Namanya adalah Bujang Beji atau dikenal dengan Sebeji. Ia menjadi cerita awal keberadaan Bukit Kelam yang menjadi Batu Monolit terbesar kedua di dunia setelah yang berada di Australia. Dari namanya Bujang Beji, sudah diketahui bahwa ia berasal dari pedalaman timur Kalimantan Barat, di daerah ini nama Bujang menjadi satu di antara gelar yang memiliki ikatan kekerabatan dengan Kerajaan.
Dari ukuran Bukit Kelam yang sangat besar, maka bisa ditebak Bujang Beji adalah sosok Raksasa sakti mandraguna kalau dibandingkan dengan manusia sekarang. Â Bagaimana tidak, ia membawa batu besar itu hanya dengan tujuh helai daun.
Meski belum masuk mata pelajaran sejarah, cerita Bujang Beji terus diwariskan secara turun temurun masyarakat Kabupaten Sintang, cerita ini pula yang melahirkan mitos seputar Bukit Kelam saat ini, seperti di larang berbuat asusila dengan kekasih di sekitar bukit karena menyebabkan hubungan tidak awet.
Cerita ini saya sadur dari dongengceritaanak.com, sebagai bentuk kepedulian turut melestarikan hikayat-hikayat lokal yang layak dijadikan teladan hidup sehari-hari masyarakat khususnya Kabupaten Sintang dan umumnya Kalimantan Barat. Saya berharap, cerita ini juga masuk buku pelajaran nasional sejajar dengan hikayat lain di nusantara seperti Malin Kundang dan yang lainnya.
Bujang Beji adalah seorang lelaki yang ternama sakti. Ia pemimpin pada masyarakatnya. Sikap dan perilakunya kurang terpuji. Karena menganggap dirinya sakti, ia menjadi sombong. Ia serakah, kejam, dan sewenang-wenang tindakannya. Hingga selama itu, tidak ada yang berani menentang atau melawannya. Takut pada kesaktian dan kekejamannya. Bujang Beji semakin buruk kelakuannya. Tindakan tidak terpujinya semakin menjadi-jadi.
Selain Bujang Beji, terdapat seorang pemimpin lainnya. Tumenggung Marubai namanya. Ia juga sosok yang sakti. Namun, ia tidak sombong, melainkan rendah hati. Tumenggung Marubai memimpin masyarakatnya dengan baik.
Masyarakat pimpinan Bujang Beji dan Tumenggung Marubai sama-sama mencari ikan. Agar tidak terjadi perselisihan tempat dalam mencari ikan, Bujang Beji dan Tumenggung Marubai bersepakat. Bujang Beji dan masyarakat pimpinannya akan mencari ikan di Sungai Simpang Kapuas. Tumenggung Marubai beserta masyarakat pimpinannya mencari ikan di Sungai Simpang Melawi. Masing-masing dari mereka tidak diperbolehkan mencari ikan di sungai yang bukan tempat mereka mencari ikan.
Tumenggung Marubai mengajari masyarakatnya untuk menangkap ikan dengan cara yang baik. Ia menggunakan bubu penangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang besar saja yang ditangkapnya. Ikan-ikan kecil yang turut terperangkap dalam bubu dilepaskannya kembali.
"Tumenggung Marubai, mengapa ikan-ikan kecil itu dilepaskan kembali?" tanya salah seorang warga pimpinan Tumenggung Marubai.
Tumenggung Marubai menjelaskan, ikan-ikan kecil itu sebaiknya dibiarkan hidup terlebih dahulu. Biarkan mereka berkembang biak. "Kelak setelah ikan-ikan itu telah besar dan beranak pinak, barulah kita menangkapnya. Biarkan kembali ikan-ikan kecil yang turut tertangkap bersamanya nanti. Dengan cara itu ikan-ikan di Sungai Simpang Melawi ini tidak akan habis, meski kita terus menangkapnya," jelas Tumenggung Marubai.
Segenap orang yang dipimpin Tumenggung Marubai menjalankan perintah pimpinannya itu. Benar, ikan di Sungai Simpang Melawi senantiasa banyakjumlahnya. Bahkan, semakin banyak, meski mereka terus menangkapnya.
Bagaimana dengan Bujang Beji?
Bujang Beji tidak ingin bersusah payah dalam menangkap ikan. Ia mengajari orang-orang yang dipimpinnya untuk menggunakan tuba. Ia mengambil akar dan batang tanaman hutan yang memabukkan untuk dijadikan tuba. Tuba itu lalu dimasukkan ke dalam sungai. Dengan cara itu, ikan-ikan di Sungai Simpang Kapuas mabuk. Tubuh mereka mengambang. Bujang Beji dan orang-orang yang dipimpinnya dengan mudah menangkapi ikan- ikan yang mabuk dan mengambang di permukaan air sungai itu.
"Nah, bukankah mudah untuk mendapatkan ikan?" kata Bujang Beji. "Dalam waktu singkat, kita telah mendapatkannya. Sangat banyak lagi jumlahnya!"
Tidak hanya ikan-ikan yang besar, melainkan juga ikan-ikan kecil turut mabuk dan akhirnya tertangkap. Bahkan, tidak sedikit pula ikan yang mati terkena tuba.
Dengan menggunakan tuba untuk menangkap ikan, jumlah ikan di Sungai Simpang Kapuas terus berkurang banyak. Bahkan, tidak lama kemudian sangat jarang ditemukan ikan di Sungai Simpang Kapuas!
Bujang Beji kebingungan saat warga pimpinannya mengeluh tidak lagi bisa mudah mendapatkan ikan.
"Ikan di Sungai Simpang Kapuas ini hampir habis. Sulit sekali ditangkap," keluh salah seorang warga. "Berbeda dengan Sungai Simpang Melawi. Mereka sangat mudah menangkap ikan di sana. Jumlah ikan di sana tidak habis-habis."
Bujang Beji ingin membuktikan ucapan salah seorang warga pimpinannya itu. Diam-diam ia mendatangi Sungai Simpang Melawi. Ia melihat Tumenggung Marubai dan warga pimpinannya sedang menangkap ikan dengan bubu-bubu. Ia terkejut, mereka sangat mudah mendapatkan ikan. Sangat banyak pula jumlahnya. Melihat itu, Bujang Beji menjadi iri. Sifat jahatnya mengemuka.
"Aku tidak bisa membiarkan Tumenggung Marubai dan warga pimpinannya mudah mendapatkan ikan," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus mencari cara agar mereka juga kesulitan menangkap ikan sepertiku."
Bujang Beji mencari cara. Ia merenung memikirkan rencana jahatnya. Tak berapa lama kemudian ia menemukan cara.
"Aku akan menutup hulu Sungai Simpang Melawi. Ikan-ikan di Sungai Simpang Melawi akan mati kekurangan air," gumam Bujang Beji. "Sementara di bagian hulu sungai ikan-ikan akan berkumpul. Mudah bagiku mendapatkannya."
Bujang Beji bersiap menjalankan rencana jahatnya. Untuk menutup hulu Sungai Simpang Melawi ia akan menggunakan puncak Bukit Batu yang terdapat di daerah Nanga Silat. Dengan mengerahkan ajian saktinya, ia berhasil memotong puncak Bukit Batu. Bujang Beji lalu mencari tujuh lembar daun ilalang. Ia meletakkan potongan puncak Bukit Batu di atas tujuh lembar dan ilalang, kemudian membawanya menuju hulu Sungai Simpang Melawi.
Ketika Bujang Beji membawa potongan puncak Bukit Batu, ia mendengar suara tawa gadis-gadis. Suara itu berasal dari sebelah atas. Bujang Beji mendongak. Ia melihat Dewi-Dewi dari Negeri Kahyangan. Mereka itulah yang mentertawakannya.
"Apa yang kalian tertawakan?" seru Bujang Beji.
Para Dewi tidak menjawab pertanyaan Bujang Beji. Mereka tetap saja tertawa melihat kelakuan Bujang Beji.
Bujang Beji jengkel. Ia terus menatap ke arah langit sambil terus berjalan. Ketika ia tiba di persimpangan antara Sungai Simpang Kapuas dan Sungai Simpang Melawi ia menginjak duri beracun. Ia mengaduh kesaktian dan kemudian melompat. Karena gerakan tiba-tiba yang dilakukannya, tujuh lembar daun ilalang yang dipegangnya menjadi putus. Akibatnya, potongan puncak Bukit Batu yang dibawanya terlepas. Potongan puncak Bukti Batu itu jatuh menimpa aliran sungai yang disebut jetak.
Tak terkirakan Bujang Beji pada para Dewi Kahyangan. Gara-gara tawa mereka membuat rencananya tidak terwujud. Sambil tetap mendongak, ia mengeluarkan ancamannya, "Ingat!" serunya. 'Aku tidak akan membiarkan perlakuan kalian ini padaku! Aku akan membalas tindakan kalian!"
Bujang Beji mendekati salah satu bukit di dekatnya. Dihentakkannya kakinya yang tertusuk duri beracun pada bukit itu. Bujang Beji bertekad terus mewujudkan rencananya. Ia melihat potongan puncak Bukit Batu yang terhujam di jetak. Ia bermaksud mencongkelnya. Bergegas ia mengangkat sebuah bukit memanjang dan digunakannya untuk mencongkel. Sayang, potongan puncak bukit itu telah terhujam kuat- kuat. Meski Bujang Beji telah mengerahkan segenap kekuatan dan kesaktiannya, potongan puncak bukit itu tetap berada di tempatnya. Usaha Bujang Beji tidak membuahkan hasil. Bujang Beji tidak serta merta menyerah. Ia kembali mencongkel potongan bukit yang terhujam dengan menggunakan bukit memanjang. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya. Akibatnya, bukit memanjang yang digunakan Bujang Beji patah.
Bujang Beji sangat marah. Menurutnya, semua itu karena kelakuan para Dewi hingga rencananya gagal. Ia harus membalas dendam pada Dewi-Dewi Kahyangan itu. Ia akan menuju Kahyangan dan menumpahkan kemarahannya. Untuk sampai ke Kahyangan, ia akan memanjat pohon raksasa yang dinamakan Kumpang mambu. Pohon itu sangat tinggi menjulang, pucuknya tak terlihat dari tanah. Bujang Beji yakin, ia akan dapat tiba di Kahyangan setelah melewati pucuk pohon Kumpang mambu.
Sebelum menuju Kahyangan, Bujang Beji berniat mengadakan ritual adat. Ia akan memberi sesaji kepada para roh halus. Ia berharap para roh halus tidak mengganggu atau menggagalkan rencananya. Ia juga memberi sesaji kepada seluruh hewan di sekitarnya. Seperti halnya kepada para roh halus, ia berharap hewan-hewan juga tidak mengganggu usahanya.
Berbagai hewan dikumpulkan Bujang Beji dan diberinya sesaji. Meski telah berusaha memberikan sesaji kepada semua hewan, terdapat dua hewan yang terluput. Keduanya adalah kelompok hewan rayap dan beruang.
Rayap-rayap dan para beruang bertemu di suatu tempat.
"Bujang Beji telah melupakan kita," kata rayap. I "Kita sama sekali tidak dianggapnya."
"Benar," sahut beruang. "Bujang Beji harus I merasakan akibat dari tindakan buruknya kepada I kita."
"Lantas, apa yang akan kita lakukan?"
"Bujang Beji akan menaiki pohon Kumpang I mambu untuk menuju Kahyangan," kata beruang. I "Kita harus menggagalkannya! Kita gerogoti batang pohon Kumpang mambu itu hingga putus."
"Ya!" sahut para rayap. "Dengan cara itu Bujang I Beji tidak akan pernah sampai di Kahyangan."
Para rayap dan para beruang segera bersiaga. Mereka bersembunyi di sekitar pohon Kumpang mambu. Ketika mereka melihat Bujang Beji telah cukup lama memanjat, bergegas mereka keluar dari persembunyian. Para rayap dan beruang segera menggerogoti batang pohon Kumpang mambu. Gigi-gigi tajam dua kelompok hewan itu ganas menggerogoti bagian bawah batang pohon. Dua kelompok hewan itu terus bekerja keras hingga batang pohon Kumpang mambu akhirnya putus.
Ketika batang pohon Kumpang mambu terputus, Bujang Beji hampir mencapai Kahyangan. Ia terjatuh bersamaan dengan tumbangnya pohon Kumpang mambu. Seketika jatuh terhempas ke atas tanah, Bujang Beji pun akhirnya tewas.
Di tugu tersebut terdapat patung seorang laki-laki yang memikut batu. Sementara masyarakat baik yang berada di pedalaman Sungai Kapuas maupun Melawi, terus melestarikan apa yang diajarkan Bujang Beji dan Tumenggung Marubai. Di mana hingga kini bubu masih digunakan untuk menangkap ikan, sementara mencari ikan dengan cara menyebar tuba hanya dilakukan pada musim kemarau ketika sungai sudah dalam kondisi benar-benar kering.
*Semoga Bermanfaat*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H