[caption id="attachment_333001" align="aligncenter" width="580" caption="Setelah jam tangan Jenderal terlepas, isyarat sang jenderal takkan bermain-main saat harus turun tangan - Gbr: Indonesiaraya.com"][/caption]
Berawal dari kebawelan media yang nyaris tak memiliki nama. Kebetulan saja, itu media milik Singapura. Tapi, kukira bukan kebetulan mereka bisa menyorot jam tangan yang membelit tangan tokoh penting di pemerintahan Indonesia, Panglima TNI Jenderal Moeldoko. Lalu, untuk meyakinkan publik, bahwa gunjingan media negara tetangga itu sama sekali tak benar, ia membanting jam itu ke lantai di depan wartawan. Selesaikah di sana? Belum, saya kira.
Ada pesan yang harus dibaca melebihi sekadar yang tertulis di pelbagai media. Ada persoalan nama militer di sana yang diserang tanpa menggunakan kekuatan militer.
Itu sebuah kecerdasan, jika tidak mengatakannya sebagai akal bulus. Betapa, sebenarnya tidak butuh gajah untuk mengusik gajah.
Mirip-mirip dengan cerita dongeng yang sangat populer di dunia masyarakat Melayu: Kancil. Betapa, kancil itu hanya hewan kecil saja, tapi ia kerap secara berani mengusik hewan yang lebih besar dan beringas. Menariknya, dalam seluruh ceritanya melawan hewan yang lebih besar itu, ia selalu selamat dan aman-aman saja. Hanya siput satu-satunya yang mampu mengecohnya. Sementara buaya, macan, gajah, berulang kali bisa dipermainkan Kancil sambil terkekeh-kekeh.
Maka itu, saat berita jam tangan sang Jenderal merebak, ingatan saya seketika terbawa ke cerita Kancil tersebut. Tapi saya tidak tahu persis, siapa di negeri jiran itu yang tertawa terkekeh-kekeh, ketika mereka melihat masalah jam tangan itu gencar dibincangkan di jauh lebih banyak media di Indonesia.
Gayung bersambut--lagi-lagi mengutip istilah Melayu. Tidak bermaksud berprasangka, tapi prasangka itu tiba saja seketika di benak saya: mereka hanya sedang butuh anekdot. Bukankah guyon terlucu itu jika bisa menertawakan sesuatu yang tak gampang untuk ditertawakan. Tapi, mereka sukses melakukan itu.
Namun pada saat yang sama, saya yakin duta besar negara itu, masih akan tetap dengan enteng duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan penguasa di negara tetangga mereka yang berbadan gemuk.
Mereka takkan tertawa di depan mata, karena di depan si gemuk maka nyamuk akan lebih remuk jika dikepruk. Singapura tahu, atas semua kejengkelan yang menyelinap di pikiran dan perasaan mereka, membanting meja di depan seorang Panglima berprajurit yang tak menghitung-hitung harga nyawa, tak mudah. Maka mereka bermain-main lewat media.
Mereka sangat mafhum, satu gambar bisa mewakili sejuta kata. Sementara kata-kata bisa lebih tajam dari peluru. Di situ mereka bermain, tanpa perlu melepas peluru yang sebenarnya.
Ya, begitulah terpikir di benak saya saat membiarkan sudut pandang antagonistik datang, mengalir, hingga benar-benar saya alirkan ke dalam tulisan ini.