Soal bagaimana istri melayani seorang suami, bagi saya bukan hal yang harus dituntut dari istri. Sebab di sini bukan soal siapa melayani siapa, tapi bagaimana kalau soal melayani itu menjadi kebiasaan masing-masing. Jika istri bisa melayani suami, bukan hal keliru jika suami melayani istri.
Ini jelas masalah serius. Apalagi jika dikorelasikan dengan masalah yang berhubungan dengan negara, sejauh mana seorang istri berkembang, bagaimana terciptanya keluarga yang memiliki ciri bahagia, dalam hemat saya bukan soal seberapa lebar tawa dari istri tersebut, melainkan sejauh mana ia bisa diajak untuk bekerja sama, bahwa kita bisa bersama-sama untuk berbuat apa yang kita bisa untuk sekeliling.
Menafikan prinsip-prinsip yang dibutuhkan dalam sebuah keluarga, telah banyak bukti bahwa itu hanya melahirkan penjahat dan perusak. Seorang suami bisa menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)--kasus yang juga kerap memusingkan pejabat negara--karena ketiadaan "peta jalan" untuk perjalanan keluarganya. Lebih jauh, anak-anak yang dilahirkan "terpaksa" hanya menyaksikan berbagai hal mengecewakan, dan tentu akan buruk bagi pendidikannya.
Saya membayangkan, jika dalam keluarga sudah terbangun berbagai karakter positif, maka dari sana akan melahirkan generasi yang positif--terlepas saya sendiri baru membangun keluarga dengan satu istri. Generasi yang akan lebih banyak berpikir berbuat yang bermanfaat daripada yang tidak bermanfaat, aktif dibandingkan hanya sekadar reaktif, membangun daripada merusak, dan menginspirasi daripada memadamkan optimisme bahwa negeri ini masih bisa menjadi negara yang lebih baik.
Sedikitnya, inilah yang sedang saya usahakan untuk saya lakukan untuk diterapkan pada diri sendiri dan keluarga. Setelah pengalaman baik dan buruk yang pernah saya alami sendiri meyakinkan saya bahwa kebiasaan baiklah yang akan melahirkan karakter baik. Walaupun saya akui, ini bukan pekerjaan mudah, melainkan butuh proses dan waktu. Saya percaya, bicara akhir perjalanan, entah dari pribadi hingga negara, bukan masalah dari mana kita berangkat, melainkan ke mana kita menuju! Meluruskan persepsi, meniupkannya sebagai ruh dalam aksi, menjadikan kebiasaan empati positif di keluarga sebagai tradisi, maka bisa melihat negeri ini lebih berenergi tak lagi hanya sekadar mimpi. (Twitter: @zoelfick)
(Sebuah catatan untuk bayi yang kini masih bermanja di rahim ibunya, Christine Mariska, sebelum kelak bayi ini mengenal kehidupan sesungguhnya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H