Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Setelah Skandal Dikti Dilirik Media Televisi

13 September 2014   11:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 1173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kasus Dikti disorot media televisi, apakah masalah selesai di sini? (Gbr: Zulfikar Akbar-Screenshoot BeritaSatuTV)

Karyasiswa yang menempuh pendidikan magister dan doktoral di luar negeri kini bisa bernapas lega. Setelah keluhan-keluhan mereka tak ditanggapi, situasi buruk mereka alami sempat dituding hanya dramatisasi, pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sekarang tak bisa berkelit lagi. Kontribusi kecil saya mengangkat kasus itu via Kompasiana dan Twitter melahirkan reaksi. Terlebih setelah pihak televisi pun menyoroti kasus ini.

Adalah TV BeritaSatu sebagai stasiun televisi pertama menelaah kasus tersebut, Jumat (13/9), setelah beberapa hari saya mengembuskan isu itu di Kompasiana dan Twitter--dan juga dipublikasi ulang oleh berbagai media online. Pihak televisi ini, mengadakan dialog khusus bertajuk: Sengkarut Beasiswa Luar Negeri Dikti. Mereka menghadirkan Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si--Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Dirjen Dikti. Tak ketinggalan, salah satu pengamat pendidikan, Agus Sutiyono, dan tiga karyasiswa Dikti di luar negeri: Abdul Hamid di Jepang, M. Nasir Soni (Inggris), dan Cenuk Sayekti (Sydney, Australia).

Dalam acara dialog itu, sedikitnya mulai terurai benang kusut yang selama ini meresahkan para karyasiswa atau mahasiswa penerima beasiswa Dikti di luar negeri.

Bahwa, pihak Dikti yang diwakili Supriadi Rustad mengakui, adanya sangat banyak persoalan yang selama ini melingkari instansi tempat ia bekerja. Sehingga hal itu berpengaruh besar terhadap proses pengiriman dana yang menjadi hak para karyasiswa.

Namun, penjelasan dari representasi Dikti itu, beberapa kali membuat pemandu dialog, Ira Syarif, news presenter BeritaSatu dan Sutiyono mempertanyakan ulang penjelasan yang diberikan profesor tersebut. Jika dibahasakan ulang, kenapa bisa masalah-masalah yang ada bisa terbiarkan bertahun-tahun seolah tidak ada iktikad untuk membenahi? Seperti juga digugat oleh Agus Sutiyono, yang menanggapi penjelasan Supriadi.

Saya menyimak semua penjelasan yang diberikan hingga menemukan kesimpulan, selama ini pihak Dikti "terlalu aman". Alhasil, bukanlah hal mengherankan jika para mahasiswa terkait, setiap membincangkan masalah yang mereka alami di luar negeri seakan hanya menghadap tembok tebal.

Perasaan aman yang dirasakan pihak instansi itu membuat mereka tak merasa terbeban, apapun kondisi para mahasiswa yang harus berjibaku dengan kehidupan di sana, bertarung dengan masalah kebutuhan sehari-hari hingga seabrek tugas dari tempat mereka kuliah. Sehingga mengesankan, bahwa pihak mahasiswa itulah yang membutuhkan Dikti, sementara institusi ini memosisikan diri sebagai pihak yang dibutuhkan.

Saya kira itulah logika yang selama ini dipegang pihak institusi tersebut. Sehingga mahasiswa yang dicueki setiap mengajak mereka berdiskusi, hanya bisa menyimpan kedongkolannya dalam hati. Eksesnya, masalah berlarut-larut dan terjadi secara berulang-ulang. Sesuatu bisa berlarut-larut dan berulang-ulang, cenderung karena memang tak ada yang membuat mereka terusik.

Bukan hal mengherankan juga, beberapa pejabat kampus dari berbagai perguruan tinggi yang menghubungi saya akhir-akhir, agak terlihat "ketakutan" untuk membuka diri saat membicarakan seputar Dikti. Walaupun--dari dialog yang ditayangkan TV BeritaSatu dengan tiga karyasiswa yang dilibatkan--telanjang terlihat bahwa problem dialami mahasiswa itu bukanlah hal yang mengada-ada. Juga, arogansi pihak Dikti bukanlah sekadar tuduhan saja.

Hal-hal itu, dalam hemat saya merupakan sebuah petunjuk, adanya semacam pembiaran. Juga, terdapat budaya meremehkan terhadap peran yang sedang dilakonkan para karyasiswa di luar negeri. Tanpa melihat bahwa para karyasiswa itu sedang mengemban harapan penting negaranya--secara sederhana--pergi ke luar negeri menimba ilmu untuk dibawa kembali ke negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun