[caption id="attachment_228914" align="aligncenter" width="300" caption="Gbr: Employscoop"][/caption] Seharusnya laut itu akan lebih indah sore itu. Biru, seperti bersenyawa dengan langit yang juga membiru, sedikit disaput awan putih.Tapi, aku harus memasang muka murung. Melawan keindahan yang saat itu sedang diajarkan lautan menjelang senja bersama langit dalam birunya. Biar saja, mereka bersama biru. Aku memilih kelabu.
Kelabu yang berada di mukaku mungkin mirip seperti meniru pasir yang berbalut debu. Jika hanya pasir saja dan tak dibaluti debu, ia bisa berkilau meski hanya dipukul dengan sisa cahaya matahari itu. Apalagi jika terkena matahari siang, pasti kilaunya kian terang.
Begitulah, mukaku seperti pasir berbalut debu. Meski di sana terdapat laut dengan ombak menabuh perutnya sendiri. Menciptakan iramanya sendiri. Irama yang seharusnya bisa mengisi ruang-ruang kosong tanpa rasa di hatiku.
Pun, di sana terdapat kau dengan kulit putih kemerahan. Menatapku seperti menahan beban. Ya, beban atas sebuah kebebalan. Kebebalanku menjadi bebanmu.
"Aku muak dengan kebebalanmu! Tapi, aku lebih muak jika kehilanganmu," katamu. "Kau harus percaya itu! Aku tidak ingin kau merasa kecil di depan keluargaku! Aku ingin kau bisa membantah mereka. Bahwa soal keturunan itu sama sekali bukan sesuatu diciptakan Tuhan secara zalim dan untuk menzalimi!"
Biasanya, aku yang mengkhutbahinya. Kali ini, seperti matahari itu yang mulai menggelinding miring. Ya, berubah, sekarang perempuan ini mengkhutbahiku.
"Kau selalu katakan, seharusnya soal keturunan itu bukanlah tongkat sihir yang mengubah manusia seketika menjadi babi, anjing, monyet, dan...apapun!"
Ia masih memiliki selera cukup tinggi untuk bicara. "Sekarang...saat kau mestinya sudah harus menjelaskan sikapmu, keinginanmu, harapanmu...harapan kita...kau justru membatu!"
Ia mulai tersedu. Sedangkan aku, saat itu tak sekadar membatu, tapi memang sudah menjadi batu.
Ya. Ada kebodohanku di sini. Tidak, bukan kebodohan, karena itu masih lebih santun untuk kustempelkan pada diri sendiri. Lebih sejuk untuk kusebut saja sebagai ketololan. Kasar tapi menyejukkan karena terasa lebih jujur saat kutujukan kata "Tolol" pada diriku sendiri.
Perempuanku itu bernama Cut Faiza Shafiyya. Namanya indah. Tak hanya namanya, tapi juga bibirnya merah, ranum, sedikit berisi. Kulitnya putih, halus, kemerahan seperti kubilang tadi. Matanya, bening kebiruan. Biru yang sebenarnya lebih mampu menyejukkan daripada laut itu.
Dek Cut, sapaan sayangku untuknya berusia dua puluh satu tahun. Kuperkenalkan kecupan pertama di bibirnya saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Kecupan yang sama sekali tidak kuawali permintaan izin pada ibu dan bapaknya.
Cut, jika satu nama sudah diawali dengan Cut, kerap bikin kening lelaki sepertiku mengerut. Ya, meski butuh perjuangan untuk kubisa mencuri hatinya dan menjadikannya kekasihku, itu tak terlalu berat. Terbukti memang begitu, ia menjadi kekasihku.
Masalah muncul saat ia sudah mengajak bicara nikah! Kawin. Sebuah upacara yang mestinya bisa sederhana tapi bisa bikin kepala terasa sedang dipanggang di neraka. Panas. Jelas, karena begitu tinggi tuntutannya.
Cut. Keturunan raja. Keturunan mereka yang punya nama. Keturunan penguasa. Meskipun di "tanoeh" itu sudah tak ada lagi kerajaan. Yang ada hanya mereka itu yang merasa masih berbau ketiak para raja. Dalam bersikap pun mereka ingin dihormati seperti para raja. Bangsat!
Mereka pula yang sudah membuat malam-malamku tak lagi menjadi saat untukku bisa memejamkan mata. Terang saja, mata itu bisa terpejam saat otak sudah istirahat, tak kuat lagi bekerja. Mereka membuat otakku terus bekerja. Tak dapat tidur.
Mencari jawaban. Mencoba menciptakan rumus-rumus. Jika bisa kupecahkan masalah ini, maka masalah itu muncul. Jika kupilih pecahkan masalah itu, maka masalah ini akan begini. Bergulat, otakku terus bergulat. Terkadang syaraf-syarafnya terasa menegang. Terkadang terasa nyaris putus.
Kali ini kutatapi perempuanku ini. Menatapnya dengan tajam.
Biasanya, ia akan menunduk. Sedikit termalu-malu. Dengan dua pipi yang benar-benar menyala merah. Tapi tidak untuk kali ini. Saat mataku menatapnya, iapun tak kalah tajam menatapku. Sepertinya ia sudah lelah bicara.
Memang, jika kata-katanya adalah palu. Otakku adalah batu sebesar gunung. Pasti melelahkannya untuk meruntuhkan kekeraskepalaanku.
Lewat biru matanya itu, aku menemukan lorong yang muncul seketika di imajinasiku. Sambil terus kutatapinya, langkah-langkah lamunanku menyusuri lorong itu. Terbentur pada bayang wajah angkuh dua ibu bapaknya.
"Bapak kau siapa? Ibumu? Kakekmu dulu ada hubungan dengan siapa saja? Rumahmu?"
Bapakku manusia. Jika kujawab itu, pastilah itu bukan jawaban yang dimintanya. Begitu juga jika kujawab, kakekku adalah lelaki yang menyiram sperma di rahim nenekku. Lalu menjadi bapakku. Karena hidup adalah mengulang-ulang hal yang sama sampai mati, maka bapakku pun mengulang juga pada ibuku seperti yang dilakukan kakekku pada nenekku. Jadilah aku. Lelaki tanggung, dengan modal tanggung, dan keberanian plus kepercayaan diri yang tanggung. Lelaki yang diminta oleh anaknya sendiri untuk melamar dirinya. Agar aku menjadi suaminya dan nanti bisa mengulang seperti yang dilakukan kakek dan bapakku pada nenek dan ibuku.
Gila! Dua manusia didepanku itu membuat aku gila. Bagaimana aku menjawab keangkuhan yang dijadikan peluru untuk meledakkan kepalaku? Tak ada!
***
"Aku tidak akan mengatakan padamu, keangkuhan orang tuamu itu membuatku memandang mereka seperti iblis yang menyeretku ke neraka. Bagaimanapun, kau lahir dari ibu bapakmu yang keturunan para raja itu..."
Aku menghela nafas sejenak. Mencoba berhenti memikirkan bahasa santun seperti tradisi keluarganya. "Tapi, bagiku cinta itu bukanlah sebilah rencong yang bisa kugunakan untuk menusuk jantung siapapun. Tidak untuk melukai siapapun..."
Hening.
"Jika aku menikahimu dengan segala cara tanpa harus dipusingkan oleh mereka, mungkin bisa. Hanya saja, kau takkan pernah bisa benar-benar memberikan hatimu sebagai istri untukku. Kau sebagai anak mereka, tak dapat menyingkirkan darah mereka yang mengalir di tubuhmu. Kecuali kau memilih bunuh diri, mati, dimakan belatung dan hanya tersisa seonggok tulang..."
"Lupakan cerita tentang pemberontakan seorang gadis demi kekasihnya. Kita tidak sedang membuat cerita apa-apa. Kita bukan sutradara dengan panggung drama. Ada banyak drama lain yang sudah dibikin tanpa direka-reka oleh Tuhan. Bagian dari drama yang sebenarnya ini adalah...kau bukan ditakdirkan menjadi istriku!"
Aku bisa melihat cukup jelas air bening menggenangi dua mata indahnya itu.
"Kau kembalilah pada bapakmu! Jangan singgung-singgung lagi tentang cerita cinta yang pernah terjalin tidak sengaja ini. Sebab, kita hanya mengikuti kata hati, dan terkadang hatipun lelah berkata-kata. Jadi, diamkan saja. Tidak ada lagi dongeng bahwa aku akan datang bersujud di depan keangkuhan bapak ibumu."
Akupun bisa melihat ia terkulai, matanya kosong. Ah, perempuan terlalu cepat lemah ketika sudah bermain perasaan. Ia pingsan!
Aku tidak panik. Di kafe kecil terbuka di pinggir laut itu, di kursi plastik yang berwarna biru, ia pingsan.
Ia pasti akan baik-baik saja. Dalam hitungan menit nanti, ia pasti tersadar dan ia pasti tersadar. Kutinggalkan perempuanku itu. Sendiri.
Aku melangkah dengan ringan ke tempat sepeda motorku berdiri gagah. Menghidupkan mesin. Aku pergi sendiri. Tidak bersamanya. Besok pagi aku ke Malaysia. Kata pamanku di sana, ada pabrik yang bisa mempekerjakan aku.
Ya, saat nafasku tak lagi menghirup udara dari tanah ini, mungkin takkan ada dari udara usil itu nanti yang membawa lagi bayangan perempuanku itu, ke otakku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H