Legitimasi moral pemerintah atau bahkan legitimasi politik menjadi terbuka untuk diperdebatkan. Maka tidak mengejutkan bila pemerintah tidak menyetujui struktur pers yang kompetitif, yang dalam lingkungan semacam ini mereka akan kehilangan kendali atas arus informasi dan interpretasinya.
Kekuatan-kekuatan status quo bergabung mencegah pembentukan pers yang kompetitif, membuat berbagai hambatan, aturan pemberitaan pers. Hambatan-hambatan melibatkan persyaratan dari izin pemberitaan (SIUPP), investasi modal, kendali atas editor dan administrasi umum, sebagaimana sensor dan izin dari Departemen Penerangan atas pemberitaan.
Dalam situasi ini, definisi untuk panduan menjadi sangat luas. Panduan adalah instrument pengendalian yang lengkap yang bertindak sebagai mekanisme untuk menghambat objektifitas sehingga menjauhkan pers dari industry yang kompetitif.
Sialnya, tujuan dari “panduan” itu adalah untuk menjadi arena di mana “Pembina yang Agung” dapat menguasai kontrol ekonomi (saham) dalam setiap pemberitaan. Setiap terjadi “kekacauan” di dalam pers, apakah muncul dari konflik internal atau dari intervensi pemerintah (baca: pembredelan), konsekuensinya adalah kompromi, di mana “Pembina yang Agung” (atau keluarganya) masuk untuk mengusai saham dalam media baru yang diizinkan.
Dalam konteks ini kekacauan dapat dikendalikan atau sengaja diciptakan, bila dibutuhkan, sehingga “Pembina yang Agung” dapat menguasai saham dalam media yang menjadi pertanyaan. Mengingat “panduan” bersilangan dengan keinginan untuk memastikan kepentingan pribadi dari bisnis media. Ini, akhirnya, mengarah pada kerjasama dengan kroni-kroni konglomerat. Melalui kepemilikan langsung, berbagai jenis tujuan bisnis dapat diraih dalam waktu bersamaan; kendali editorial, keuntungan, juga membantu pemerintah dan memastikan terjaganya status kuo. Ini semea mengarah pada suatu pers Indonesia yang “dibudayakan” sebagai pers yang sangguo mendukung elit ekonomi dan elit politik.
Usaha-usaha untuk membudayakan pers membuat pers Indonesia tidak akan menjadi “ucapan, mata dan hati” dari rakyat Indonesia, melainkan menjadi “ucapan dan mata yang waspada”. Suatu pers yang sukses terbudayakan akan menahan dirinya dan sibuk menyesuaikan diri dengan cita rasa "penguasa”, tiarap dan mengabaikan aspirasi rakyat.”
***
Meminjam filosofi terdalam media massa yang digunakan oleh Eko Maryadi dalam kata pengantarnya di buku terbitan AJI “Media Online: Antara Pembaca, Laba, Dan Etika (Problematika Praktik Jurnalisme Online Di Indonesia)”, ia menyatakan bahwa media massa adalah sebagai alat untuk membebaskan manusia dari keterbodohan.
Atau dalam bahasa Menko Rizal Ramli “sudah saatnya pers Indonesia kembali membangkitkan semangat perjuangan untuk rakyat, bukan pemodal industri pers”.
Semoga serial Melawan Lupa ini menjadi tambahan bahan diskusi kita