Â
KOPLAK itu serius. Serius itu koplak. Itulah stigma logika alu --yang walau atas bawahnya tumpul tapi mampu memberi tafsir sekaligus manfaat. Sebagai saudara kembar kandung  koplak atau humor menjelma menjadi beragam teks.  Ia berupa naskah drama, skenario sinetron, cerpen, novel, obrolan di warung sampai caf, hingga puisi atau sajak.
Oleh karena serius, ia ditulis dengan dahi berkerut ketika menuangkannya dan disampaikan secara lisan tanpa cengengesan. Apalagi cengarcengir. Murni serius! Dalam trend Stand Up Comedy ala kini, sang komik bahkan menyampaikan sesuatu yang berefek gerr, dengan prosodi dan gestur yang memukau penonton.
Pengoplak yang Penyair
Selain serius, koplak tidak dilontarkan asal njeplak. Ia beretika, karena komunikasi yang tercipta tentu tidak dalam kerangka saling menyakiti. Pengoplak yang penyair lebih meniatkan pada segi kemanusiaan yang kadang penuh paradoks, dan ironi sekaligus menghibur dengan tutur yang tidak ngawur.
Penyair yang pengoplak dan pengoplak yang penyair sekaligus, Â sadar akan hal tersebut. Itu sebabnya, spontanitas dan kreativitasnya membuncah ketika bersinggungan dengan kehidupan. Perhatikan dua puisi berikut.
PARMI DAN PARMO
Parmi asal Kaligangsa
Parmo asal Kaliwungu
Mereka bertemu di Kalijodo
Bercumbu berkali-kali
Tapi baru-baru ini
Mereka bunuh diri
Parmi membujur di Kalimati
Parmo mengambang di Kalimalang
Jakarta, 18 Maret 2016 Â Â Â
                                        Â
YANG TAK ONLINE
Beli baju online
Beli sepatu online
Beli buku online
Pesan taksi online
Pesan ojek online
Pesan tiket online
Selingkuh online
Curhat online
Berdoa online
Yang tak online
Cuma berak
Jakarta, 25 Juli 2016
Kita merasakan, betapa ironi Parmo dan Parmi --potret dua sosok jelata yang hidupnya paradoks sekaligus bernasib ironi. Sang Penyair, memotret keduanya di sebuah tempat pelacuran. Melampiaskan hasrat syahwat berkali-kali, lalu tanpa tindak motif mereka bunuh diri. Pembaca mendadak dibuat getir, walau awalnya sempat nyengir. Mayatnya terpisah:
Parmi membujur di Kalimati
Parmo mengambang di Kalimalang
Buku antologi puisi  ini adalah buku antologi puisi ketiganya. Penyair yang memiliki nama pena Syukur Budiardjo ini telah  menulis dua buku kumpulan puisi. Masing-masing bertajuk: Seratus Puisi Status Jilid 1: Wajah, Nama, dan Facebook (2015) dan Seratus Puisi Status Jilid 2: Belajar dari Zu Rong Ji (2015).
Kumpulan puisi ini terdiri atas 58 puisi. Apabila ditilik dari kronologinya, kelima puluh delapan puisi ini ditulis dalam rentang waktu empat tahun (10 November 2013 s.d. 21 Oktober 2017). Dari segi kuantitas, memang puisi yang dihasilkannya tampak sedikit. Agaknya kesedikitan ini lebih dikriteriakan pada tema koplak atau humor yang ditampilkannya. Puisi-puisi tersebut memiliki topik yang beragam. Â
                                                               Â
Selain itu, dalam rentang waktu tersebut, penyairnya: Syukur Budiardjo banyak menulis puisi bertema selain humor bersama puisi karya penyair lainnya yang terkumpul dalam Antologi Puisi Doa Buat MH370 Kembali MH370 (2014), Duka Gaza Duka Kita (2014), Memo untuk Presiden (2014), Untukmu Ibu Pertiwi (2014), Sajak Pemuda untuk Pertiwi (2014), Perempuan, Cinta, dan Kemanusiaan (2014), Antologi Puisi Menolak Korupsi (PMK) 4: Ensiklopegila Koruptor (2015), Munajat Ramadhan: Antologi Ramadhan Sahabat Nusantara (2017), Antologi Puisi Bersyiar dengan Syair: Mengetuk Nurani dengan Puisi (2017), Buitenzorg: Bogor dalam Puisi Penyair Nusantara (2017).
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H