Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darah Pelanggan Raja Singa

6 Mei 2010   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_134737" align="alignright" width="300" caption="Terkadang, lelaki harus hidup dengan darah"][/caption]

Tak ada permata yang tercipta dari buih liur mulut dusta. Seperti takkan pernah ada cerita cinta yang seindah warna senja ketika buta membaluti jiwa. ------ Hati Laila merasa perih. Pikiran Cut Jaman  menyimpan pedih. Setelah dorongan tangan Mak Suh melempar Laila. Setelah kaki Mak Suh juga nyaris mencerabut kemaluannya yang pernah mencatat sejarah atas begitu banyak wanita yang sudah ia nista.

Laila sudah beranjak ke kursi rotan yang terletak di serambi depan rumah Bidan dengan kedua tangan menopang wajah. Saat Mak Suh sedang melemparkan caci maki ke arah Laila, sehingga membuatnya harus belakangi Cut Jaman. Caci maki karena merasa Laila sudah permalukan keluarga.

"Pikirkan apa yang dikatakan orang dengan ulahmu seperti ini. Sampai Ibu yang sudah dalam kubur pun juga diungkit-ungkit orang karena perbuatan kau! Tapi kau masih saja mabuk meuagam (bermain lelaki)..."

Diluar dugaannya.

Buk, derghhhh! Sebuah meja yang juga terbuat dari rotan sudah mendarat tiba-tiba di kepala Mak Suh. Beberapa jenak lelaki kekar ini merasa kepalanya berkunang-kunang.

Pada ayunan kedua yang mulai dilakukan ulang oleh Cut Jaman ke tubuh saudara kandung selingkuhannya itu.

Tap, perghhhhhhhh!

Sebagai seorang pesilat kampung, Mak Suh bisa dengan cepat kuasai diri dan arahkan tendangan keras ke sisi sedikit ke atas lutut Cut Jamin, saat meja itu tinggal 2 jengkal lagi hampir mengenai kembali kepalanya. Karena buaya itu tidak pernah kenal dengan yang namanya kuda-kuda saat berhadapan duel dengan lawan, terang saja tendangan Mak Suh membuatnya terjerembab ke sisi muka. Wajah berkumisnya sudah berhias darah. Karena meja yang ingin disalahgunakan sebagai pemukul kembali itu lebih dulu jatuh ke depan, dengan kening selanjutnya mengenai ujung kaki meja yang sudah dalam posisi tertelungkup. Laila hanya bisa teriak-teriak

"Bek lee, bek leeeeeeeeeee (jangan lagi, jangan lagiiiii)." Histeris suara Laila membuat penduduk yang ada di lorong itu keluar rumah. Mencari sumber suara. Karena sebelumnya memang sudah ada beberapa penduduk yang berdiri sambil melihat perkelahian dua lelaki itu. Maka yang lain segera dengan mudah mengetahui di mana posisi suara teriakan perempuan. Di ujung mata masyarakat yang menyaksikan dari depan pagar rumah yang ditempati Laila itu, Mak Suh sudah lebih beringas menghentak lagi kaki kirinya yang pernah berprestasi lumpuhkan 3 maling di desanya, ke arah muka Cut Jaman. Hidung yang sering dipergunakan untuk mencium perempuan berjumlah tak terhitung itu menjadi sasaran.

Desssss! Darah muncrat dari kedua lobangnya. Membasahi baju kemeja yang tadi sudah bercampur dengan aroma tubuh Laila. Tak berhenti di situ, geram karena dilecehkan dengan sepatu yang dipukulkan ke kepalanya membuat Mak Suh kian beringas. Digenggam kuat tinjunya.

Dug, dessss!

Tinju itu kembali mengenai hidung yang sedang muncratkan darah milik Cut Jaman. Setelah dengan tepat Mak Suh mengambil posisi tubuh setengah berlutut dekat kepala buaya jantan di depannya. Mencoba bangkit dengan posisi tubuh membelakangi Mak Suh. Kembali sebuah tendangan mengarah ke bokong Cut Jaman. Pasti, pelanggan penyakit raja singa tersebut tersungkur ke lantai halaman depan yang berbatu. Di sini, ia sudah tidak bisa bangkit karena matanya sudah nanar, pandangannya sudah berkunang-kunang, kepalanya terasa mumang (pusing; pen).

