammar pun berterus terang jika aktivitas menulis tak dapat lepas dari yang namanya "passion".
"Passion. Itu kuncinya ... kalau numpang lewat atau aji mumpung, gak tahan lama," ujarnya lagi.
Tentang latar belakangnya terjun ke dunia kepenulisan--meski acap ditanyakan oleh kalangan pers setiap bersua dengannya--turut dibahas lagi di obrolan di Instagram itu, karena salah satu fannya @ratuanisah_df menanyakan kepadanya bagaimana kemudian dia bisa menjadi penulis.
Soal tips-tips kepenulisan, yang juga ditanyakan penggemarnya, Moammar berterus terang itu sudah sangat banyak dibahas, termasuk di Google akan dengan mudah bisa didapatkan, dari sisi teknis. Dia hanya menjelaskan dari sisi non-teknis. "Yang non-teknis, intinya adalah menjadikan menulis sebagai kebiasaan ... bukan kerja borongan, apalagi sambilan."
Terkait soal bagaimana nasib sebuah karya tulis, tak luput dari pertanyaan, dan itu disampaikan oleh pemilik akun @fauziahoctvnt. Moammar pun menjawabnya dengan gamblang, "Setiap karya punya nasibnya sendiri. Tapi dari awal menulis kemudian memutuskan untuk terbit, pada titik itu saya harus yakin terlebih dulu, puas secara pribadi."
Moammar juga mengakui tak terlalu memusingkan apa buku karyanya akan bernasib baik semisal best seller di pasar atau tidak. Sebab dia menilai untuk sebuah buku menjadi best seller itu adalah sesuatu yang misterius.
Di sisi lain, dia pun berterus terang tak tak menutup diri dengan mengikuti tren, tapi dia juga menggarisbawahi bahwa motivasi itu tak harus 100 persen. Menurutnya, idealisme harus ada. Soal dari mana ia acap mendapatkan ide, dia menegaskan itu didapatkan dari perjalanan.
Tak kalah menarik saat dia mengulas siapa saja penulis yang memberi ilham banyak kepadanya, sehingga menyukai buku-buku mereka, seperti Pramoedya Ananta Toer (Pram), Kahlil Gibran, dan bahkan Paulo Coelho--penulis asal Brasil.Â
Terutama kekagumannya kepada karena dia melihat sosok tersebut sebagai figur yang hebat dan tangguh. Tekanan dari kekuasaan tak membuat Pram surut dengan idealisme kepenulisannya dan kegilaannya dalam menulis.