Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bengisnya Wajah Media Sosial di Negeri Kita

15 Agustus 2016   23:52 Diperbarui: 16 Agustus 2016   10:41 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, jika saja nalar didahulukan daripada emosi, dan pemahaman baik lebih dikedepankan dari pada kesimpulan terburu-buru, empati ditempatkan di atas benci, takkan ada aksi anarki tadi. Sebaliknya, tiap kali emosi dikawinkan dengan kesimpulan buru-buru, dilengkapi lagi dengan benci yang membludak, nyaris selalu yang terjadi adalah kehancuran.

Maka itu, saya kira, pihak-pihak berkompeten di pemerintahan pun bisa lebih awas atas fenomena ini. Betapa, sekarang mimbar-mimbar masjid pun kerap dijadikan panggung untuk penularan kebencian kepada umat beragama berbeda. Media-media berbau agama lebih kental berisikan agitasi untuk memusuhi dan mencurigai segala apa yang berbau agama lain. 

Maka itu saya kira, mengadang lajunya pemikiran-pemikiran destruktif itu tak lagi melulu tanggung jawab pemerintah, tapi semua yang menyadari bahwa damai lebih indah daripada perang, cinta lebih baik daripada benci, dan jernih lebih baik daripada keruh, dan kebersamaan lebih menguatkan daripada perpisahan, pantas untuk masuk ke dalam barisan pembawa perubahan. Setidaknya, membantu mengubah pola pikir menjadi lebih baik, meski hanya lewat satu status Facebook! 

Itu masalah serius. Terlebih dengan perkembangan media sosial, dan maraknya berbagai pemberitaan, akan berdampak jauh lebih serius daripada kasus yang terjadi di Tanjung Balai atau Tolikara. Terlebih para pengguna internet Indonesia berangkat dari berbagai macam latar belakang; yang tak pernah nyantri bisa meng-copy paste ayat demi ayat dengan mudah hanya agar kebencian yang ia sebar terlihat benar, yang tak pernah salat masih bisa mengafirkan yang menyuarakan perdamaian.

Jadi jika perdamaian dan kerukunan menjadi impian kita bersama, maka berbagi pikiran tentang hal-hal yang menuju ke sana menjadi tanggung jawab kita bersama. Ah, maaf, ini bukan dikte, hanya mengajak saja. Walaupun, iya, pemikir sekelas Bertrand Russell pernah terlihat putus asa saat melihat efek propaganda yang menjurus kepada hasutan dan kebencian jauh lebih mendapat tempat di benak banyak orang, ketika ajakan kepada hal-hal membangun justru lebih banyak ditentang.

"Why is propaganda so much more successful when it stirs up hatred than when it tries to stir up friendly feeling?" Russell tercenung sekali waktu. Itu juga menjadi pertanyaan kita bersama, meski tak terjawab sekarang, mudah-mudahan terjawab di lain waktu. Semoga saja kita tak selalu didahului Jonru. (Twitter: @zoelfick)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun