Mohon tunggu...
sodik supriyanto
sodik supriyanto Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa UIN K.H ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN

Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir - Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah - UIN GUSDUR Pekalongan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Barat Atas Al-Qur'an dalam Tinjauan Postkoloial Edward Said

17 Oktober 2022   08:00 Diperbarui: 17 Oktober 2022   08:08 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sodik Supriyanto

sodiksupriyanto93@gmail.com

Ketika membahas poskolonialisme, istilah "poskolonial" atau "pascakolonialisme" dapat digunakan untuk merujuk pada era pascakolonial kemerdekaan dari bekas kekuatan kolonial di awal abad ke-20. Lebih penting memahami poskolonialisme sebagai sebuah pendekatan, eksplorasi makna atau studi wacana yang berkembang dalam masyarakat (pra)kolonial yang menolak pengalaman dan ekspresi diri kolonial. 

Postkolonialisme berarti wacana perlawanan dari kaum terjajah, yang secara kritis mempertanyakan kembali wacana-wacana kolonial dan wacana-wacana yang telah menjadi grand naratif. Wacana yang mempertanyakan narasi besar juga bertujuan untuk menemukan kembali masa lalu yang terkubur oleh pengaruh dan informasi (salah) kolonial. -pengalaman yang penuh ambiguitas dan inferiorita (Eddy, 2011:313)

Dalam wacana sejarah dan interpretasi kitab suci, berbagai proposal untuk rekonstruksi menambah warna model Barat dalam mempelajari Timur. Dalam pandangan Edward Said (Orientalisme: 309-317), akan lebih tepat bila rekonstruksi Timur oleh Barat dimaknai sebagai perlakuan terhadap daerah-daerah yang dianggap terputus dari kemajuan Barat. Sedemikian rupa sehingga di masa depan, Timur tanpa sadar akan ditekan oleh akademisi Barat, kesadaran Barat, dan kemudian kerajaan Barat. Sederhananya, menurut Said, "Timur diciptakan untuk Barat".

Dalam sains, bagi Said, penemuan "objektif" para sarjana Barat - belum lagi Orientalisme - adalah kebenaran yang ilusif. Seperti yang dikatakan Nietzsche - dikutip oleh Said - "Kebenaran adalah ilusi, dan orang-orang lupa bahwa itu adalah ilusi". Lebih khusus lagi, Said (Orientalisme: 312) mengatakan:

"Pandangan Nietzche ini mungkin tampak terlalu nihilistik, tetapi setidak-tidaknya pandangan ini akan menarik perhatian kita untuk melihat kenyataan bahwa selama masih berada dalam kesadaran Barat, Timur hanyalah satu kata yang kemudian diberi makna, asosiasi, dan konotasi."

Sudut pandang Said boleh dibilang mengisyaratkan bahwa seluruh silsilah studi Barat tentang Timur mengandung muatan ideologis dan pragmatis untuk memperkuat posisi Barat. 

Dalam konteks Al-Qur'an, Hamid Fahmy Zarkasyi juga berpendapat bahwa studi Barat tentang Timur, terutama ketika mempelajari Al-Qur'an, cenderung menggunakan kerangka yang sama ketika mempelajari Alkitab. Membiarkan konten ideologis dalam metodologi interpretatif mengarah pada perbedaan hasil penelitian, yang mengarah pada kesalahpahaman (Zarkasyi, 2011: 1-2).

Meskipun pandangan Zarkasyi dan pandangan Muhammad Imarah sebenarnya dapat dikritik secara metodologis karena tidak menunjukkan mazhab mana yang dikritik, dalam kajian hermeneutika setidaknya ada tiga mazhab, yaitu subjektivisme, objektivisme dan Subjektivisme dan Objektivisme. (Sahiron, 2017: 4-5).

Pandangan Said tentang "kebenaran ilusif" menarik untuk dibandingkan dengan beberapa pandangan para sarjana Barat lainnya. Misalnya, Maxim Rodinson berpendapat bahwapara sarjana memang tidak bisa sepenuhnya netral namun itu bukanlah alasan untuk menolak upaya-upaya untuk sampai kepada objektivitas kajian Barat atas Timur (Fauzi, 1992: 4-5).

Farid Essack juga mengutarakan pendapat yang serupa dengan apa yang disampaikan oleh Rodinson dan menegaskan bahwa tidak ada peneliti yang benar-benar murni (Essack, 2007: 9). Baik Rodinson maupun Essack meyakini bahwa meskipun peneliti tidak bisa dipisahkan karena bias subjektivitas, tetapi ini tidak bisa menjadi alasan untuk menolak setiap kebenaran ilmiah yang disajikan dengan membangun kerangka metodologis.

Sinisme yang telah dibangun Said dalam melihat kajian Barat atas Timur mungkin saat ini sudah tidak relevan lagi digunakan, khusunya dalam ranah kajian al-Qur'an. Kehadiran kajian intertekstualitas memberikan setidaknya bukti bahwa ada pergeseran paradigma (shifting paradigm) dari negatif menuju apresiatif-positif (Fina, 2015: 121).

Kelahiran kajian ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran seorang Profesor Universitas Freie Jerman sekaligus pendiri lembaga penelitian Corpus Coranicum, Angelika Neuwirth. Salah satu tulisan pertama Neuwirth yang membahas kajian intertekstualitas terdapat dalam artikelnya yang berjudul "Qur'anic Reading of the Psalms", di mana ia melakukan kajian intertekstualitas antara Q.S al-Rahman dan Psalm 136 (Neuwirth, 2010).

Menurut Lien Iffah Naf'atu Fina---yang mengkaji gagasan intertekstualitas Angelika Neuwirth dalam tesisnya---pada mulanya al-Qur'an diklaim meminjam, terpengaruh dan bahkan menjiplak Bible, namun belakangan pandangan peyoratif sarjana Barat ini mengalami pergeseran. 

Saat ini Al-Qur'an telah diposisikan pada tempatnya yakni sebagai teks yang independen dan memiliki karakteristik atau keunikan tersendiri. Secara prinsipil, paradigma kajian ini mendorong pada pandangan bahwa masing-masing teks keagamaan tidak bisa diperbandingkan. Sehingga hasil yang didapati dalam kajian ini sifatnya lebih akademis, idealogis, dan ilmiah (Fina, 2015: 138).

Perkembangan kajian Islam khususnya al-Qur'an dalam kesarjanaan Barat dapat dikatakan telah membangkitkan nalar kritis kesarjanaan Muslim. Lahirnya sarjana-sarjana muslim yang berpengaruh dalam pengembangan pemikiran Islam---terutama dalam diskursus how do we interpret the Qur'an (metode tafsir)---atau yang dapat disebut sebagai the new muslim intellectuals, semisal Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack, menunjukkan bahwa adanya penerimaan model pemikiran Barat oleh kesarjanan muslim.

Lahirnya metode tafsir kontekstual merupakan salah satu ciri dari pemikiran sarjana muslim kontemporer. Keinginan untuk menjembatani gap antara pembaca saat ini dengan konteks historis menjadi aspek paling menonjol (Gokkir, 2005: 90). 

Teori double-movement Rahman (1966: 41) dapat dikatakan sebagai salah satu teori yang paling aplikatif. Selain berupaya untuk menjembatani gap antara pembaca saat ini dan konteks historis al-Qur'an, Rahman juga menarik ideal moral atau basic ideas al-Qur'an yang diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Dalam konteks ayat-ayat hukum, penerapan teori Rahman ini akan memunculkan hukum yang tidak hanya berdimensi hitam-putih, namun juga bervisi etis.

Secara umum, pandangan Edward Said tentang Orientalisme dapat diringkas sebagai berikut. Ia percaya bahwa Orientalisme, sebagai kegiatan akademis para sarjana Barat yang mewakili dunia Timur, adalah tradisi yang sudah berlangsung lama. 

Sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke studi akademis para filsuf Yunani. Keberadaan Orientalisme, bagaimanapun, baru secara resmi dimulai pada 1312, ketika Dewan Gereja Wina mendirikan bahasa Arab, Ibrani, dan Suriah di beberapa kota penting Eropa abad pertengahan, termasuk Paris, Bologna, Avignon, dan Salamanca. 

Hanya perlu ditegaskan bahwa, dalam pandangan Said, Orientalisme bukan hanya suatu disiplin ilmu untuk mempelajari dan mendeskripsikan orang-orang Timur, tetapi juga menjadi alat politik untuk memerintah, mengatur dan mengendalikan orang-orang Timur (Rafiq, 2019).

Said mengatakan ada beberapa strategi untuk mencapai hal tersebut. Pertama-tama, orang Timur mewakili Timur dengan membedakan Barat (dunia di mana para pengkaji Barat berasal) dan Timur. 

Para sarjana Barat memproyeksikan semua gambaran positif kepada dunianya sendiri dan pada saat yang sama membuang citra negatif kepada dunia Timur yang mereka tulis. Mereka menghindari sejumlah identitas peyoratif seperti terbelakang, despotik, konfliktif, patrialkal, mistis, dan lain-lainnya, tetapi mengatribusikannya kepada dunia Timur.

Kedua, Orientalisme tidak hanya mengkonstruksi citra negatif, tetapi juga memonopoli representasi. Sarjana Barat mengklaim bahwa tidak ada yang layak dan mampu memberitahu Timur kecuali Barat. Mereka berpendapat bahwa dunia Timur tidak memiliki kemampuan untuk menampilkan dirinya sendiri. Dengan demikian, menurut Said, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Timur hampir seluruhnya diciptakan oleh Barat (Timur hampir merupakan penemuan Eropa) (M. Rafiq, 2019).

Berangkat dari asumsi negatif tentang Orientalisme, dan berdasarkan teori pengetahuan dan kekuasaan Michel Foucault, Edward Said sampai pada argumen yang cukup mencengangkan pada zamannya. Said mencontohkan Orientalisme berkaitan langsung dengan kolonialisme. 

Bagi Said, Orientalisme tidak netral dan objektif, karena ia lahir dan muncul sejak awal untuk penjajahan. Secara ontologis dan epistemologis, imperialisme bertujuan untuk menjadi, tujuan imperialisme sudah instrinsik dan menyatu dalam disiplin ini. Dengan demikian, setiap orang Eropa yang menulis tentang Timur, bagi Said, secara inheren adalah orang-orang yang rasis, imperialis, dan etnosentris. Mereka tidak bisa menghindari dari perasaan superior dan anggapan bahwa dunia Timur selalu lebih inferior dari dunia Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun