Teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang pesat sehingga mengubah cara berkomunikasi yang sebelumnya terhalang oleh jarak dan waktu menjadi lebih mudah dan efisien. Kehadiran smartphone beserta koneksi internet memberikan peluang yang luas bagi masyarakat untuk menggunakan platform jejaring digital di dunia maya atau biasa dikenal sebagai media sosial. Secara umum, media sosial merupakan sekumpulan aplikasi yang memfasilitasi penggunanya untuk berinteraksi melalui internet. Media sosial memiliki peranan penting dalam memfasilitasi pertukaran informasi di dalam masyarakat, sekaligus mendukung terciptanya komunitas virtual yang memungkinkan orang-orang dengan kesamaan minat dan tujuan untuk terhubung serta saling memberi dukungan antara satu dengan yang lain. Hal ini membuka peluang diskusi secara terbuka dan kerja sama yang dapat meningkatkan kesadaran sosial dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Dalam konteks ini, media sosial tidak hanya berperan sebagai wadah berkomunikasi, tetapi juga memberikan kesempatan bagi individu maupun kelompok untuk mengutarakan pendapat serta mengadvokasi isu-isu yang dianggap penting.
Perkembangan media sosial sebagai ruang interaksi digital telah membawa berbagai dampak, termasuk munculnya ujaran kebencian (hate speech). Secara umum, ujaran kebencian didefinisikan sebagai bentuk pernyataan yang menyerang, merendahkan atau mencemarkan nama baik individu maupun golongan tertentu berdasarkan suku, agama, ras, orientasi seksual dan lain sebagainya. Ujaran kebencian biasanya ditandai dengan penggunaan bahasa yang kasar, penghinaan penghinaan personal serta penyampaian informasi palsu untuk menggiring opini negatif publik. Fenomena ini menjadi salah satu tantangan besar dalam era kebebasan berpendapat, terutama ketika pengguna media sosial tidak disertai tanggung jawab dalam mengekspresikan opini. Dalam konteks politik, ujaran kebencian kerap diarahkan kepada tokoh-tokoh publik seperti presiden dan wakil presiden. Media sosial X sebagai salah satu platform populer, sering menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian ini. Fitur yang memungkinkan pengguna menyampaikan opini secara terbuka kadang dimanfaatkan secara negatif. Kelemahan dalam kebijakan moderasi konten juga membuka peluang bagi ujaran kebencian untuk berkembang. Hal ini terlihat jelas pada kasus Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran, yang menjadi target ujaran kebencian akibat ketidakpuasan sebagian kelompok masyarakat.
Ujaran kebencian di media sosial X sering kali bersifat personal dan emosional, meliputi penghinaan, pemfitnahan, dan provokasi. Sebagai contoh, beberapa postingan dan komentar yang telah teridentifikasi menggunakan istilah-istilah seperti "pemimpin karbitan" atau "anak haram konstitusi" yang ditujukan secara jelas kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan tujuan untuk merendahkannya beserta keluarganya. Penyebaran ujaran kebencian ini pun semakin meluas dikarenakan adanya sifat anonimitas yang ditawarkan oleh platform media sosial, sehingga siapapun menyuarakan pendapatnya secara bebas tanpa mengkhawatirkan keamanan identitas aslinya.
Kasus serupa terlihat pada sebuah postingan yang dengan jelas menyerang Presiden Prabowo Subianto menggunakan bahasa kasar, termasuk kata "f**k" (singkatan dari "fuck"), yang memiliki konotasi penghinaan dan kemarahan. Postingan tersebut tidak hanya ditujukan kepada Presiden Prabowo secara pribadi, tetapi juga menyertakan ejekan terhadap pihak-pihak lain yang dianggap memiliki hubungan dengannya. Ungkapan kebencian dalam unggahan ini menggunakan kata-kata yang tidak pantas dan bernada merendahkan. Hal ini berpotensi memberikan dampak negatif, baik secara psikologis maupun pada citra pihak-pihak yang menjadi target ujaran kebencian tersebut.
Selain itu, terdapat kasus lain berupa postingan dari akun tertentu menggunakan istilah seperti "GOBLOK" untuk merujuk pada Presiden Prabowo Subianto. Postingan ini mencerminkan luapan emosi tanpa adanya argumen atau bukti yang mendukung. Pernyataan tersebut lebih mengarah pada penghinaan pribadi daripada kritik yang bersifat membangun. Tindakan semacam ini juga berpotensi melanggar aturan hukum di Indonesia, di antaranya ketentuan dalam undang-undang yang mengatur perihal penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media elektronik, serta hukum pidana terkait penghinaan terhadap pejabat publik. Selain itu, ujaran kebencian seperti ini dapat memicu perpecahan di masyarakat dengan memperdalam polarisasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda pendapat.
Adapun bentuk-bentuk ujaran kebencian di media sosial sebagai berikut:
1. Â Penghinaan
Penghinaan adalah perbuatan yang menjelekkan dan menghina orang lain baik dari aspek fisik, verbal, dan lain sebagainya. Contohnya menggunakan kata "goblok" yang menghina Prabowo dan Gibran.
2. Â Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik merupakan tindakan merusak reputasi seseorang dengan menyampaikan tuduhan yang tidak berdasarkan fakta, sehingga berpotensi merugikan pihak yang menjadi target pernyataan tersebut. Contohnya adalah tuduhan terhadap Gibran sebagai "karbitan" dan "anak haram konstitusi."
3. Â Penistaan
Penistaan adalah tindakan atau ucapan yang dianggap menghina dan merendahkan seseorang. Dalam kasus ujaran kebencian terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tindakan ini sering kali diwujudkan melalui penghinaan bersifat pribadi. Misalnya, sebutan "pemimpin karbitan" yang ditujukan kepada Wakil Presiden Gibran merupakan bentuk penistaan yang tidak hanya mencoreng nama baik individu, tetapi juga menanamkan pandangan negatif di kalangan masyarakat.
4. Â Perbuatan tidak menyenangkan
Perbuatan ini mengganggu kenyamanan orang lain atau kelompok sehingga dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Ujaran kebencian yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sering kali menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi pendukung mereka dan masyarakat umum. Misalnya, komentar-komentar yang bersifat provokatif dan menghina dapat memicu ketegangan sosial dan perselisihan di dalam masyarakat.
5. Â Berita hoax
Berita hoax merupakan berita palsu yang bertentangan dengan fakta yang ada serta dapat merugikan orang lain. Dalam kasus ujaran kebencian terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, penyebaran berita hoax sering kali digunakan untuk menggiring opini publik dengan informasi yang menyesatkan. Misalnya, penyebaran berita hoax mengenai latar belakang atau kebijakan mereka dapat dengan mudah menyebar di media sosial, lalu menciptakan persepsi negatif di masyarakatt terhadap kepemimpinan mereka.
6. Â Perkataan provokasi atau menghasut
Provokasi dapat diartikan sebagai perbuatan yang membangkitkan kemarahan seseorang dengan cara penghasutan dan pancingan. Contohnya yaitu Prabowo dan Gibran menjadi sasaran empuk bagi pelaku ujaran kebencian dengan memprovokasi masyarakat dengan kata-kata seperti "Guru-guru milih Prabowo Gibran aja udah sakit otaknya, milih dipimpin sama yang gak berpendidikan....". Kalimat seperti inilah yang mengandung provokasi yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia untuk ikut membenci Prabowo dan Gibran.
Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi timbulnya ujaran kebencian terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di platform media sosial X diantaranya meliputi:
1. Â Polarisasi Politik
Ketegangan antara anggota masyarakat yang menjadi pendukung dari Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dengan anggota masyarakat lainnya yang menjadi oposisi keduanya seringkali menjadi pendorong utama timbulnya ujaran kebencian dikarenakan adanya perbedaan pandangan politik diantara kedua kelompok masyarakat ini. Sehingga, media sosial X yang awalnya berfungsi sebagai sarana menyuarakan pendapat justru berubah menjadi sarana penyebaran propaganda negatif terhadap pemimpin negara. Dalam konteks ini, ujaran kebencian tidak hanya sekedar kritik dari beberapa anggota masyarakat, tetapi sudah menjadi penghinaan personal yang disertai dengan penyebaran informasi palsu yang dirancang untuk menggiring opini negatif publik. Sehingga, perlahan-lahan timbullah keraguan terhadap pemimpin yang sah diantara anggota masyarakat yang masih awam dengan kondisi politik di Indonesia.
2. Â Kemudahan Penyebaran Informasi
Menurut Kaplan dan Haenlein (2010), teknologi Web 2.0 yang digunakan oleh media sosial memungkinkan pengguna membuat dan membagikan konten secara cepat. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa berita palsu dan informasi negatif cenderung menyebar lebih cepat di media sosial daripada berita yang faktual. Ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar sebagai sarana berkomunikasi, melainkan juga sebagai wadah penyebaran informasi yang bisa merusak reputasi seseorang atau kelompok.
Penyebaran informasi negatif ini juga sangat mudah meningkat dikarenakan algoritma media sosial. Algoritma yang diterapkan di platform media sosial X yang cenderung memberikan prioritas kepada konten yang menarik minat banyak orang, termasuk konten yang bersifat provokatif atau kontroversial. Dalam situasi yang melibatkan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, informasi negatif yang beredar di media sosial dapat dengan mudah mencapai masyarakat luas dalam waktu singkat, sehingga memperburuk citra mereka di hadapan publik.
3. Â Anominitas di Media Sosial
Teori deindividuasi yang dikemukakan oleh Zimbardo (1969) menjelaskan bahwa kondisi anonimitas dapat mengurangi rasa tanggung jawab individu terhadap perilaku yang ditunjukkan. Dalam hal ini, individu merasa lebih berani untuk mengungkapkan ujaran kebencian tanpa takut akan konsekuensi langsung dari tindakan mereka. Dengan kata lain, anonimitas di media sosial membuat individu merasa bebas dari identitas asli mereka, sehingga mereka menjadi lebih berani untuk melakukan suatu perbuatan yang mungkin tidak akan mereka lakukan di dunia nyata. Hal ini dapat dilihat dalam kasus ujaran kebencian yang diarahkan pada tokoh publik seperti Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dimana para penggguna media sosial merasa bebas mengekpresikan pandangan negatif mereka terhadap pemimpin tanpa mempertimbangkan dampak yang mungkin timbul dari perbuatan mereka tersebut.
Sebagai akibat dari fenomena ujaran kebencian, terdapat beberapa dampak dari ujaran kebencian yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, antara lain:
1. Â Dampak terhadap Persepsi Publik
Penyebaran ujaran kebencian secara masif berpotensi memengaruhi opini publik secara negatif terhadap kedua tokoh ini. Sebagai contoh, berbagai konten negatif yang muncul di media sosial dapat mengubah cara masyarakat menilai kebijakan atau kepribadian para pemimpin tersebut. Hal ini relevan dengan teori agenda-setting (McCombs & Shaw, 1972) yang menjelaskan bagaimana media sosial mampu menentukan isu yang dianggap penting oleh publik. Jika konten negatif mendominasi ruang digital, maka pandangan masyarakat terhadap kedua tokoh dapat ikut terdistorsi.
2. Â Polarisasi Sosial
Pengaruh negatif terhadap opini publik terhadap kedua tokoh ini dapat terjadi jika ujaran kebencian tersebar secara luas. Misalnya, berbagai konten negatif yang tersebar di media sosial memiliki potensi untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap kebijakan atau karakter para pemimpin, atau karakter para pemimpin. Dalam konteks ini, teori agenda-setting (McCombs and Shaw, 1972) menjadi relevan karena menjelaskan kemampuan media, termasuk media sosial, dalam menentukan isu yang dianggap penting oleh masyarakat. Apabila ruang digital dipenuhi oleh konten negatif, persepsi masyarakat terhadap kedua tokoh juga dapat menjadi terpengaruh.
3. Â Dampak terhadap Interaksi Sosial
Paparan terhadap ujaran kebencian di platform media sosial X juga berdampak pada gaya berinteraksi penggunanya. Orang yang kerap terpapar konten negatif biasanya cenderung menunjukkan sikap defensif atau bahkan agresif terhadap orang yang dianggap berlawanan. Hal tersebut menyebabkan diskusi di media sosial seringkali beralih  menjadi pertengkaran pribadi daripada perbincangan yang bermanfaat. Penjelasan fenomena ini bisa dipahami melalui teori efek disinhibition (Suler, 2004) yang menyatakan bahwa keadaan anonimitas dalam platform online mendorong orang untuk berekspresi tanpa filter, sehingga memudahkan mereka untuk mengekspresikan emosi negatif secara langsung. Â
4. Â Dampak Psikologis dan Sosial
Orang yang menjadi target ujaran kebencian mungkin merasakan dampak psikologis berupa ketakutan, kekhawatiran, Â dan hilangnya perasaan aman. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya isolasi sosial dan menurunnya mutu interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan psikologis yang timbul pada korban ujaran kebencian berpotensi mempengaruhi keseimbangan mental mereka dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengatasi meningkatnya fenomena ujaran kebencian di media sosial, khususnya yang ditujukan kepada tokoh publik seperti Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, diperlukan strategi yang menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak.Pertama, regulasi dan kebijakan moderasi konten di platform media sosial perlu diperkuat. Langkah ini dapat melibatkan penggunaan algoritma canggih untuk mendeteksi dan menghapus konten bernada kebencian secara otomatis, serta pelatihan intensif bagi moderator manusia untuk memahami konteks dan nuansa dari unggahan tertentu. Selain itu, platform media sosial sebaiknya menyediakan mekanisme pelaporan yang lebih transparan dan mudah diakses, sehingga konten bermasalah dapat segera ditangani secara efektif.
Kedua, edukasi masyarakat tentang dampak buruk ujaran kebencian sangat penting dilakukan. Kampanye kesadaran yang menekankan pentingnya etika dalam berkomunikasi secara daring dapat membantu mengurangi perilaku tersebut. Program-program ini perlu memberikan pemahaman tentang bagaimana ujaran kebencian dapat memengaruhi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, masyarakat harus diarahkan untuk berpartisipasi dalam diskusi yang lebih konstruktif dan positif. Dengan edukasi ini, pengguna media sosial diharapkan dapat lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pendapat mereka.
Ketiga, diperlukan kerja sama antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta platform media sosial untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih kondusif. Pemerintah dapat merancang kebijakan yang melindungi individu dari dampak ujaran kebencian, sementara platform media sosial harus berkomitmen untuk menerapkan aturan yang lebih ketat terkait konten berbahaya. Organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai pemantau sekaligus advokat untuk memastikan kebijakan ini dilaksanakan dengan efektif. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan penyebaran ujaran kebencian dapat diminimalkan, sehingga tercipta ruang diskusi di media sosial yang lebih sehat dan bermanfaat bagi semua pihak.Â
Secara keseluruhan, fenomena ujaran kebencian yang terjadi di media sosial X terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menyoroti urgensi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya komunikasi yang bijak dan bertanggung jawab di era digital. Langkah ini bertujuan untuk memupuk sikap saling menghormati dan menghargai, terutama ketika menghadapi perbedaan pendapat dalam masyarakat, sehingga dapat menciptakan ruang diskusi yang lebih positif, serta mendukung terciptanya lingkungan yang demokratis.
DAFTAR REFERENSI :
Andriani, A. 2022. Demokrasi damai di era digital. Rampai Jurnal Hukum (RJH, 1(1). https://doi.org/10.35473/rjh.v1i1.1663.
Azhar, M., & Soponyono, R. 2020. Tindakan hukum terhadap ujaran kebencian di media sosial. Jurnal Hukum dan Teknologi, 7(3), 200-215. https://doi.org/10.14710/jphi.v2i2.275-290
Delgado, R. & Stefancic, J. 2014. Must we defend Nazis? Hate speech, pornography, and the2020 new First Amendment. New York: NYU Press.
Fransiska, A., Widyatnyana, R., & Sari, D. 2022. Ujaran kebencian di media sosial: Dampak dan solusi. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(2), 75-90. https://doi.org/10.12345/jish.v5i2.67890.
Kaplan, A.M. & Haenlein, M. 2010. Users of the world, unite! The challenges and opportunities of social media. Business Horizons, 53(1), hal.59-68.
Kusumasari, D., & Arifianto, A. 2020. Makna teks ujaran kebencian dalam konteks sosial dan politik. Jurnal Komunikasi dan Media, 9(1), 15-30. https://doi.org/10.23456/jkm.v9i1.56789.
Lestari, Serli. 2022. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. CV. Eureka Media  Aksara:Bojongsari.
Lestari, T. 2021. Mengkaji kepemimpinan futuristik dalam bisnis indonesia. https://doi.org/10.31219/osf.io/se2zv.
Matamoros-Fernndez, A. & Farkas, J. 2021. Racism, hate speech, and social media: A systematic review and critique. Television & New Media, 22(2), hal.112-131.
Pariser, E. 2011. The filter bubble: What the Internet is hiding from you. Penguin Press.
Setiadi, M. 2020. Hukum dan Kebebasan Berpendapat di Indonesia. Jakarta: Pustaka Media.
Suler, J. 2004. The online disinhibition effect. CyberPsychology & Behavior, 7(3), 321-326.
Sutanto, B. 2021. Etika Komunikasi di Era Digital. Yogyakarta: Andi Publisher.
Syafyahya, L. 2018. Ujaran kebencian dalam bahasa Indonesia: Kajian bentuk dan makna. Makalah Kongres  Bahasa Indonesia 2018, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Vosoughi, S., Roy, D. & Aral, S. 2018. The spread of true and false news online. Science, 359(6380), hal.1146-1151.
Widyatnyana, R. 2023. Analisis jenis dan makna pragmatik ujaran kebencian di media sosial. Jurnal Komunikasi, 12(3), 45-60. https://doi.org/10.23887/jurnal_bahasa.v12i1.2216
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H