Setelah kasus Dikti disorot media televisi, apakah masalah selesai di sini? (Gbr: Zulfikar Akbar-Screenshoot BeritaSatuTV)
Karyasiswa yang menempuh pendidikan magister dan doktoral di luar negeri kini bisa bernapas lega. Setelah keluhan-keluhan mereka tak ditanggapi, situasi buruk mereka alami sempat dituding hanya dramatisasi, pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sekarang tak bisa berkelit lagi. Kontribusi kecil saya mengangkat kasus itu via Kompasiana dan Twitter melahirkan reaksi. Terlebih setelah pihak televisi pun menyoroti kasus ini.
Adalah TV BeritaSatu sebagai stasiun televisi pertama menelaah kasus tersebut, Jumat (13/9), setelah beberapa hari saya mengembuskan isu itu di Kompasiana dan Twitter--dan juga dipublikasi ulang oleh berbagai media online. Pihak televisi ini, mengadakan dialog khusus bertajuk: Sengkarut Beasiswa Luar Negeri Dikti. Mereka menghadirkan Prof. Dr. Supriadi Rustad, M.Si--Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Dirjen Dikti. Tak ketinggalan, salah satu pengamat pendidikan, Agus Sutiyono, dan tiga karyasiswa Dikti di luar negeri: Abdul Hamid di Jepang, M. Nasir Soni (Inggris), dan Cenuk Sayekti (Sydney, Australia).
Dalam acara dialog itu, sedikitnya mulai terurai benang kusut yang selama ini meresahkan para karyasiswa atau mahasiswa penerima beasiswa Dikti di luar negeri.
Bahwa, pihak Dikti yang diwakili Supriadi Rustad mengakui, adanya sangat banyak persoalan yang selama ini melingkari instansi tempat ia bekerja. Sehingga hal itu berpengaruh besar terhadap proses pengiriman dana yang menjadi hak para karyasiswa.
Namun, penjelasan dari representasi Dikti itu, beberapa kali membuat pemandu dialog, Ira Syarif, news presenter BeritaSatu dan Sutiyono mempertanyakan ulang penjelasan yang diberikan profesor tersebut. Jika dibahasakan ulang, kenapa bisa masalah-masalah yang ada bisa terbiarkan bertahun-tahun seolah tidak ada iktikad untuk membenahi? Seperti juga digugat oleh Agus Sutiyono, yang menanggapi penjelasan Supriadi.
Saya menyimak semua penjelasan yang diberikan hingga menemukan kesimpulan, selama ini pihak Dikti "terlalu aman". Alhasil, bukanlah hal mengherankan jika para mahasiswa terkait, setiap membincangkan masalah yang mereka alami di luar negeri seakan hanya menghadap tembok tebal.
Perasaan aman yang dirasakan pihak instansi itu membuat mereka tak merasa terbeban, apapun kondisi para mahasiswa yang harus berjibaku dengan kehidupan di sana, bertarung dengan masalah kebutuhan sehari-hari hingga seabrek tugas dari tempat mereka kuliah. Sehingga mengesankan, bahwa pihak mahasiswa itulah yang membutuhkan Dikti, sementara institusi ini memosisikan diri sebagai pihak yang dibutuhkan.
Saya kira itulah logika yang selama ini dipegang pihak institusi tersebut. Sehingga mahasiswa yang dicueki setiap mengajak mereka berdiskusi, hanya bisa menyimpan kedongkolannya dalam hati. Eksesnya, masalah berlarut-larut dan terjadi secara berulang-ulang. Sesuatu bisa berlarut-larut dan berulang-ulang, cenderung karena memang tak ada yang membuat mereka terusik.
Bukan hal mengherankan juga, beberapa pejabat kampus dari berbagai perguruan tinggi yang menghubungi saya akhir-akhir, agak terlihat "ketakutan" untuk membuka diri saat membicarakan seputar Dikti. Walaupun--dari dialog yang ditayangkan TV BeritaSatu dengan tiga karyasiswa yang dilibatkan--telanjang terlihat bahwa problem dialami mahasiswa itu bukanlah hal yang mengada-ada. Juga, arogansi pihak Dikti bukanlah sekadar tuduhan saja.
Hal-hal itu, dalam hemat saya merupakan sebuah petunjuk, adanya semacam pembiaran. Juga, terdapat budaya meremehkan terhadap peran yang sedang dilakonkan para karyasiswa di luar negeri. Tanpa melihat bahwa para karyasiswa itu sedang mengemban harapan penting negaranya--secara sederhana--pergi ke luar negeri menimba ilmu untuk dibawa kembali ke negeri ini.
Karenanya, saya berpikir, perlu adanya sebuah tindakan serius dari pihak kementerian terkait. Terlebih ini adalah masalah yang berhubungan dengan pendidikan, sesuatu yang berkait erat dengan dunia "ruh", yang menentukan ke mana "tubuh" negeri ini kelak akan berada.
Artinya, menurut pendapat saya, "Bahwa seminggu ke depan kami akan menyelesaikan masalah ini," seperti dijanjikan Supriadi di acara dialog BeritaSatu tersebut, tidak lantas masalah sudah selesai.
Sederhana, jika mempertanyakan kenapa itu saya katakan belum selesai, karena tak ada jaminan bahwa hal itu takkan terulang lagi di masa mendatang. Apalagi, setelah polemik itu merebak hingga ke layar televisi pun, dari penuturan Supriadi di dialog tersebut juga terlihat kesan, pihak ingin buang badan dari pertanggungjawaban atas kompleksitas masalah itu. Tersirat seakan-akan, yang diributkan itu tak lebih dari masalah uang dan uang. Jadi, memberi uang itu, maka masalah sudah tak ada lagi.
Tidak terlihat oleh saya ada satu statemen meyakinkan dari pihak Dikti, bahwa mereka memiliki rumus tertentu untuk membuat masalah yang kerap berulang itu untuk tidak terjadi lagi. Ini menjadi satu hal yang sangat disayangkan. Apalagi secara kebetulan, di acara yang ditayangkan televisi tersebut, tidak terlihat pembicara yang mewakili instusi yang berada di atas Dikti. Sehingga sulit disimpulkan, apakah benar, masalah sudah selesai di sini? Wallaahu a'lam (Twitter: @ZOELFICK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H