Sejak pertama bekerja di kawasan Pluit tersebut, keberadaan lelaki tua ini telah menjadi perhatian saya. Awalnya, saya tersentuh melihatnya menjadikan gerobak yang lebih banyak diisi sampah-sampah hasil ia memulung sekaligus sebagai tempat tidurnya di malam hari. Hingga saya kemudian mendapati kabar, bahwa sebenarnya ia juga beristri dan memiliki anak. Tapi lantaran ia berpenyakit, sebab di sekujur tubuhnya dipenuhi benjolan-benjolan mirip jerawat berukuran agak besar, ia memilih mengasingkan diri. Ia bekerja sendiri, mencari sesuap demi sesuap nasi, untuk terus hidup.
Belakangan, bapak tua tersebut tak terlihat lagi. Beberapa kali saya mencarinya, namun belum bertemu kembali. Hanya dalam diri saya, keinginan untuk bisa berbagi dengan orang-orang seperti itu, terus saya usahakan untuk terus menyala. Paling tidak, bisa menjadi sahabat mereka, meyakinkan mereka bahwa negeri ini masih memiliki orang-orang yang peduli.
***
Memang, menumbuhkan tradisi seperti itu, mungkin akan terasa tak lebih sebagai sesuatu yang teramat kecil. Tapi pada saat itu sudah menjadi bagian karakter sebuah keluarga, maka dengan sendirinya akan membantu lebih banyak keluarga lain. Bantuan seperti itu, yang diberikan "tidak cuma-cuma", melainkan memang menghargai sebuah usaha yang dilakukan oleh mereka yang mungkin awalnya tidak yakin dengan pekerjaannya, ragu dengan masa depannya, bisa menemukan diri mereka layaknya obor yang enggan menyala, tapi kemudian justru memiliki api kian besar, tentu lebih banyak tempat yang bisa diteranginya.
Karakter ini juga menjadi semacam konsensus antara saya dengan istri, menjadi kesepakatan untuk dijalankan. "Agar kelak keluarga kita kelak bisa menjadi titik tolak untuk kita bisa berbuat lebih banyak dan lebih baik."
Syukurnya, istri saya sendiri mengamini ajakan tersebut. Ia juga melakukan itu sebagai bagian kebiasaan, memberi lebih terutama kepada mereka yang memang bekerja susah payah, agar mereka bisa lebih gairah.
Praktik-praktik begini, menurut hemat saya, secara langsung atau tidak, akan membantu mencegah munculnya pikiran-pikiran yang buruk. Sebab pada faktanya, banyak tindakan buruk muncul, karena sudah diawali lebih dulu dari pikiran buruk tersebut. Sementara ketika tindakan itu secara terus-menerus dilakukan, jika yang baik bisa menjadi kian baik, sedangkan yang buruk bisa saja menjadi lebih buruk.
Siapa menampik, bahwa pelaku kejahatan cenderung karena kurangnya melihat kebaikan dan asing dengan kebaikan. Hanya  karena ia lebih terbiasa melihat keburukan, dan di mana-mana menemukan keburukan, maka ia mengambil kesimpulan, bahwa yang buruk itulah sebagai sesuatu yang lebih realistis. Fenomena ini, tentunya akan mudah dilihat di sekeliling. Bukan sekadar berangkat dari teori-teori yang hanya ada dalam ranah ilmu psikologi.
***
Maka itu, bicara apa yang bisa dilakukan di sebuah negara sebesar Indonesia, memerhatikan prinsip-prinsip yang dibangun dalam keluarga merupakan hal paling penting. Apalagi, berbuat untuk negara besar seperti ini, tak melulu harus menunggu tibanya ide-ide besar saja.
Tak terkecuali dalam hal menghargai istri. Bagi saya, ini merupakan sebuah cara menerjemahkan teori-teori yang berbicara soal gender dan semisalnya. Bagaimana berusaha tidak memosisikan istri sebagai seorang "bawahan", melainkan sebagai partner, bahwa ada masalah-masalah yang dihadapi yang menuntut kebersamaan.