Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darah Pelanggan Raja Singa

6 Mei 2010   09:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:22 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dug, dessss!

Tinju itu kembali mengenai hidung yang sedang muncratkan darah milik Cut Jaman. Setelah dengan tepat Mak Suh mengambil posisi tubuh setengah berlutut dekat kepala buaya jantan di depannya. Mencoba bangkit dengan posisi tubuh membelakangi Mak Suh. Kembali sebuah tendangan mengarah ke bokong Cut Jaman. Pasti, pelanggan penyakit raja singa tersebut tersungkur ke lantai halaman depan yang berbatu. Di sini, ia sudah tidak bisa bangkit karena matanya sudah nanar, pandangannya sudah berkunang-kunang, kepalanya terasa mumang (pusing; pen).

Sesaat Mak Suh ingin membalas memukul kepala Cut Jaman dengan meja rotan. Dari kerumunan penduduk sudah muncul Bidan Ratna dan Rusuna istri lelaki buaya itu yang baru pulang dari acara walimahan.

"Berhentiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.........." Teriakan Bidan Ratna cukup punya daya hipnotis juga. Paling tidak Mak Suh bisa seketika membatalkan niat membalas memukul kepala lelaki yang sudah terkapar di depannya itu. Dan melemparkan meja itu ke arah lain. Dalam waktu yang juga tidak terlalu lama, Kepala Lorong tiba dengan Ketua Pemuda desa Gampoeng Likoet. Mereka membubarkan kerumunan massa.

Sekalipun sebagian mematuhi perintah Kepala Lorong, beberapa ada juga yang bersikeras untuk hanya menjauh beberapa langkah saja dari depan pagar dengan mata tetap ke "ring duel" yang jarang bisa dilihat kalau bukan di televisi hitam putih yang ada di rumah, itupun kalau sudah Acara: Berita Terakhir di TVRI, kalau misal ada.

Bergegas, Bidan Ratna yang sekalipun memiliki spesialisasi di bidang persalinan tetapi di rumahnya juga ada obat-obatan lainnya untuk kebutuhan orang terluka, seperti yang dialami Cut Jaman. Maka, tanpa banyak bicara ia langsung meminta beberapa lelaki yang masih ada di situ, termasuk Dani, ketua pemuda untuk mengangkat Cut Jaman ke dalam. Bersihkan luka di kepalanya.

Selesai, baru Kepala Lorong meminta Mak Suh untuk duduk berhadapan dengannya di ruang depan rumah bidan itu. Mak Suh pun duduk begitu saja di kursi rotan dengan memegangi kepalanya yang ternyata sekarang membengkak bekas pukulan Cut Jaman tadi. Berlangsung acara tanya menanya kenapa hal itu bisa terjadi. Sambil tenangkan diri, Mak Suh jelaskan apa adanya kenapa ia bisa sekasar itu pada Cut Jaman. Cut Jaman sendiri tidak bisa bicara terlalu banyak karena bibirnya juga terluka karena berkali-kali terjatuh setelah dibola-bola kaki Mak Suh. Ia hanya mendengar saja, termasuk Rusuna yang memang dasarnya pendiam. Setelah jelas duduk persoalan.

[caption id="attachment_134739" align="alignleft" width="234" caption="Laila, milikilah hati yang lebih indah dari tubuhmu"][/caption]

Giliran Bidan Ratna angkat bicara, tetapi tidak panjang. Hanya meminta maaf pada Rusuna atas sikap Mak Suh yang dalam waktu tidak lama sudah diposisikan seperti Laila, sudah dianggap bagian keluarga karena Mak Suh saudara kandung Laila. Cuma, tidak jelas bagaimana, soal kekejian yang sempat nyaris tuntas dilakukan Laila dengan Cut Jaman sama sekali tidak tercium. Meskipun kronologi sudah jelas dituturkan. Sepertinya memang Bidan Laila dan aparat desa yang enggan memperpanjang persoalan menelusuri kemungkinan perselingkuhan Cut Jaman dengan Laila.

Persoalan itupun tidak dipolisikan walaupun berdarah-darah juga, meski cuma darah hidung dan kepala. Apalagi biasanya, di Aceh jika sudah berhubungan dengan darah memang bisa keluar 2 kemungkinan, kalau tidak dipolisikan, bisa juga dengan acara adat berupa peusijuk lengkap dengan uang ganti rugi sebesar yang diminta oleh keluarga yang ’teraniaya’. Tetapi, kembali setelah ditelisik Cut Jaman sendiri yang sudah lebih dulu bermain sepatu di tempat yang jelas-jelas tidak mirip lantai, maksudnya jelas kepala manusia. Maka pihak desa pun mengambil keputusan di tempat, tidak juga diharuskan penyelesaian di rumah aparat desa, selesai di rumah Bidan Ratna.

Di sana, Cut Jaman disuruh petua desa untuk bersalaman dengan Mak Suh. Mereka pun bersalaman meski tidak dilengkapi dengan senyum untuk penguat bahwa damai itu benar-benar sudah diterima kedua belah pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun