Karenanya, Ayah pergi sebelum dia memohon maaf pada sang ayah. Dua tahun berusaha menjauhkan diri dari Ungu, barang laknat itu. Dia kini bersih. Putih kembali.
“ Aku masih rindu “ Si Ungu” itu. Hari ini adalah hari pertamaku menari kembali . Bolehkah aku mencicipinya sedikit saja, sebagai akhir pertemuanku dengannya dan untuk menyambut awal dari kebangkitanku”.
“Ya Aku hisap, lalu memompakannya untuk terakhir kalinya. Aku tak mungkin terjerat lagi. Jangan khawatir!”
Di panggung pentas Kesenian Jakarta.
Penuh kilauan cahaya lampu menyoroti diriku. Dentingan suara piano pun terdengar lembut. Aku menggemulaikan tangan pelan. Kaki kanan Aku geserkan ke samping perlahan. Aku tundukan kepala pejamkan mata. Dawai gitar pun menyambar keheningan itu. Kembali penonton bertepuk tangan.Mataku refleks terbuka. Aku menatap jauh ke depan. Suara senar gitar itu menghentakku. Aku goyangkan tubuh memesona. Aku gesitkan kaki-kakiku melangkah. Bagai kesurupan Aku membius dansa.Musik semakin kencang di gendang telinga. Semakin Aku menggeliat dalam alur cepat. Semakin berdecak penonton kagum kreasiku. Semakin Aku goyangkan tarianku. Semakin Aku goncangkan panggung,
Lalu..lalu.. Rabunku hadir kembali. Aku jatuh terkulai perlahan. Tak mampu kuhempaskan kemabukkan ini. Aku tak tahan menahan tuk berdiri. dan keseluruhanku di panggung tadi adalah Aku yang tak berdaya dalam “tidur”.
Aku …Kembali hitam…kembali putih…kembali hitam..putih… Inilah tarian awal dari terlelapnya Aku tertidur. Dan inilah Aku mendengar sorak penonton terakhir. Inilah tarian terakhirku. Aku mati, kawan..!!!
~*~
Di pintu surga.
Sang ayah kembali bermuram durja.
“Mengapa, kaulakukan lagi, Minuk?” Ah, padahal minggu kemarin baru saja aku mengenggam surga. Sekarang, surga itu pergi lagi Memang sulit mengapai surga itu. Ah..