“Assalamualaikum,” ucapku di depan tokonya.
“Waalaikumsalam,” jawab Mbah Yem. “Kok lama tidak kelihatan, Nang?” Sudah lupa to sama Mbah?” kata Mbah Yem.
“Tidak, Mbah. Memang baru kali ini saya dapat jatah di Masjid Al Barokah. Sekalian pulangnya beli sandal,” jawabku.
“Sandal apa, Nang?” tanya Mbah Yem melanjutkan.
“Swallow hijau, Mbah. Yang itu,” sambil menunjuk sandal jepit yang tergantung di atas.
Mbah Yem mengambilkan sandal yang aku maksudkan. Mbah Yem menaruh sandal itu di atas etalase. Mbah Yem tiba-tiba menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari sesuatu. Aku bertanya harga sandal juga Mbah Yem diam saja.
“Hemmm.. ketemu,” kata Mbah Yem mengagetkan kami. “Apa to, Mbah?” tang Kang Fadli.
“Ini hlo. Plastik,” Mbah Yem memasukkan sandal swallow ke dalam kresek warna hitam yang baru didapatkan.
“Oalah.. Mbah, tidak perlu diplastiki. Ini saya sudah ada plastik,” jawabku.
“Berapa harga sandalnya, Mbah?” tiba-tiba Kang Fadli menyahut dan langsung memberikan uang kepada Mbah Yem. Tepat setelah uang diterima Mbah Yem, Kang Fadli mengucap salam kepada Mbah Yem dan menyeret tanganku keluar dari warung Mbah Yem.
“Ada apa si, Kang? Sakit tanganku kau pegang begini!” aku protes kepada Kang Fadli.