Sesaat Mak Suh ingin membalas memukul kepala Cut Jaman dengan meja rotan. Dari kerumunan penduduk sudah muncul Bidan Ratna dan Rusuna istri lelaki buaya itu yang baru pulang dari acara walimahan.

"Berhentiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.........." Teriakan Bidan Ratna cukup punya daya hipnotis juga. Paling tidak Mak Suh bisa seketika membatalkan niat membalas memukul kepala lelaki yang sudah terkapar di depannya itu. Dan melemparkan meja itu ke arah lain. Dalam waktu yang juga tidak terlalu lama, Kepala Lorong tiba dengan Ketua Pemuda desa Gampoeng Likoet. Mereka membubarkan kerumunan massa.

Sekalipun sebagian mematuhi perintah Kepala Lorong, beberapa ada juga yang bersikeras untuk hanya menjauh beberapa langkah saja dari depan pagar dengan mata tetap ke "ring duel" yang jarang bisa dilihat kalau bukan di televisi hitam putih yang ada di rumah, itupun kalau sudah Acara: Berita Terakhir di TVRI, kalau misal ada.

Bergegas, Bidan Ratna yang sekalipun memiliki spesialisasi di bidang persalinan tetapi di rumahnya juga ada obat-obatan lainnya untuk kebutuhan orang terluka, seperti yang dialami Cut Jaman. Maka, tanpa banyak bicara ia langsung meminta beberapa lelaki yang masih ada di situ, termasuk Dani, ketua pemuda untuk mengangkat Cut Jaman ke dalam. Bersihkan luka di kepalanya.

Selesai, baru Kepala Lorong meminta Mak Suh untuk duduk berhadapan dengannya di ruang depan rumah bidan itu. Mak Suh pun duduk begitu saja di kursi rotan dengan memegangi kepalanya yang ternyata sekarang membengkak bekas pukulan Cut Jaman tadi. Berlangsung acara tanya menanya kenapa hal itu bisa terjadi. Sambil tenangkan diri, Mak Suh jelaskan apa adanya kenapa ia bisa sekasar itu pada Cut Jaman. Cut Jaman sendiri tidak bisa bicara terlalu banyak karena bibirnya juga terluka karena berkali-kali terjatuh setelah dibola-bola kaki Mak Suh. Ia hanya mendengar saja, termasuk Rusuna yang memang dasarnya pendiam. Setelah jelas duduk persoalan.

[caption id="attachment_134739" align="alignleft" width="234" caption="Laila, milikilah hati yang lebih indah dari tubuhmu"][/caption]

Giliran Bidan Ratna angkat bicara, tetapi tidak panjang. Hanya meminta maaf pada Rusuna atas sikap Mak Suh yang dalam waktu tidak lama sudah diposisikan seperti Laila, sudah dianggap bagian keluarga karena Mak Suh saudara kandung Laila. Cuma, tidak jelas bagaimana, soal kekejian yang sempat nyaris tuntas dilakukan Laila dengan Cut Jaman sama sekali tidak tercium. Meskipun kronologi sudah jelas dituturkan. Sepertinya memang Bidan Laila dan aparat desa yang enggan memperpanjang persoalan menelusuri kemungkinan perselingkuhan Cut Jaman dengan Laila.

Persoalan itupun tidak dipolisikan walaupun berdarah-darah juga, meski cuma darah hidung dan kepala. Apalagi biasanya, di Aceh jika sudah berhubungan dengan darah memang bisa keluar 2 kemungkinan, kalau tidak dipolisikan, bisa juga dengan acara adat berupa peusijuk lengkap dengan uang ganti rugi sebesar yang diminta oleh keluarga yang ’teraniaya’. Tetapi, kembali setelah ditelisik Cut Jaman sendiri yang sudah lebih dulu bermain sepatu di tempat yang jelas-jelas tidak mirip lantai, maksudnya jelas kepala manusia. Maka pihak desa pun mengambil keputusan di tempat, tidak juga diharuskan penyelesaian di rumah aparat desa, selesai di rumah Bidan Ratna.

Di sana, Cut Jaman disuruh petua desa untuk bersalaman dengan Mak Suh. Mereka pun bersalaman meski tidak dilengkapi dengan senyum untuk penguat bahwa damai itu benar-benar sudah diterima kedua belah pihak.

Sedangkan Laila sendiri? Yap, dengan berat hati, Bidan Ratna memintanya untuk ikuti ajakan kakaknya kembali ke desa.

“Nanti, kalau memang masih ingin kerja juga di sini, silahkan saja datang ya Kak Laila.” Meskipun Laila lebih muda, Bidan Ratna kerap memanggilnya dengan Kak, sebagai bentuk penghormatan perempuan gemuk tetapi berhati bersih itu pada Laila perempuan pemain sandiwara.”Kapan saja nanti Kak Laila ke sini, pintu rumah ini selalu terbuka  untuk kedatangan Kak Laila, jangan khawatir. Cuma sebaiknya, memang kalau keluar rumah itu harus seizin suami.”

Laila hanya bisa mengangguk dengan segudang perasaan bersalah. Kalung emas seberat 10 gram milik Bidan Ratna yang sebenarnya masih berada di leher, dilepaskannya seketika dan diberikan pada Laila.”Mungkin kapan dibutuhkan nanti bisa Kak Laila jual saja.” Sambil juga berikan uang sebesar 20 ribu rupiah. Bagaimanapun kerasnya hati Laila, tetapi dengan kelembutan dan ketulusan Bidan Ratna, cukup bisa membuat perempuan yang jarang menangis dengan kejujuran itu sekarang menangis benar-benar menangis. Kali ini murni bukan tangis sandiwara. Sungguh-sungguh air mata yang keluar karena terharu.

Hanya 30 menit saja Laila kumpulkan pakaiannya. Ia berangkat pulang setelah memeluk Bidan Ratna sebagai ucapan perpisahan yang tidak jelas sampai kapan. Ia juga bersalaman dengan Nek Sari, ibu Bidan Ratna yang tidak tahu menahu apa yang terjadi. Bahkan ketika tadi suara ribut-ribut di luar, beliau sedang lelap tidur tanpa terpengaruh sama sekali.

Sebuah tas berbentuk kotak plastik segi empat yang menjadi tempat pakaian Laila, dompet kecil yang

[caption id="attachment_134742" align="alignright" width="300" caption="Doakan ibumu, Nak"][/caption]

juga pemberian Bidan Ratna. Kakak beradik, Mak Suh dan Laila itu berpamitan. Jeuram menjadi tujuan karena Mak Suh tinggal di sana. Setiba di kota kecamatan itu. Tidak langsung dibawanya Laila ke tempat tinggal Hasan bersama anak-anak. Melainkan disuruhnya Laila berdiam dulu di rumah Mak Suh.

Keesokan harinya. Baru, Hasan di jemput saudara Laila lainnya, Mak Kib di Pulo Raya untuk datang ke Jeuram. Sebelum berangkat, Mak Keudee sempat titipkan pesan. ”Seperti apapun sakit hatimu pada ibunya anak-anakmu ini. Mak titip pesan, jangan kau pukuli dia. Tunjukkan sikapmu, seolah-olah tidak ada masalah. Kau harus ingat pesan Mak.” Berangkatlah Hasan ke Jeuram bersama saudara kandung Laila itu. Di pikiran, berkecamuk marah, rindu, benci, cinta. Campur aduk.

———— To be continued [Sebuah cerita yang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi di negeri syariat: Aceh]. Dedicated to: Perempuan miskin di negeriku Sumber Gambar: di sini dan di sini juga sini ————– Tulisan terkait: 1. Kenapa Telanjangi Laila 2. Keringat Laila. 3. Dada Laila 4. Meniduri Laila 5. Malam Pertama Laila 6. Perselingkuhan Perempuan Desa 7. Lelaki lain di Kamar Laila 8. Berita dari Kamar Laila 9. Hanya Selingkuh Biasa, Laila 10. Menyembunyikan Perselingkuhan. 11. Perempuan itu Menjual Diri 12. Jalan Meneruskan Perselingkuhan 13. Peselingkuh Kena Batu. 14. Saat Ibu Menyiksa Anaknya 15. Aku Malang, Istriku Jalang 16. Istriku Jalang Mengejar Lajang 17. Demi Selingkuhan 18. Istriku Jalang dan Lelaki Malaikat 19. Ibu Anakku: Perempuan Bergilir 20. Lepas Setubuh Subuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun