“Muslih!” teriak Kang Ulil dari arah asrama. “Aku nitip sandal jepit swallow warna hijau. Ukuran 11. Jangan sampai lupa hlo! Awas kalau lupa!”
“Apa-apaan? Kamu minta tolong apa mengancam?” jawabku sambil menerima uang Kang Ulil yang telah disodorkan padaku. Memang, setiap kali ada santri PPL, keluar dari area YQBS 1 Pati, pasti ada-ada saja permintaan dari salah satu santri. Entah nitip makanan, minuman, atau barang keperluan sehari-hari.
Sampai di Masjid Al Barokah kami disambut oleh Pak Darman. Pak Darman merupakan ta’mir Masjid Al Barokah yang baik hati. Beliau berperawakan tidak tinggi. Bisa dikatakan pendek, tubuhnya gempal, dan khas Indonesia berkulit sawo matang. Pak Darman sangat antusias menyambut kami. Seperti biasa, ia menyambut kami dengan mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Beliau orang yang sangat rajin, setiap hari beliau sampai dua kali menyapu dan mengepel Masjid Al Barokah. Setiap saat beliau standby di sekitar masjid. Jika ada sampah, beliau dengan cekatan memungutnya. Jika ada lantai basah, akibat terkena sisa- sisa air wudu dari kaki jamaah, beliau langsung mengambil pel. Mengeringkan lantai masjid agar tidak licin.
Kami menuju selasar masjid sebelah kanan. Pak Darman sudah menyiapkan karpet tempat kami khataman. Di tengah karpet sudah disediakan jajanan dan air mineral. Di atas meja juga sudah ada sepasang mikrofon. Kami memang mengkhatamkan Al Quran dengan pengeras suara. Kami yakin, bahwa tidak ada satu manusiapun yang sehat akalnya akan merasa terganggu dengan lantunan ayat-ayat Tuhan ini. Bahkan, kami juga percaya bahwa tumbuhan dan binatang-binatang akan merasa bahagia jika mendengar ayat-ayat Al Quran yang sedang dibacakan.
“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Teman-teman, sebelum kita mulai khataman, mari kita membaca surat Al Fatihah terlebih dahulu,” Kang Fadli memulai majlis dengan sangat khusyuk. “Karena kita berempat, maka aku akan membagi jumlah juz yang harus teman-teman baca. Kang Mushlih juz 1-7. Kang Azmi juz 8 – 15. Kang Ilham juz 16 –22. Aku akan baca juz 23 – 30. Gimana? Setuju?” tanya Kang Fadli. “Siap, Komandan!” jawab kami hampir serempak.
Ayat demi ayat Al Quran kami baca dengan tartil. Kami nikmati setiap huruf yang keluar dari mulut kami. Bahkan, Kang Azmi, sering kali memejamkan mata ketika ia membaca Al Quran. Aku tau, inilah yang menjadi kenikmatan kami sebagai penghafal Al Quran. Bahkan, di dalam Al Quran sudah jelas ayat yang menyuruh kita bahwa jika membaca Al Quran harus dengan tartil.
Kami berempat keluar dari Masjid Al Barokah. Namun, aku menyeret Kang Fadli untuk menemaniku ke warung kelontong di sebelah masjid. Warung milik Mbah Yem. Mbah Yem mempunyai toko kelontong kecil namun lengkap. Mbah Yem menjaga toko seorang diri. Suami Mbah Yem sudah meninggal lama sekali. Anak-anak Mbah Yem juga tidak serumah dengan beliau. Kata beliau, ada anaknya yang merantau ke Jakarta. Ada pula yang sudah beristri dan menetap dengan mertuanya.
Namun, Mbah Yem tidak pernah terlihat sedih. Mbah Yem orang yang enerjik. Mbah Yem suka sekali ketika ada santri yang membeli barang kebutuhan sehari-hari di warung kelontongnya. Mbah Yem juga selalu mengucapkan terima kasih. Bahkan, tidak jarang Mbah Yem malah meminta doa dari kami.
“Nang, doake Mbah yo. Mbah sehat terus. Biar Mbah bisa beribadah terus,” begitu kata Mbah Yem dengan suara yang khas orang tua.
Toko Mbah Yem dicat warna hijau. Di depan warung terdapat kursi panjang yang terbuat dari bambu. Kami sering menyebutnya lincak. Di bagian depan warung Mbah Yem terdapat etalase kaca yang tidak begitu besar. Etalase ini jika kuperhatikan hanya memiliki panjang 1,5 meter, lebarnya sekitar 40 cm, dan tingginya 1 meter. Namun, di dalam etalase ini penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun cuci piring, pasta gigi, bahkan rokok.