Alhasil, sekolah yang tertinggal inilah yang menjadi salah satu penyumbang angka putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia [4]. Permasalahan ini sejatinya telah membangkitkan sukarelawan pendidikan untuk bertindak baik menjadi volunteer maupun mengikuti program-program pemberdayaan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak tenaga pendidik yang enggan mengajar di daerah terpencil dengan berbagai alasan. Salah satu faktornya adalah letak sekolah yang sulit dijangkau. Alasan lain adalah minimnya hiburan dan fasilitas yang memadai sehingga banyak pendidik merasa tidak nyaman.
Isu yang Tidak Kunjung Selesai
Mengapa masalah ketidakmerataan pendidikan di Indonesia masih terjadi hingga sekarang? Apakah karena ini merupakan masalah yang “sudah biasa” atau justru hanya “kemalasan” belaka?
Kondisi Indonesia yang berbentuk kepulauan seringkali membuat masyarakatnya merasa “nyaman” terhadap masalah yang ada. Contohnya saja orang-orang pasti sudah familiar mengenai masalah ketidakmerataan pendidikan. Menurut mereka, hal ini normal dan telah diperbincangkan dari dulu sehingga banyak yang menjadi tidak peduli dan menganggap masalah tersebut sebagai masalah sehari-hari yang sudah biasa. Di sisi lain, apakah orang-orang sebenarnya sudah menyadari masalah ini, tetapi merasa malas untuk berbuat sesuatu karena menurutnya masalah ini tidak berdampak langsung bagi dirinya?
Pemikiran inilah yang keliru dan menjadi salah satu penyebab akan tidak terpecahkannya isu ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Untuk melihat masalah ini lebih dalam, dilakukanlah penelitian menggunakan indeks SES (Social Economics Status) PISA (Programme for International Student Assessment) yang dapat mengestimasi kesenjangan mutu dan menggambarkan kesetaraan akses yang dilihat dari kaitan antara latar belakang keluarga siswa dengan kemampuan literasinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa variasi skor literasi antar sekolah berkisar antara 29.7% (literasi bahasa siswa SMP) sampai 46.5% (literasi matematika siswa SMA). Ini bermakna bahwa yang mempengaruhi perbedaan capaian literasi adalah faktor sekolah itu sendiri. Selain itu, sekolah-sekolah yang melayani siswa dari keluarga paling bawah secara rata-rata tertinggal 3 sampai 4 tahun pelajaran dibanding sekolah yang melayani siswa dari keluarga berlatar belakang ekonomi yang tinggi. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa variasi skor antar sekolah meningkat dari tingkat SMP ke SMA. Dapat dikatakan bahwa kesenjangan mutu sekolah tampaknya menjadi semakin tajam di level SMA. Dengan demikian, ketimpangan antar sekolah di Indonesia dapat dikatakan relatif tinggi. [5]
Dampaknya terhadap Lemahnya Pendidikan di Indonesia
Lantas, apakah kesenjangan sekolah menjadi salah satu penyebab pendidikan di Indonesia yang makin tertinggal jauh? Jawabannya iya, karena siswa di sebagian besar sekolah terbelakang di Indonesia tertinggal antara 2,5 sampai 4 tahun dibanding siswa di sekolah berkategori tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya ketimpangan mutu yang cukup besar pada sekolah-sekolah di Indonesia. Kualitas guru dan murid, tingkat literasi, sampai sistem pengajaran yang baik memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan keadaan sekolah itu sendiri. Meskipun tidak semua sekolah terpencil memiliki kualitas yang buruk, namun sebagian besar di antaranya belum dapat memberdayakan guru dan murid sebaik mungkin.
Apabila membandingkannya dengan negara-negara lain, sistem pendidikan di Indonesia memang masih memerlukan penyesuaian. Negara-negara seperti Finlandia, Jepang, dan Singapura memiliki sistem pendidikan khasnya tersendiri, tetapi mampu menghasilkan generasi cerdas yang memajukan negaranya [6]. Uniknya pada negara-negara maju memang tidak mengenal istilah sekolah terbelakang karena semuanya memiliki akses pendidikan yang sama. Maka dari itu, tantangan yang berat ini tidak bisa didiamkan terus menerus. Anggapan masalah yang sepele atau sudah biasa justru harus diganti dengan melatih kelemahan menjadi sebuah kekuatan. Apabila kesenjangan antara sekolah terpencil dan favorit kian menajam, hal itu justru akan menyulitkan Indonesia untuk menghasilkan penerus bangsa yang berwawasan tinggi sehingga menghambat laju Indonesia untuk menjadi negara maju.
Perubahan yang Bisa Dilakukan
Langkah awal untuk melakukan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia adalah lahirnya Permendikbud No. 14 tahun 2018 tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) yang diselenggarakan berdasarkan sistem zonasi. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tahun 2019, Muhadjir Efendi, menjelaskan bahwa salah satu tujuan diberlakukanya PPDB dengan sistem Zonasi adalah untuk menghilangkan sebutan (predikat) sekolah favorit. Menurut beliau, label sekolah favorit akan memunculkan diskriminatif karena hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapat pelayanan di sekolah yang dianggap favorit. Kebijakan PPDB sistem zonasi akan dapat membuat institusi pendidikan maju secara bersama dimana pemerataan input siswa akan membuat lingkungan belajar menjadi heterogen. Dengan menghadirkan lingkungan yang heterogen, anak dapat mencapai tujuan pendidikan itu sendiri yang lebih menekankan kepada pengembangan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Sistem tersebut diterapkan guna menghilangkan eksklusivisme pendidikan melalui sekolah favorit yang sudah terbukti hanya menghadirkan generasi kompetisi yang terus mementingkan diri sendiri ketimbang lingkungan sosialnya. [7]