“Dasar tak punya rasa kepekaan yang tinggi! Kamu liat tidak wajah Mbah Yem ketika kamu bilang tidak perlu dikasih plastik kresek? Liat tidak kamu jika Mbah Yem tadi mencari kresek agak kebingungan? Sadar tidak kalo kamu tadi taya harga, tetapi tidak dijawab Mbah Yem ketika Mbah Yem nyari kresek itu? Mbah Yem itu kepingin memberikan kita plastik itu untuk tempat sandalmu. Dia sudah niatkan agar kita mau menerima sendal yang diwadahi kresek itu. Kok malah kamu bilang ndak mau. Makanya kamu tadi langsung kutarik. Besok lagi, kamu harus lebih bisa peka terhadap sekitarmu!” Kang Fadli memarahiku.
Seketika aku terdiam. Kang Fadli menamparku dengan kata-katanya. Aku merenung melihat kejauhan. Aku liat rumput di lapangan yang seakan-akan menasihatiku agar meresapi apa yang disampaikan Kang Fadli.
Aku minta maaf Mbah Yem.
Saat aku ada keluar pondok, aku dititipi oleh temanku (sebut saja Kang Sambo) sejumlah uang untuk membeli sepasang sandal swallow.
Waktu itu aku bersama Kang Ilham yang kami sama-sama ada keluar pondok. Aku meminta Kang Ilham menemaniku mencari toko yang menjual sandal swallow. Sampailah kami di sebuah toko kelontong. Pemilik toko kelontong ini seorang wanita tua. Aku segera menanykan kepada wanita itu. Setelah membeli swallow, pemilik warung itu menawarkan “Diplastiki nopo boten?”
Aku langsung menjawab, “Boten usah, Bu.”
Sepulang dari sana Kang Ilham nyeletuk padaku, “Kamu gimana sih, Mus” “Bagaimana apanya?” tanyaku balik.
“Kenapa tadi tidak kau terima saja plastik itu?” “Tidak usah. Aku masih bisa membawanya.”
“Padahal, asal kau tahu, Ibu tadi sudah repot mengambilkan plastiknya padamu. Eh, malah kamu tolak. Kamu tidak menghargai ibu itu namanya. “
“Benarkah?”
“Ya iyalah. Coba aku diposisi kau. Aku akan mengatakan ‘nggih, Bu. Boten nopo-nopo’ sebagai bentuk menghargai karena sudah diambilkan plastik. Bukan ‘kok malah langsung menolak.”