Siapa tak kenal dengan pria berbusana dan bermobil hitam yang tak pernah lupa membawa permen sebagai iming-iming? setidaknya, deskripsi tersebut sudah cukup menggambarkan satu momok menakutkan bagi setiap anak di Indonesia pada masanya. Bukan tanpa alasan, pria dengan deskripsi tersebut seringkali hilir mudik sebagai seorang penculik anak di berbagai serial telenovela tanah air. Lantas, apakah eksistensinya hanya sekadar karakter dalam serial telenovela atau hadir secara nyata dan menebar ketakutan pada setiap anak yang berbahagia?
Walaupun tidak selalu berbusana dan bermobil hitam, kasus yang terungkap di Jambi pada Januari 2022 lalu sudah cukup menegaskan bahwa eksistensinya hadir secara nyata di masyarakat. Berdasarkan laporan KPAI, diketahui bahwa terdapat 15 anak yang telah menjadi korban dari praktik perdagangan anak di Jambi. Lebih lanjut, angka tersebut diproyeksikan dapat bertambah seiring dengan penyelidikan mengingat aksi sang pelaku yang sudah berjalan selama dua tahun. Dalam prosesnya, pelaku memberikan iming-iming berupa uang agar korban terbujuk untuk direkrut dan ditampung [1]. Melihat aksi tersebut, beberapa pertanyaan mencuat, mengapa aksinya dapat terus berjalan selama dua tahun? apa saja dampak yang telah ditimbulkan pada korban? selain itu, apa yang disebut dengan perdagangan anak?
Mengenal Child Trafficking : Perdagangan Inhumanis Nan Penuh EksploitasiÂ
Child trafficking/perdagangan anak merupakan upaya mengeksploitasi anak perempuan dan laki-laki yang berusia dibawah 18 tahun untuk diperdagangkan. Umumnya, child trafficking mengacu kepada eksploitasi dalam tenaga kerja paksa dan seksual. Seksual eksploitasi yang dimaksud termasuk memaksa individu untuk terlibat dalam tindakan seks komersial, seperti prostitusi dan produksi pornografi. Sedangkan, jenis-jenis tenaga kerja eksploitasi termasuk pembantu rumah tangga, restoran pekerjaan, pekerjaan kebersihan, hingga buruh pabrik [2]. Sehingga selama proses perdagangan dan eksploitasi, tak jarang korban mengalami kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan  seksual, dan penelantaran oleh pelaku child trafficking.Â
Menilik data dari the Counter Trafficking Data Collaborative (CTDC), Â Setengah dari korban human trafficking yang telah diidentifikasi dari tahun 2007-2017 berusia di bawah 26 tahun. Hampir seperempat dari mereka adalah anak-anak. Bahkan, kelompok usia terbesar di seluruh distribusi adalah dari umur 15 sampai 17 tahun.
[3].
Selanjutnya, telah teridentifikasi juga bahwa seiring waktu, persentase korban pria menjadi lebih tinggi terhadap human trafficking. Hal ini menggambarkan bahwa pria juga rentan terhadap eksploitasi seksual dan tenaga kerja. Saat ini, child trafficking mudah diperdagangkan melalui rute yang tidak memiliki titik kontrol perbatasan resmi dengan rute yang tidak teratur sehingga kelak dapat memudahkan proses penyelundupanDampak Negatif Child Trafficking : Kelam dan Destruktif
Kelam dan destruktif adalah dua kata yang paling tepat menggambarkan akibat langsung dari child trafficking. Dengan latar belakang yang kelam, seseorang menjadi lebih rentan untuk terjerumus dalam jerat child trafficking. Adapun, contoh dari latar belakang yang kelam tersebut adalah kemiskinan, ketidaksetaraan sosial, dan pemisahan dari keluarga [4]. Selain itu, korban child trafficking juga seringkali digunakan untuk "industri gelap" lainnya, seperti kriminalitas, pernikahan secara paksa, sampai dengan pekerja seks [5]. Mengingat latar belakang yang kelam dan penggunaannya pada industri gelap, wajar saja jika korban child trafficking mengalami dampak yang sangat destruktif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, 24 -- 56 persen anak yang menjadi korban child trafficking mengalami kekerasan fisik. Tidak hanya berhenti sampai di situ, terdapat pula 21 -- 51 persen korban yang terdampak kekerasan seksual. Imbasnya, tidak sedikit korban yang berakhir mengalami gangguan mental sampai dengan melakukan percobaan bunuh diri. Lebih lanjut, persentase percobaan bunuh diri oleh korban child trafficking diproyeksikan berada pada angka 27 persen. Persentase tersebut belum melibatkan angka korban yang melakukan kekerasan pada diri sendiri, angkanya tak kalah signifikan, yaitu sebesar 33 persen [6].