Mohon tunggu...
SLAM Indonesia
SLAM Indonesia Mohon Tunggu... Penulis - Media Anak Muda

SLAM kepanjangan dari Suara Laras Anak Muda. Membawa suara dan narasi skena-skena anak muda di Indonesia dan cerita sejarah republik. Melalui medium tulisan dan audio (podcast). Dengan harapan melahirkan 'ruang diskusi' untuk anak muda. Kunjungi podcast kami di Spotify (SLAM Indonesia) spotify:show:2umh8SLetO9aUtkGIfKFGL

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar Meneliti dan Melebur dengan Masyarakat dari Perspektif Etnomusikolog Rijal Tanmenan

28 Februari 2019   20:09 Diperbarui: 28 Februari 2019   20:15 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ke Minangkabau itu, mungkin karena itu waktunya. Karena aku nggak bisa masuk ke Bali. Kondisional.

Gini aku suka dengan antropologi, sosiologi, filsafat, baik estetikanya, artistiknya, baik dari kompositoris dan lain-lain. Tapi sederhananya, ketertarikan ku di luar musik dengan ilmu-ilmu falsafah membentuk diriku untuk berpikir ulang dengan apa yang ada.

Ini aku dongeng dikit ya.

Kalau dulu orang berperilaku sesuatu, sehingga yang lain mengikuti. Perlahan jumlahnya makin banyak, menjadilah sebuah yang orang bilang tradisi. Tradisi itu kan bentuk yang tercipta dari perilaku yang menjalankannya. Singkatnya, perilaku membuat bentuk. Laku membuat bentuk.

Ketika aku melakukan penelitian, lepas dari akademik, hingga sampai sekarang, growing up dong pemikiranku. Kalau dulu orang bilang, "Laku membuat bentuk". Nah sekarang aku, "Bentuk membuat laku". Kayak sekarang nih Sosial Media, pas kita melihat seorang artis, kan merubah laku kita. Kita jadi fans. Mengikuti dia. Nah, kekuatan bentuk sampai merubah laku. Ini aku sadari sepenuhnya. Jadi ketika turun ke masyarakat, aku melepas semua perilaku dan atribut sepenuhnya.

Jadi aku masuk dalam bentuk atribut masyarakat kayak gimana. Udah, kayak gelas kosong. Melebur aja dulu. Nanti akan diisi. Itu akan mengendap gitu lho. Meresap dan serapannya akan kita dijadikan titik. Mau capture apa nih.

Sampailah pertanyaan, Talempong arus tuntutan akademik, sehingga baru boleh meneliti?

Sebenarnya, tanpa akademik, semua orang adalah observer, insider, peneliti. Tinggal kitanya mau gerak nggak sih. Dan aku memang melakukan itu. Dari tujuh belas tahun yang lalu. Kalau berkesenian sadarnya dua puluh empat tahun lalu. Dan mengambil sikap sebagai peneliti atau observernya ya tujuh belas tahun yang lalu.

Ngumpulin data dulu. Baca-baca. Udah ada endapan. Baru terjun ke lapangan. Dicopot semua atribut. Nanti akan jadi percikan, ini buku yang kamu baca, pas lihat ke masyarakat, "Ini fakta yang unik, tapi kok enggak ya?". Mengambil ininya kan susah ya.

Apakah Uda sampai ikut terlibat sebagai pemain Talempong Pacik bersama warga?

Iya. Aku juga ikut main. Aku diajarin. Bagaimana mengenal dan menyetem. Tapi nggak terlalu jauh sampai membuat Talempong. Tapi aku tau organology akustiknya kayak gimana, bahan apa yang buat mencetak. Emang harus into deep sih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun