***
Di Palmerah, saya bersahabat dekat dengan beberapa pedagang kecil yang berada di kios-kios sederhana. Persahabatan yang terbangun lewat komunikasi dan empati. Setiap pulang dari kantor, yang biasanya sudah menjelang larut malam, saya menyinggahi mereka. Tidak selalu membeli barang dagangan mereka. Walaupun sering kali saya usahakan menjadikan diri sebagai pelanggan mereka, walaupun yang saya beli tak selalu ada sesuatu yang benar-benar saya butuhkan.
Maka saya mengenal Ibu Rum, seorang janda berusia 60-an, yang nyaris tak pernah mengeluh tentang kehidupannya. Ia pernah menjadi pengusaha konveksi, namun jatuh bangkrut, hingga ia--selepas kematian suaminya--berusaha mandiri hanya dengan membuka kios kecil yang menjual kebutuhan berupa makanan dan minuman, bersama adiknya bernama Andi--pria yang pernah belasan tahun merantau ke Malaysia.
Mereka merupakan keluarga, yang juga menjadi teman belajar saya, bagaimana membangun keluarga yang bisa membawa manfaat bagi orang lain. Ibu Rum, meski ia secara lahiriah terlihat berwajah datar saja, seakan tidak ramah, tapi perempuan menjelang senja ini memiliki kepedulian yang tinggi.
Setiap ia melihat ibu-ibu yang tua dan kelelahan melewati kiosnya, dengan sigap ia mengambil air dan memberikannya kepada ibu tua tersebut. Saya menyaksikan ini bukan hanya sekali dua kali. Tidak itu saja, kesibukan dia mengumpulkan rupiah demi rupiah tak menghalanginya untuk melakukan sesuatu.
"Bagi saya, hidup itu ibadah, tapi ibadah itu bukan hanya banyak menyebut nama Tuhan tapi melupakan sesama manusia," begitu sekali waktu ia menjelaskan prinsip hidupnya.
Sedangkan adiknya, Andi (46 tahun), juga seorang laki-laki yang pernah memiliki pekerjaan prestisius, namun pada saat ia mengalami kemunduran akibat penipuan dari rekannya, tak menghentikannya untuk bisa "mencari masalah". Ya, bagi dia, bersedia membuka diri mendengarkan masalah orang-orang di sekelilingnya, adalah peluang untuk bisa melakukan sesuatu. Logika yang ia anut tidaklah soal untung rugi.
"Kalau kita bermatematika selalu, kadangkala hanya akan membuat kita terkekang untuk bisa melakukan sesuatu," ujar dia, dengan aksen Malaysia yang belum bisa sepenuhnya ia hilangkan. "Maka soal berempati, bagi saya adalah keberanian memberi, untuk melakukan apa saja berdasar kemampuan kita. Jika ada tetangga yang lapar, maka yang pertama bertanggung jawab tidak selalu harus pemerintah, tapi kita sendiri juga sebagai tetangganya, apa yang bisa kita beri."
Ia berpendapat, bicara berbuat untuk negara, jika hanya menunggu pemerintah saja, artinya membiarkan kesempatan menunjukkan karakter manusia sesungguhnya dan karakter satu bangsa sebenarnya hanya terkekang oleh pemerintah yang berjumlah terlalu sedikit dibanding penduduk negeri ini.
"Banyak hal buruk di negara kita ini tidak berubah bukan karena masalah kurangnya populasi sebagai kekuatan, tapi karena kurangnya kemauan untuk berbuat dan saling peduli. Kita bicara persatuan, tapi kita justru bercerai satu sama lain hanya karena berbeda agama, beda suku, dan beda aliran politik. Padahal sepanjang orang-orang baik bisa bekerja sama, maka akan banyak hal baik bisa dilakukan," ujar Andi, yang acap mengulang kalimat ini di beberapa kesempatan.
Sedangkan di Pluit, yang kebetulan lokasi tempat kantor saya bekerja berada, saya gemar memanfaatkan waktu menjelang jam kantor untuk mendatangi pemulung-pemulung yang berada di sana. Di antara yang paling akrab dengan saya adalah pemulung berusia sekitar 70an tahun. Ia hidup sendiri dan sehari-hari mengumpulkan plastik-plastik bekas, yang dikumpulkan olehnya dalam gerobak berukuran 2x1 meter.