“Hanya ada di Indonesia adagium: Pejuang Pers dan Pers Pejuang"
--Menko Maritim & Sumber Daya, Rizal Ramli--
Belakangan ini, beberapa kalangan menilai bahwa ada kecenderungan dari dunia pers kita yang cenderung pragmatis. Penilaian itu setidaknya berangkat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam sebuah buku Media Online: Antara Pembaca, Laba, Dan Etika (Problematika Praktik Jurnalisme Online Di Indonesia) yang dipublikasikan melalui websitenya mengungkapkan bahwa “Kita tengah berada pada sebuah zaman yang mengoyak-ngoyak aneka pakem jurnalistik yang dibangun dan dijaga selama bertahun-tahun”.
Menurut buku diatas, kualitas dan kredibilitas informasi yang disampaikan pers atau media massa ke masyarakat perlu menjadi perhatian bersama. Tak sedikit dari industri pers atau media massa kita saat ini kurang memperhatikan akurasi informasi yang disampaikannya ke publik.
“Atas nama kecepatan, pageview, dan pertumbuhan bisnis, acapkali lembaga berita online terjerambab menyampaikan informasi yang belum final terverifikasi kepada masyarakat luas sehingga terkadang menimbulkan mis-persepsi dan mis-interpretasi fakta”, demikian diungkap dalam buku terbitan AJI diatas.
Disisi lain, menurut Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2012, saat ini para jurnalis juga dihadapkan pada kondisi perburuhan di industri media. Dalam laporan tersebut disampaikan bahwa masalah utama perburuhan media di Indonesia saat ini terfokus pada kesewenang-wenangan pemilik media, yang seenaknya memecat, memindahtugaskan, me-nonjob-kan karyawan, menyatakan perusahaan dalam krisis, atau menerapkan pemotongan gaji secara sepihak.
Oleh karenanya, ditengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta monopoli kepemilikan media yang mengarah pada oligopoli kekuasaan (politik dan bisnis), kiranya apa yang pernah disampaikan oleh Rizal Ramli dalam buku BREDEL 1994 dibawah ini bisa menjadi bahan pendiskusian bersama.
BREDEL 1994 merupakan ontology artikel seputar pembredelan TEMPO, DETIK dan EDITOR pada 21 Juni 1994 yang ditulis oleh beberapa orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
“…
Tetapi, struktur pers yang kompetitif adalah ancaman bagi stabilitas kekuasaan otoriter karena dengan suatu pers yang kompetitif, banyak cacat kekuasaan menjadi lebih terbuka sehingga lebih jelas terlihat oleh masyarakat. “Kekuasaan” dan “kekuatan” dari mereka yang mengontrol, akan terlihat jauh lebih rapuh.
Legitimasi moral pemerintah atau bahkan legitimasi politik menjadi terbuka untuk diperdebatkan. Maka tidak mengejutkan bila pemerintah tidak menyetujui struktur pers yang kompetitif, yang dalam lingkungan semacam ini mereka akan kehilangan kendali atas arus informasi dan interpretasinya.
Kekuatan-kekuatan status quo bergabung mencegah pembentukan pers yang kompetitif, membuat berbagai hambatan, aturan pemberitaan pers. Hambatan-hambatan melibatkan persyaratan dari izin pemberitaan (SIUPP), investasi modal, kendali atas editor dan administrasi umum, sebagaimana sensor dan izin dari Departemen Penerangan atas pemberitaan.
Dalam situasi ini, definisi untuk panduan menjadi sangat luas. Panduan adalah instrument pengendalian yang lengkap yang bertindak sebagai mekanisme untuk menghambat objektifitas sehingga menjauhkan pers dari industry yang kompetitif.
Sialnya, tujuan dari “panduan” itu adalah untuk menjadi arena di mana “Pembina yang Agung” dapat menguasai kontrol ekonomi (saham) dalam setiap pemberitaan. Setiap terjadi “kekacauan” di dalam pers, apakah muncul dari konflik internal atau dari intervensi pemerintah (baca: pembredelan), konsekuensinya adalah kompromi, di mana “Pembina yang Agung” (atau keluarganya) masuk untuk mengusai saham dalam media baru yang diizinkan.
Dalam konteks ini kekacauan dapat dikendalikan atau sengaja diciptakan, bila dibutuhkan, sehingga “Pembina yang Agung” dapat menguasai saham dalam media yang menjadi pertanyaan. Mengingat “panduan” bersilangan dengan keinginan untuk memastikan kepentingan pribadi dari bisnis media. Ini, akhirnya, mengarah pada kerjasama dengan kroni-kroni konglomerat. Melalui kepemilikan langsung, berbagai jenis tujuan bisnis dapat diraih dalam waktu bersamaan; kendali editorial, keuntungan, juga membantu pemerintah dan memastikan terjaganya status kuo. Ini semea mengarah pada suatu pers Indonesia yang “dibudayakan” sebagai pers yang sangguo mendukung elit ekonomi dan elit politik.
Usaha-usaha untuk membudayakan pers membuat pers Indonesia tidak akan menjadi “ucapan, mata dan hati” dari rakyat Indonesia, melainkan menjadi “ucapan dan mata yang waspada”. Suatu pers yang sukses terbudayakan akan menahan dirinya dan sibuk menyesuaikan diri dengan cita rasa "penguasa”, tiarap dan mengabaikan aspirasi rakyat.”
***
Meminjam filosofi terdalam media massa yang digunakan oleh Eko Maryadi dalam kata pengantarnya di buku terbitan AJI “Media Online: Antara Pembaca, Laba, Dan Etika (Problematika Praktik Jurnalisme Online Di Indonesia)”, ia menyatakan bahwa media massa adalah sebagai alat untuk membebaskan manusia dari keterbodohan.
Atau dalam bahasa Menko Rizal Ramli “sudah saatnya pers Indonesia kembali membangkitkan semangat perjuangan untuk rakyat, bukan pemodal industri pers”.
Semoga serial Melawan Lupa ini menjadi tambahan bahan diskusi kita
dalam melihat sejarah secara lebih mendalam dan meluas
untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H