Mohon tunggu...
Agus Priyanto
Agus Priyanto Mohon Tunggu... Freelancer - sodarasetara

----

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serial Melawan Lupa #4: Pers, Demokrasi dan Daulat Rakyat

28 Maret 2016   11:32 Diperbarui: 28 Maret 2016   12:20 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hanya ada di Indonesia adagium: Pejuang Pers dan Pers Pejuang"

--Menko Maritim & Sumber Daya, Rizal Ramli--

Belakangan ini, beberapa kalangan menilai bahwa ada kecenderungan dari dunia pers kita yang cenderung pragmatis. Penilaian itu setidaknya berangkat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam sebuah buku Media Online: Antara Pembaca, Laba, Dan Etika (Problematika Praktik Jurnalisme Online Di Indonesia) yang dipublikasikan melalui websitenya mengungkapkan bahwa “Kita tengah berada pada sebuah zaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun”.

Menurut buku diatas, kualitas dan kredibilitas informasi yang disampaikan pers atau media massa ke masyarakat perlu menjadi perhatian bersama. Tak sedikit dari industri pers atau media massa kita saat ini kurang memperhatikan akurasi informasi yang disampaikannya ke publik.

“Atas nama kecepatan, pageview, dan pertumbuhan bisnis, acapkali lembaga berita online terjerambab menyampaikan informasi yang belum final terverifikasi kepada masyarakat luas sehingga terkadang menimbulkan mis-persepsi dan mis-interpretasi fakta”, demikian diungkap dalam buku terbitan AJI diatas.

Disisi lain, menurut Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2012, saat ini para jurnalis juga dihadapkan pada kondisi perburuhan di industri media. Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa masalah utama perburuhan media di Indonesia saat ini terfokus pada kesewenang-wenangan pemilik media, yang seenaknya memecat, memindahtugaskan, me-nonjob-kan karyawan, menyatakan perusahaan dalam krisis, atau menerapkan pemotongan gaji secara sepihak.  

Oleh karenanya, ditengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta monopoli kepemilikan media yang mengarah pada oligopoli kekuasaan (politik dan bisnis), kiranya apa yang pernah disampaikan oleh Rizal Ramli dalam buku BREDEL 1994 dibawah ini bisa menjadi bahan pendiskusian bersama.

BREDEL 1994 merupakan ontology artikel seputar pembredelan TEMPO, DETIK dan EDITOR pada 21 Juni 1994 yang ditulis oleh beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.

“…

Tetapi, struktur pers yang kompetitif adalah ancaman bagi stabilitas kekuasaan otoriter karena dengan suatu pers yang kompetitif, banyak cacat kekuasaan menjadi lebih terbuka sehingga lebih jelas terlihat oleh masyarakat. “Kekuasaan” dan “kekuatan” dari mereka yang mengontrol, akan terlihat jauh lebih rapuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun