Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kondisi Sepak Bola Indonesia Terkini 2025

2 Januari 2025   22:34 Diperbarui: 3 Januari 2025   10:52 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Mengapa klub-klub sepak bola hingga wadah-wadah sepak bola akar rumput di Indonesia, tetap memaksakan diri, eksis dan bertahan di persepak bolaan nasional, meski para pendiri/pemilik klub dan wadah sepak bolanya tidak pernah profit, tidak untung?

Niat ikhlas dan tujuan

Kondisi ini sangat menarik untuk ditelusuri. Dicari tahu alasan yang paling logis dan masuk akal. Mengapa tidak pernah profit, tetapi tetap bertahan? Ada apa sebenarnya?

Beberapa jawaban yang masuk akal dan logis pun banyak saya dapatkan dari para pemilik klub hingga pemilik wadah sepak bola akar rumput di Indonesia. Dalam artikel ini, sementara baru saya ulas kesimpulan umumnya. Semoga di artikel berikutnya dapat saya paparkan lebih detail.

Kesimpulan umum, mengapa para pemilik klub hingga wadah sepak bola akar rumput masih bertahan meski tidak pernah profit adalah karena niat dan tujuannya. Para pemilik klub dan wadah sepak bola akar rumput ini adalah benar-benar pemilik sejati. Tidak mencari makan dari sepak bola. Tidak menggunakan sepak bola untuk mencari keuntungan dan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Tidak menjadikan sepak bola kendaraan politik.

Mereka, selain karena menyalurkan hobi, juga didasari oleh niat ikhlas membantu masyarakat menyalurkan minat dan bakatnya dalam sepak bola demi kemaslahatan.

Salah satu bukti niat ikhlas ini adalah para pemilik klub hingga pemilik wadah sepak bola akar rumput sampai harus utang, harus menggadaikan harta benda miliknya, hingga menjual harta bendanya, demi klub dan wadahnya tetap dapat eksis, dengan jaminan dirinya sendiri.

Sementara, para pemilik klub hingga wadah sepak bola akar rumput yang tidak bertahan, tidak eksis lagi, tentu karena niat dan tujuannya tidak seperti para pemilik klub dan wadah sepak bola akar rumput sejati.

Klub Liga 1 - Liga 4

Khusus di tahun 2024, kita pun dapat menelusuri siapa para pemilik/pengelola Klub Liga 1 dan Liga 2 yang tergolong sejati. Pasalnya, masalah klub pun sampai diketahui publik sepak bola nasional, seperti masalah gaji ofisial dan pemain, hingga biaya operasional yang tidak dapat diatasi.

Bahkan, dalam Instagram yang saya baca Kamis pagi (2/1/2024) @segalaa_persib malah menampilkan kisah tiga tokoh sepak bola nasional yang bisa jadi, tergolong sejati di Liga 1. Disebut oleh @segalaa_persib,
(1) Sumbernya kompas.com, Pieter Tanuri (Bali United) menyebut bahwa: "Jadi artinya, tidak ada satu pun klub di Indonesia yang profit dari kegiatan bola. Saya sampai hari ini belum profit."
(2) Sumbernya podcast sport77,  Teddy Tjahjono (Persib): "Tidak ada satu pun klub di Indonesia yang saat ini profitable."
(3) Sumbernya podcast sport77,  Nabil Husein (Borneo FC): "Kalau tim lain saya gak tahu ya, kalau saya (Borneo FC) buntung."

Bila pernyataan ketiga pemilik klub/pengelola tersebut benar, maka dapat disimpulkan, semua klub Liga 1 di Indonesia tidak ada yang sehat. Sementara, klub Liga 2 yang sudah "jujur" dalam kondisi sakit adalah Sriwijaya FC.

Antara pemilik sejati dan tidak sehat menjadi hal yang sangat terkait. Karena "kemampuan" para pemilik klub sejati ada batasnya. Saat biaya yang ditanggung, tidak lagi dapat dipenuhi, maka kondisi klub jadi dapat dianalogikan sakit.

Bagaimana dengan klub Liga 3 yang kini bernama Liga Nusantara, kompetisinya sudah dikelola oleh PSSI dan Liga 4 yang kompetisinya di helat oleh Asosiasi Provinsi (Asprov).

Saya pun yakin, tidak ada satu pun klub yang benar-benar sehat di Liga 3 dan Liga 4. Tetapi para pemiliknya, masih tetap memaksakan diri, klubnya masih ikut kompetisi karena niat ikhlas dan tujuannya.

