Sinisme yang telah dibangun Said dalam melihat kajian Barat atas Timur mungkin saat ini sudah tidak relevan lagi digunakan, khusunya dalam ranah kajian al-Qur'an. Kehadiran kajian intertekstualitas memberikan setidaknya bukti bahwa ada pergeseran paradigma (shifting paradigm) dari negatif menuju apresiatif-positif (Fina, 2015: 121).
Kelahiran kajian ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran seorang Profesor Universitas Freie Jerman sekaligus pendiri lembaga penelitian Corpus Coranicum, Angelika Neuwirth. Salah satu tulisan pertama Neuwirth yang membahas kajian intertekstualitas terdapat dalam artikelnya yang berjudul "Qur'anic Reading of the Psalms", di mana ia melakukan kajian intertekstualitas antara Q.S al-Rahman dan Psalm 136 (Neuwirth, 2010).
Menurut Lien Iffah Naf'atu Fina---yang mengkaji gagasan intertekstualitas Angelika Neuwirth dalam tesisnya---pada mulanya al-Qur'an diklaim meminjam, terpengaruh dan bahkan menjiplak Bible, namun belakangan pandangan peyoratif sarjana Barat ini mengalami pergeseran.Â
Saat ini Al-Qur'an telah diposisikan pada tempatnya yakni sebagai teks yang independen dan memiliki karakteristik atau keunikan tersendiri. Secara prinsipil, paradigma kajian ini mendorong pada pandangan bahwa masing-masing teks keagamaan tidak bisa diperbandingkan. Sehingga hasil yang didapati dalam kajian ini sifatnya lebih akademis, idealogis, dan ilmiah (Fina, 2015: 138).
Perkembangan kajian Islam khususnya al-Qur'an dalam kesarjanaan Barat dapat dikatakan telah membangkitkan nalar kritis kesarjanaan Muslim. Lahirnya sarjana-sarjana muslim yang berpengaruh dalam pengembangan pemikiran Islam---terutama dalam diskursus how do we interpret the Qur'an (metode tafsir)---atau yang dapat disebut sebagai the new muslim intellectuals, semisal Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Essack, menunjukkan bahwa adanya penerimaan model pemikiran Barat oleh kesarjanan muslim.
Lahirnya metode tafsir kontekstual merupakan salah satu ciri dari pemikiran sarjana muslim kontemporer. Keinginan untuk menjembatani gap antara pembaca saat ini dengan konteks historis menjadi aspek paling menonjol (Gokkir, 2005: 90).Â
Teori double-movement Rahman (1966: 41) dapat dikatakan sebagai salah satu teori yang paling aplikatif. Selain berupaya untuk menjembatani gap antara pembaca saat ini dan konteks historis al-Qur'an, Rahman juga menarik ideal moral atau basic ideas al-Qur'an yang diturunkan sebagai rahmat bagi semesta alam. Dalam konteks ayat-ayat hukum, penerapan teori Rahman ini akan memunculkan hukum yang tidak hanya berdimensi hitam-putih, namun juga bervisi etis.
Secara umum, pandangan Edward Said tentang Orientalisme dapat diringkas sebagai berikut. Ia percaya bahwa Orientalisme, sebagai kegiatan akademis para sarjana Barat yang mewakili dunia Timur, adalah tradisi yang sudah berlangsung lama.Â
Sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke studi akademis para filsuf Yunani. Keberadaan Orientalisme, bagaimanapun, baru secara resmi dimulai pada 1312, ketika Dewan Gereja Wina mendirikan bahasa Arab, Ibrani, dan Suriah di beberapa kota penting Eropa abad pertengahan, termasuk Paris, Bologna, Avignon, dan Salamanca.Â
Hanya perlu ditegaskan bahwa, dalam pandangan Said, Orientalisme bukan hanya suatu disiplin ilmu untuk mempelajari dan mendeskripsikan orang-orang Timur, tetapi juga menjadi alat politik untuk memerintah, mengatur dan mengendalikan orang-orang Timur (Rafiq, 2019).
Said mengatakan ada beberapa strategi untuk mencapai hal tersebut. Pertama-tama, orang Timur mewakili Timur dengan membedakan Barat (dunia di mana para pengkaji Barat berasal) dan Timur.Â