Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Di Balik Cerita Jam Tangan Panglima

24 April 2014   08:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13982763891035100668

[caption id="attachment_333001" align="aligncenter" width="580" caption="Setelah jam tangan Jenderal terlepas, isyarat sang jenderal takkan bermain-main saat harus turun tangan - Gbr: Indonesiaraya.com"][/caption]

Berawal dari kebawelan media yang nyaris tak memiliki nama. Kebetulan saja, itu media milik Singapura. Tapi, kukira bukan kebetulan mereka bisa menyorot jam tangan yang membelit tangan tokoh penting di pemerintahan Indonesia, Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Lalu, untuk meyakinkan publik, bahwa gunjingan media negara tetangga itu sama sekali tak benar, ia membanting jam itu ke lantai di depan wartawan. Selesaikah di sana? Belum, saya kira.

Ada pesan yang harus dibaca melebihi sekadar yang tertulis di pelbagai media. Ada persoalan nama militer di sana yang diserang tanpa menggunakan kekuatan militer.

Itu sebuah kecerdasan, jika tidak mengatakannya sebagai akal bulus. Betapa, sebenarnya tidak butuh gajah untuk mengusik gajah.

Mirip-mirip dengan cerita dongeng yang sangat populer di dunia masyarakat Melayu: Kancil. Betapa, kancil itu hanya hewan kecil saja, tapi ia kerap secara berani mengusik hewan yang lebih besar dan beringas. Menariknya, dalam seluruh ceritanya melawan hewan yang lebih besar itu, ia selalu selamat dan aman-aman saja. Hanya siput satu-satunya yang mampu mengecohnya. Sementara buaya, macan, gajah, berulang kali bisa dipermainkan Kancil sambil terkekeh-kekeh.

Maka itu, saat berita jam tangan sang Jenderal merebak, ingatan saya seketika terbawa ke cerita Kancil tersebut. Tapi saya tidak tahu persis, siapa di negeri jiran itu yang tertawa terkekeh-kekeh, ketika mereka melihat masalah jam tangan itu gencar dibincangkan di jauh lebih banyak media di Indonesia.

Gayung bersambut--lagi-lagi mengutip istilah Melayu. Tidak bermaksud berprasangka, tapi prasangka itu tiba saja seketika di benak saya: mereka hanya sedang butuh anekdot. Bukankah guyon terlucu itu jika bisa menertawakan sesuatu yang tak gampang untuk ditertawakan. Tapi, mereka sukses melakukan itu.

Namun pada saat yang sama, saya yakin duta besar negara itu, masih akan tetap dengan enteng duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan penguasa di negara tetangga mereka yang berbadan gemuk.

Mereka takkan tertawa di depan mata, karena di depan si gemuk maka nyamuk akan lebih remuk jika dikepruk. Singapura tahu, atas semua kejengkelan yang menyelinap di pikiran dan perasaan mereka, membanting meja di depan seorang Panglima berprajurit yang tak menghitung-hitung harga nyawa, tak mudah. Maka mereka bermain-main lewat media.

Mereka sangat mafhum, satu gambar bisa mewakili sejuta kata. Sementara kata-kata bisa lebih tajam dari peluru. Di situ mereka bermain, tanpa perlu melepas peluru yang sebenarnya.

Ya, begitulah terpikir di benak saya saat membiarkan sudut pandang antagonistik datang, mengalir, hingga benar-benar saya alirkan ke dalam tulisan ini.

Tapi di sisi lain, saya mencoba untuk mengulik ulang semua yang terpikirkan itu. Mencoba merenung-renung lebih ke dalam dan lebih ke dalam--mengutip bahasa para ahli hipnotis.

Hanya, yang saya dapati tak jauh-jauh dari soal kelicikan Kancil dan kepongahan gajah.

Karena memang soal jam tangan panglima "Kerajaan Gajah" berkait juga dengan kekuatan militer, maka kelicikan kontra kepongahan itu bisa juga dilihat dari bagaimana "Kerajaan Kancil" menghadapinya.

Tak banyak diketahui publik, Singapura saat ini memiliki kekuatan militer dari sisi peralatan tempur, di beberapa sisi, jauh lebih baik. Ketika Indonesia hanya memiliki 500-an kendaraan lapis baja, mereka sudah memilikinya sebanyak 2 ribu lebih. Saat Indonesia memiliki artileri jarak jauh yang sedikit di atas 50 unit, mereka sudah memiliki 262 unit. Tidak itu saja, dari sisi kekuatan keuangan pun, kedua negara jauh berbeda. Indonesia hanya memiliki anggaran pertahanan sebesar USD 5,2 miliar  atau sekitar Rp 60,5 triliun . Bagaimana dengan Singapura? Mereka memiliki kocek tak kurang dari USD 8,3 miliar atau Rp 96,5 triliun.

"Tidak apa-apa, kita memiliki prajurit tidak kurang dari 400 ribuan prajurit! Mereka? Mereka hanya punya 72 ribu prajurit, berkali-kali lipat kita jauh di atas mereka!" Ini jelas bukanlah kata-kata yang akan diucapkan sang jenderal. Ia tahu, perang tak hanya sekadar seberapa besar jumlah tentara.

Itu hanya gambaran kecil yang muncrat dari benak saya. Siapa tahu kerewelan itu justru benar-benar menjadi awal untuk kedua negara bertetangga saling "jambak-jambakan". Entahlah. Sebab, taruhlah jam tangan sang Panglima telah hancur setelah dibanting, tapi waktu masih terus berjalan. Bisa saja bukan, dalam perjalanan setelah jam tangan itu hancur, jika ada hal-hal sensitif lantas sang panglima takkan lagi berlama-lama untuk turun tangan tanpa merasa digelisahkan lagi oleh jam tangan "yang hanya" Rp 5 juta itu rusak. (FOLLOW: @ZOELFICK)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun