Mohon tunggu...
Salma Aulia
Salma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

"Work hard in silence. Success be your noise"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memperjelas Hakikat Peran Influencer

2 Januari 2023   17:02 Diperbarui: 3 Januari 2023   14:25 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa saat yang lalu, ramai diperbincangkan di tengah masyarakat terkait pernyataannya di sebuah unggahan salah satu influencer Indonesia. Ia menyatakan pemikirannya terkait kebijakan negara tuan rumah Piala Dunia 2022, yakni Qatar yang melarang segala atribut serta bentuk kampanye dari LGBT selama pelaksanaan perhelatan akbar tersebut. 

Salah satu influencer yang sempat menjadi trending di Twitter beberapa hari yang lalu menanggapi karena tanggapannya pada salah satu pertanyaan dari netizen terkait pandangannya akan aksi Timnas Jerman menutup mulut sebagai bentuk protes mereka terhadap kebijakan Qatar tersebut.

Influencer yang memiliki followers sebanyak satu juta orang tersebut menyatakan terkait aksi Timnas Jerman tersebut dengan kalimat berikut:

"Di satu sisi kaya virtue signaling ya.. Kaya, can you do something more than that? Di sisi lain, LGBTQ-Phobia has real life consequences. People lost their gender and sexuality so it's better than not saying anything at all. FIFA is corrupt and Qatar justifying homophobia by using 'this is our culture' is big no."

Ungkapan influencer tersebut lantas menjadi kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia, hingga menjadi trending sebab sebagian besar netizen setuju dengan aturan dari negara Qatar tersebut dan masih menganggap bahwa LGBT bukanlah suatu perbuatan yang harus diwajarkan di Indonesia. 

Sebab influencer yang menyatakan dirinya sebagai orang yang "open minded" tersebut, tetapi ketika dikritik, diberi saran ataupun diberitahukan mengenai kebenaran ia keras kepala dan malah menunjukkan sikap "close minded".

Dari kasus tersebut, lantas saya mempertanyakan, apa sebenarnya hakikat dari peran para influencer? Berikut penjelasannya.

Definisi Influencer

Era teknologi informasi berkembang semakin pesat saat ini, salah satunya adalah dengan banyak bermunculannya aplikasi media sosial yang berdampak pada penciptaan dan perluasan bidang profesi. Influencer adalah salah satu profesi yang mulai muncul semenjak kepopuleran sosial media meningkat drastis.

Influencer berasal dari kata "influence" dalam bahasa inggris yang berarti pengaruh. Dan orang yang melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memengaruhi (influencing) tersebut disebut dengan influencer. Maka dari itu, influencer dapat didefinisikan sebagai orang yang sikap, perkataan, pandangan (pemikiran) dan tindakannya dapat mempengaruhi orang lain.

Dalam Kamus Merriam-Webster, influencer didefinisikan sebagai "seseorang yang menginspirasi atau membimbing perbuatan orang lain". De Veirmen et al. (2016) juga mengungkapkan definisi dari influencer adalah "Influencer didefinisikan sebagai "orang yang membangun jaringan pengikut yang besar, dan dianggap sebagai pembuat selera tepercaya dalam satu atau beberapa bidang (niche) tertentu". 

Di zaman sekarang, dimana media sosial berkembang pesat tidak menutup kemungkinan bahwa individu yang biasa saja dapat menjadi influencer, karena jika dibandingkan di masa sebelumnya, yang dapat menjadi seorang influencer adalah orang yang sebelumnya sudah terkenal terlebih dahulu seperti artis, aktris, politisi, penyanyi, dan lain sebagainya. Sedangkan kini untuk menjadi seorang influencer hanya bermodalkan handphone, aplikasi media sosial, juga kemampuan membuat dan mempromosikan konten ke khalayak yang luas sehingga memiliki pengikut yang banyak.

Setelah memahami apa itu influencer, saatnya beralih ke bahasan selanjutnya, yaitu mengenai pengaruh influencer pada masyarakat.

Kredibilitas Influencer

Dikutip dari Lafferty, B.A, et al, terdapat tiga dimensi kredibilitas yang dimiliki oleh seorang influencer, yaitu: 1) Daya tarik (attractiveness), dimana ia objek dinilai dari penampilan fisik yang menarik, sikap yang simpatik, mempunyai ambisi, kecerdasan, serta karakteristik kepribadian lainnya. Mowen and Minor (2002) menuturkan bahwa, karakteristik influencer harus sesuai dengan konten, produk atau pemikiran yang mereka bawakan.

Jika audience merasa tertarik dengan influencer, hal tersebut dapat mempersuasi audiens dengan mudah melalui ketertarikan dari influencer tersebut. 2) Kepercayaan (trustworthiness), dimana objek dinilai berdasarkan sumber informasi yang jujur, berintegritas juga dapat dipercaya. 3) Keahlian (expertise), dimana objek dinilai dari pengetahuan, pengalaman dan keahlian yang dimilikinya.

The Power of Influencer

Influencer merupakan orang yang perkataan, perbuatannya dapat memengaruhi orang lain. Influencer dapat menjadi sorotan dan role model bagi para pengikutnya yang terpengaruh ketika melihat konten yang dibuatnya. 

Umumnya, terdapat tiga klasifikasi tujuan seorang influencer, yaitu untuk menginformasikan (to inform), untuk membujuk (to persuade), dan untuk menghibur (to entertain). Influencer bertujuan untuk menginformasikan sesuatu dan membantu audiens memperoleh pengetahuan dan informasi yang belum diketahui. Bertujuan untuk membujuk audiens menerima sudut pandangnya atau meminta untuk mengadopsi perasaan dan perilakunya. Serta untuk menghibur audiens dengan konten-konten yang informatif dan persuasif agar perhatian audiens tertuju padanya setelah melihat penampilannya.

Seorang influencer akan secara aktif membuat dan mengunggah konten di saluran media sosial yang mereka miliki. Dari sana lah mereka mendapatkan jumlah pengikut yang dapat memberi pengaruh besar. Selain itu, influencer juga biasanya memiliki pengetahuan khusus dari pendidikannya pada topik atau niche yang mereka geluti.

Seorang influencer seringkali akan memicu sebuah dialog, membuat sebuah tren, hingga membangkitkan minat di antara komunitas pengikutnya. Tidak hanya itu saja, influencer juga kerap kali akan melakukan kolaborasi satu sama lain untuk menjangkau lebih banyak audiens.

Influencer yang memiliki pengikut yang besar di media sosialnya, akan dapat memengaruhi audiens lebih banyak pula, karena pada beberapa kasus umumnya influencer dianggap oleh audiens sebagai orang yang dapat dipercaya oleh orang-orang dalam sebuah isu. Oleh karena itu, akan banyak orang yang akan mengiyakan dan mewajarkan pemikiran dan pendapat yang disampaikan, sekalipun itu merupakan pendapat yang salah.

Influencer memiliki pengetahuan, otoritas, atau wawasan khusus tentang subjek tertentu. Tetapi, influencer pun pasti memiliki latar belakang berbeda-beda, mulai dari pendidikan, lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya. Latar belakang tersebutlah yang terkadang ada orang yang memiliki kemiripan dan setuju dengannya, ada juga yang tak memiliki kemiripan namun dan kontra dengannya.

Pendapat atau pemikiran seseorang terbentuk dari pengalaman serta latar belakang yang dialaminya, begitu halnya dengan seorang influencer. Jenjang pendidikan dan lingkungan tempat ia dibesarkan serta tinggal banyak mempengaruhinya. 

Kasus influencer yang disebutkan di awal tulisan ini pun sama. Influencer tersebut merupakan orang yang berpendidikan dan memiliki pemikiran yang kritis. Ia tinggal di negeri barat untuk menuntut ilmu dan berkarir. Jika melihat kemampuan berpikir kritisnya, ia bisa dikatakan orang yang cerdas. Namun, jika ditelaah lebih dalam lagi dari beberapa pendapat dan pemikiran yang ia bagikan di media sosialnya kecerdasan tersebut tidak digunakan dengan tepat.

Qatar memiliki budaya dan aturan yang telah ada sejak lama mereka terapkan dalam kehidupan sehari-harinya, begitupun Indonesia. Namun ketika negara-negara Barat memaksakan untuk memasukkan budaya-budaya dan pemikiran yang tidak sesuai dengan aturan, norma dan budaya Qatar ataupun Indonesia, maka jelas itu adalah sebuah tindakan yang salah.

LGBT di dalam Islam jelas-jelas dilarang, Qatar yang merupakan negara yang basis masyarakatnya adalah beragama Islam tentu tidak memperbolehkan adanya segala bentuk kampanye LGBT di negaranya, begitupun Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam.

Influencer yang dikatakan di awal tadi mengatakan bahwa Qatar adalah homophobic sebab mengklaim bahwa itu merupakan budaya mereka adalah hal yang salah. Ia mengatakan hal tersebut sebab pendidikan dan lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya sekarang melegalkan keberadaan LGBT. Namun, pendapatnya tersebut tidak bisa dibenarkan, karena memang Qatar memiliki hak untuk menolak akan semua bentuk kampanye kelompok LGBT yang dibawa oleh negara Barat. Bangsa Eropa seharusnya menghormati kultur dan prinsip Qatar.

Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 dianggap telah melakukan tindakan diskriminasi, kebencian serta pelanggaran atas HAM yang dipahami secara universal. 

Padahal, Qatar menyatakan bahwa siapapun orangnya diperbolehkan untuk datang ke Qatar untuk menonton perhelatan Piala Dunia 2022 tidak dibatasi oleh golongan, latar belakang, RAS, agama maupun orientasi seksualnya. 

Qatar pun menjamin bahwa semua orang yang datang untuk menonton Piala Dunia akan terjamin keselamatan dan keamanannya, sehingga semua orang tidak akan dihukum atau dipersekusi di Qatar karena orientasi seksualnya. 

Qatar dikecam karena pilihan mereka untuk mempertahankan nilai-nilai yang mereka yakini dengan menolak rumah dan tanah mereka dijadikan sebagai tempat untuk mengampanyekan atau mempropagandakan agenda LGBT yang memang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman (hukum dan budaya) yang berlaku dan mereka anut. 

Di sini perlu dipahami kembali, bahwa Qatar adalah negara Islam, dan Islam bukan hanya sebatas agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya tetapi, Islam sudah menjadi aturan dan kebudayaan yang membumi di Qatar meskipun tidak secara kaffah (sempurna). Hal inilah yang menurut saya perlu dihormati oleh seluruh pihak.

Singkatnya, Qatar tidak ingin mengatur orientasi seksual seseorang, Qatar tidak ingin membatasi aktivitas siapapun berdasarkan orientasi seksualnya, dan Qatar tidak menghukum siapapun berdasarkan orientasi seksualnya. Qatar menjamin keamanan dan kenyamanan penonton yang datang ke Piala Dunia 2022 tersebut, karena yang Qatar inginkan adalah mereka tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai, budaya, kepercayaan, ataupun hukum yang berlaku di negara tersebut.  

Padahal tindakan negara-negara Barat tersebut bisa dikatakan dengan tindakan diskriminasi terhadap Qatar, karena negara-negara barat lah yang mengecam Qatar dan FIFA dengan berbagai aksi protes. Mulai dari boikot opening ceremony world cup yang dilakukan beberapa media barat hingga aksi timnas Jerman yang berfoto menutup mulut di laga pembuka Piala Dunia.

Jika kita gagal dalam memahami hal sesederhana ini, maka coba tanyakan pada diri kita apakah kita benar-benar open minded atau memang tidak menggunakan akalnya dengan benar? Perlu diingat, bahwa open minded adalah berpikiran terbuka bukan 'tidak berpikir'. Menurut saya, tidak perlu menjadi seorang jenius untuk memahami hal sesederhana seperti ini.

Terdapat statement terkait Qatar yang menolak untuk mempromosikan LGBT di Piala dunia telah menentang dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tapi dalam HAM pun dijelaskan bahwa seseorang dibebaskan pula untuk memilih keyakinan dan kepercayaan yang dianut serta menjalankannya.

Qatar dikatakan salah jika mereka memaksakan kepercayaan maupun budaya dan menghakimi kelompok LGBT yang datang ke negaranya. Tetapi, ketika Qatar dipaksa melakukan hal yang bertentangan dengan keyakinan yang mereka anut, maka justru merekalah korban dari diskriminasi tersebut.

Maka ketika influencer yang dibicarakan sebelumnya mengatakan bahwa Qatar adalah homophobic karena mereka hanya ingin dihormati dengan keyakinan dan budaya yang mereka yakini, itu adalah kesalahan yang fatal.

Bagaimana Harusnya Influencer Bersikap?

Influencer sebagai orang yang memiliki pengaruh yang besar terhadap sebuah isu atau informasi perlu dipahami dan diingatkan kembali, bahwa tugas mereka sebagai orang yang memiliki banyak pengikut dan menjadi sorotan banyak pihak, adalah untuk memberikan informasi yang benar dan bermanfaat bagi khalayak luas.

Influencer sebagai pemegang kunci terluar dari kepercayaan pengikutnya terhadap sebuah isu atau informasi, maka perlu menelaah kembali apakah informasi yang telah disampaikan memang ada manfaatnya dan membuat masyarakat makin cerdas dan bijak dalam menghadapi suatu fenomena atau peristiwa. Atau justru sebaliknya, malah menjadikan masyarakat makin terperosok dalam jurang misinformasi dan disinformasi dan mendirikan panggung bagi kelompok-kelompok 'intoleran' yang sebenarnya.

Yuk jadilah influencer yang cerdas dalam berkata, bersikap, dan bertindak, karena Andalah yang menjadi panutan banyak pengikut. Jangan berpikir secara biner, karena itu sangat destruktif. Meskipun memang manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang sangat subjektif, tetapi teruslah berupaya untuk objektif. Ingat satu hal yang pernah dikatan oleh Pram ini, "Adil-lah sejak dalam pikiran".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun