Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Laut Senja

10 Desember 2012   19:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:52 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355223495431900098

Dek Cut, sapaan sayangku untuknya berusia dua puluh satu tahun. Kuperkenalkan kecupan pertama di bibirnya saat ia masih berusia tujuh belas tahun. Kecupan yang sama sekali tidak kuawali permintaan izin pada ibu dan bapaknya.

Cut, jika satu nama sudah diawali dengan Cut, kerap bikin kening lelaki sepertiku mengerut. Ya, meski butuh perjuangan untuk kubisa mencuri hatinya dan menjadikannya kekasihku, itu tak terlalu berat. Terbukti memang begitu, ia menjadi kekasihku.

Masalah muncul saat ia sudah mengajak bicara nikah! Kawin. Sebuah upacara yang mestinya bisa sederhana tapi bisa bikin kepala terasa sedang dipanggang di neraka. Panas. Jelas, karena begitu tinggi tuntutannya.

Cut. Keturunan raja. Keturunan mereka yang punya nama. Keturunan penguasa. Meskipun di "tanoeh" itu sudah tak ada lagi kerajaan. Yang ada hanya mereka itu yang merasa masih berbau ketiak para raja. Dalam bersikap pun mereka ingin dihormati seperti para raja. Bangsat!

Mereka pula yang sudah membuat malam-malamku tak lagi menjadi saat untukku bisa memejamkan mata. Terang saja, mata itu bisa terpejam saat otak sudah istirahat, tak kuat lagi bekerja. Mereka membuat otakku terus bekerja. Tak dapat tidur.

Mencari jawaban. Mencoba menciptakan rumus-rumus. Jika bisa kupecahkan masalah ini, maka masalah itu muncul. Jika kupilih pecahkan masalah itu, maka masalah ini akan begini. Bergulat, otakku terus bergulat. Terkadang syaraf-syarafnya terasa menegang. Terkadang terasa nyaris putus.

Kali ini kutatapi perempuanku ini. Menatapnya dengan tajam.

Biasanya, ia akan menunduk. Sedikit termalu-malu. Dengan dua pipi yang benar-benar menyala merah. Tapi tidak untuk kali ini. Saat mataku menatapnya, iapun tak kalah tajam menatapku. Sepertinya ia sudah lelah bicara.

Memang, jika kata-katanya adalah palu. Otakku adalah batu sebesar gunung. Pasti melelahkannya untuk meruntuhkan kekeraskepalaanku.

Lewat biru matanya itu, aku menemukan lorong yang muncul seketika di imajinasiku. Sambil terus kutatapinya, langkah-langkah lamunanku menyusuri lorong itu. Terbentur pada bayang wajah angkuh dua ibu bapaknya.

"Bapak kau siapa? Ibumu? Kakekmu dulu ada hubungan dengan siapa saja? Rumahmu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun