Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bengisnya Wajah Media Sosial di Negeri Kita

15 Agustus 2016   23:52 Diperbarui: 16 Agustus 2016   10:41 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesan tentang sudut pandang (Gbr: Koleksi Pribadi)

Ada berbagai pengalaman pribadi yang kerap membuat saya tercenung tiap kali melihat fenomena isu agama. Bahkan tak jarang, stempel kafir hingga “rekomendasi” agar saya keluar saja dari Islam, muncul. Penyebabnya, hanya karena beberapa status Facebook hingga artikel yang pernah saya tulis seputar kedewasaan beragama, dihakimi sebagai pemikiran yang tidak berpihak ke Islam, agama yang juga masih saya anut hingga detik ini.

Contoh terbaru, saat ada kasus pembakaran Vihara di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Menyimak maraknya status demi status di Facebook yang umumnya terkesan memaklumi anarki itu, seperti:

“Biar sajalah, toh itu sepadan dengan penghinaan mereka lakukan!”

“Mereka telah menghina azan. Mereka sudah melecehkan agama kita. Saatnya kita menunjukkan seberapa dalam iman kita.”

“Saatnya Islam bersatu, melawan semua pelecehan dengan balasan setimpal!”

Sangat heroik. Itulah kesan yang muncul di satu sisi, terutama jika saya menggunakan kacamata yang hanya sebelah saja, merasa sebagai muslim maka semua yang dilakukan berbau pembelaan atas Islam, maka itu adalah sikap yang heroik. Itu disukai Tuhan, dan itu menjadi ciri orang-orang beriman.

Tapi selayaknya kacamata, hanya berfungsi sebelah saja, maka ada sebelah lagi yang takkan bisa melihat realita dengan lebih jernih.

Maka itu saya berusaha menulis satu status di Facebook, yang kira-kira berisikan ajakan untuk melihat secara jernih di mana yang menjadi persoalan hingga pembakaran itu terjadi. Ajakan itu sendiri lebih berisikan pertanyaan:

Apakah sepadan jika protes seorang penduduk yang kebetulan non-Islam harus diterjemahkan sebagai kebencian kepada Islam?

Apakah adil, jika sebuah protes lalu dibalas dengan pembakaran rumah ibadah non Islam?

Yang menjadi sasaran protes dari penduduk non-Islam tadi, apakah azan atau hanya pengeras suara?

Di antara tanggapan yang pernah saya terima, yang mencerminkan sudut pandang masyarakat kebanyakan (Gbr: Koleksi Pribadi)
Di antara tanggapan yang pernah saya terima, yang mencerminkan sudut pandang masyarakat kebanyakan (Gbr: Koleksi Pribadi)
Status Facebook yang berangkat dari pertanyaan itu pun akhirnya jadi pelanggan berbagai cercaan hingga tudingan bernada menghakimi. Sampai-sampai saya berkali-kali hanya menanggapi secara enteng saja, banyak dari kita terlihat berbakat jadi hakim, namun tak terlihat gelagat mampu bersikap adil.

Lagi-lagi, kalimat yang dinilai sebagai satire itu masih juga jadi sasaran cemoohan hingga makian. Bahkan ada yang menyejajarkan saya dengan Moshadeq, tokoh yang konon mengaku sebagai nabi. Agak tercekat juga mendengar tudingan hingga seperti itu, sementara yang saya ajak hanya berpikir ulang atas apa yang kadung dilihat sebagai ciri beriman dan ciri heroisme seorang muslim.

Lewat ajakan itu, memang kerap juga saya coba untuk menyisipkan perspektif, bahwa agama bukan untuk Tuhan dan agama ada untuk manusia. Tuhan tak memiliki kepentingan atas keberadaan agama, kecuali membawa kebaikan untuk manusia.

Ada gugatan saya munculkan, apakah dengan pembakaran rumah ibadah pemeluk agama berbeda, lalu Tuhan senang? Bukankah jika mengira Tuhan senang karena adanya pemeluk agama yang bersedih karena rumah ibadahnya dibakar, justru sebagai pelecehan kepada Tuhan sendiri?

Sayangnya, dari apa yang saya dapati berdasarkan pengalaman dari dunia per-Facebook-an dan penulisan di situs-situs tertentu, mereka kerap kali melebihkan emosi di atas nalar. Alhasil, yang terjadi adalah sikap sarat emosi, mudah terpancing kemarahan, dan jadi getol menghakimi.

Mungkin saya sendiri bisa dikatakan sebagai korban seperti apa orang-orang marah, cuma karena menggugat apa yang mereka yakini sebagai ciri orang beriman secara salah kaprah: bahwa tak penting mempertimbangkan kemanusiaan karena Allah di atas segalanya, tak perlu merisaukan sedih tidaknya orang yang beragama berbeda selama yang kita perjuangkan adalah agama sendiri.

Saya menangkap fenomena itu sebagai egoisme dalam beragama. Dan, sebagai pribadi pun, saya pernah terperangkap dalam kondisi itu, terlebih saat hanya bergaul dengan kalangan yang sarat atribut agama, namun mereka kerap menyisipkan kebencian pada agama yang berbeda. Saat itu, pikiran saya pun kerap meyakini bahwa membunuh pun sah-sah saja jika itu alasannya adalah Tuhan. Sebuah pikiran yang lagi-lagi terkesan sangat agamis dan kental ciri pembela Tuhan.

Namun pikiran yang menjurus ke radikal itu sepenuhnya saya tinggalkan setelah melihat ulang dan memetakan efek dari kekeliruan memahami Tuhan, agama, dan manusia. Sebaliknya, meski lebih sering hanya lewat status Facebook, saya berusaha mengajak melihat ulang berbagai keyakinan dan sudut pandang yang selama ini berkembang.

Sebab, bersandar pada pengalaman pribadi juga, pemahaman keliru dalam melihat korelasi Tuhan, agama, dan manusia, justru akan berdampak keliru. Yang muncul hanya kecurigaan tak mendasar, dan hawa permusuhan yang mengental, hingga memunculkan lamunan-lamunan bahwa memerangi mereka yang berbeda agama maka akan diganjar surga lengkap dengan sekian bidadari.

Agama pun didangkalkan oleh pemeluknya sendiri, lewat penafsiran-penafsiran yang terkesan suci, namun lebih banyak berdampak pada kerusakan alih-alih memperbaiki. Maka itu, saat kasus-kasus sensitif seperti di Tanjung Balai terjadi, pendangkalan atas pesan agama pun dilakukan oleh pemeluk agama yang juga saya anut sendiri.

Betapa, mereka pelaku anarki itu telah menjadi robot-robot yang hanya berisikan rekaman pesan dari orang-orang yang merasa sebagai wakil Tuhan, untuk membalas sesuatu dengan sesuatu yang lebih parah. Protes atas pengeras suara, didikte sebagai protes pada azan, dan itu ditafsirtunggalkan sebagai pelecehan kepada Islam. Walhasil, yang terjadi, robot-robot tadi muncul dari segala arah, dan api berkobar mewakili kemarahan mereka.

Padahal, jika saja nalar didahulukan daripada emosi, dan pemahaman baik lebih dikedepankan dari pada kesimpulan terburu-buru, empati ditempatkan di atas benci, takkan ada aksi anarki tadi. Sebaliknya, tiap kali emosi dikawinkan dengan kesimpulan buru-buru, dilengkapi lagi dengan benci yang membludak, nyaris selalu yang terjadi adalah kehancuran.

Maka itu, saya kira, pihak-pihak berkompeten di pemerintahan pun bisa lebih awas atas fenomena ini. Betapa, sekarang mimbar-mimbar masjid pun kerap dijadikan panggung untuk penularan kebencian kepada umat beragama berbeda. Media-media berbau agama lebih kental berisikan agitasi untuk memusuhi dan mencurigai segala apa yang berbau agama lain. 

Maka itu saya kira, mengadang lajunya pemikiran-pemikiran destruktif itu tak lagi melulu tanggung jawab pemerintah, tapi semua yang menyadari bahwa damai lebih indah daripada perang, cinta lebih baik daripada benci, dan jernih lebih baik daripada keruh, dan kebersamaan lebih menguatkan daripada perpisahan, pantas untuk masuk ke dalam barisan pembawa perubahan. Setidaknya, membantu mengubah pola pikir menjadi lebih baik, meski hanya lewat satu status Facebook! 

Itu masalah serius. Terlebih dengan perkembangan media sosial, dan maraknya berbagai pemberitaan, akan berdampak jauh lebih serius daripada kasus yang terjadi di Tanjung Balai atau Tolikara. Terlebih para pengguna internet Indonesia berangkat dari berbagai macam latar belakang; yang tak pernah nyantri bisa meng-copy paste ayat demi ayat dengan mudah hanya agar kebencian yang ia sebar terlihat benar, yang tak pernah salat masih bisa mengafirkan yang menyuarakan perdamaian.

Jadi jika perdamaian dan kerukunan menjadi impian kita bersama, maka berbagi pikiran tentang hal-hal yang menuju ke sana menjadi tanggung jawab kita bersama. Ah, maaf, ini bukan dikte, hanya mengajak saja. Walaupun, iya, pemikir sekelas Bertrand Russell pernah terlihat putus asa saat melihat efek propaganda yang menjurus kepada hasutan dan kebencian jauh lebih mendapat tempat di benak banyak orang, ketika ajakan kepada hal-hal membangun justru lebih banyak ditentang.

"Why is propaganda so much more successful when it stirs up hatred than when it tries to stir up friendly feeling?" Russell tercenung sekali waktu. Itu juga menjadi pertanyaan kita bersama, meski tak terjawab sekarang, mudah-mudahan terjawab di lain waktu. Semoga saja kita tak selalu didahului Jonru. (Twitter: @zoelfick)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun