Ada berbagai pengalaman pribadi yang kerap membuat saya tercenung tiap kali melihat fenomena isu agama. Bahkan tak jarang, stempel kafir hingga “rekomendasi” agar saya keluar saja dari Islam, muncul. Penyebabnya, hanya karena beberapa status Facebook hingga artikel yang pernah saya tulis seputar kedewasaan beragama, dihakimi sebagai pemikiran yang tidak berpihak ke Islam, agama yang juga masih saya anut hingga detik ini.
Contoh terbaru, saat ada kasus pembakaran Vihara di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Menyimak maraknya status demi status di Facebook yang umumnya terkesan memaklumi anarki itu, seperti:
“Biar sajalah, toh itu sepadan dengan penghinaan mereka lakukan!”
“Mereka telah menghina azan. Mereka sudah melecehkan agama kita. Saatnya kita menunjukkan seberapa dalam iman kita.”
“Saatnya Islam bersatu, melawan semua pelecehan dengan balasan setimpal!”
Sangat heroik. Itulah kesan yang muncul di satu sisi, terutama jika saya menggunakan kacamata yang hanya sebelah saja, merasa sebagai muslim maka semua yang dilakukan berbau pembelaan atas Islam, maka itu adalah sikap yang heroik. Itu disukai Tuhan, dan itu menjadi ciri orang-orang beriman.
Tapi selayaknya kacamata, hanya berfungsi sebelah saja, maka ada sebelah lagi yang takkan bisa melihat realita dengan lebih jernih.
Maka itu saya berusaha menulis satu status di Facebook, yang kira-kira berisikan ajakan untuk melihat secara jernih di mana yang menjadi persoalan hingga pembakaran itu terjadi. Ajakan itu sendiri lebih berisikan pertanyaan:
Apakah sepadan jika protes seorang penduduk yang kebetulan non-Islam harus diterjemahkan sebagai kebencian kepada Islam?
Apakah adil, jika sebuah protes lalu dibalas dengan pembakaran rumah ibadah non Islam?
Yang menjadi sasaran protes dari penduduk non-Islam tadi, apakah azan atau hanya pengeras suara?