Ranah akar rumput

Di ranah sepak bola akar rumput, ada wadah yang masih bisa hidup. Di antaranya (1) Memiliki pendukung seperti investor/pemodal.
(2) Mengandalkan dana CSR karena wadahnya dibuat berbentuk Yayasan.
(3) Wadah baru yang pendiri/pemiliknya masih "kaya" atau didukung oleh "pihak tertentu" yang terdeteksi diguyur "dana partai/sesuatu".
(4) Wadah lama yang hanya mengandalkan dana dari pendiri/pemilik dan bantuan/dukungan orang tua siswa dalam bentuk "iuran siswa".

Menariknya, meski berbeda model, semua berkompetisi di operator yang sama, baik yang resmi dari PSSI mau pun operator swasta. Lucu, deh.

Bila diidentifikasi lagi, semisal wadah nomor (1), apakah pendiri/pemiliknya profit? Apakah investor/pemodalnya juga profit. Yang model begini, biasanya hanya menunggu waktu untuk wadahnya tutup, baru kemudian menghitung kerugian.

Untuk nomor (2) biasanya juga akan lekang (terbelah, retak, lepas) digerus waktu, lalu menghilang. Bahkan ada yang tersandung masalah hukum. Nomor (3) akan mengikuti tradisi instan, mudah muncul-sangat mudah tenggelam dan hilang.

Akar masalah wadah nomor (1), (2), dan (3), biasanya karena pemilik/pengelolanya bukan sejati. Tetapi menggunakan sepak bola untuk mencari profit. Bukan karena niat ikhlas dan tujuan untuk maslahat.

Tetapi untuk model wadah nomor (4) biasanya tahan banting karena niat ikhlas dan tujuannya. "Tidak dibantu" atau "tidak ada bantuan" dan Pendiri/pemiliknya masih Ikhlas membiayai dengan "berbagai cara". Sementara, sebagian orang tua siswa yang "mampu" masih disiplin membayar iuran demi membantu biaya operasional.

Sayangnya, dalam situasi wadah sepak bola akar rumput yang terus dibiarkan tidak jelas fungsi dan kedudukannya secara resmi di PSSI. Tidak ada standarnya, tidak ada regulasinya, tidak ada supervisi dan akreditasinya, maka model wadah nomor (4) ini menjadi makanan empuk  wadah nomor (1), (2), dan (3), yang dengan keberadaannya, membuat persaingan  tidak sehat. Atas keberadaan dan pembiayaan yang berbeda, mereka sangat mudah mengiming-iming orang tua dan siswa khususnya di wadah nomor (4) dengan program beasiswa, padahal hanya sebagai dalih yang nampak sopan dari pada mencomot pemain tanpa membina.

Bila ditarik kesimpulan, sepak bola akar rumput pun wadahnya, sudah tidak sehat. Para pendiri/pemilik wadah yang tujuannya membantu masyarakat dalam hal sepak bola dengan niat ikhlas, menjunjung etika dan moral yang benar dan baik, sudah dilukai oleh manusia-manusia tidak beretika dan tidak bermoral.

Jauh dari standar pondasi yang seharusnya. Bahwa wadah sepak bola akar rumput adalah kawah candradimukanya Timnas Indonesia. Tetapi, di wadah yang seharusnya menjadi pondasi menguatkan teknik, intelegensi, personlaity, dan speed (TIPS) pemain, para pembinanya sudah tidak beretika dan tidak bermoral. Apa yang dapat diharapkan kepada siswa/pemain yang dididik dan dibina dengan mentalitas yang salah?

Lihatlah faktanya, untuk bersaing di tingkat Asia menuju Piala Dunia, Timnas Indonesia akhirnya harus diisi oleh para pemain Indonesia yang dididik dan dibina oleh klub dan wadah sepak bola luar negeri.

Sebab pelatih yang kini menangani Timnas Indonesia sudah menemukan dan membuktikan sendiri bahwa para pemain binaan di wadah dan klub sepak bola Indonesia, banyak yang tidak lulus rapor TIPSnya, saat direkrut ke Timnas.

Sampai di sini, apa yang dapat kita "baca" dari persoalan sepak bola nasional mulai wadah sepak bola di akar rumput klub Liga 4, 3, 2, 1, hingga persoalan pemain Timnas?

Apakah Timnas akan dapat diisi oleh para pemain yang sehat TIPS yang dibina di dalam negeri Indonesia?

Para pemilik klub dan wadah sepak bola akar rumput banyak yang sudah tidak berdaya dalam hal biaya. Bisa jadi, semua sudah tidak sehat. Tetapi sepak bola di Indonesia pun sudah menjadi mata pencaharian bagi sebagian rakyat Indonesia.

Pelatih, ofisial, pemain, khususnya di Liga 1, 2, 3, dan 4, banyak yang menggantungkan hidup dari sepak bola. Begitu pun pelatih dan ofisial di wadah sepak bola akar rumput.

Tetapi, para pemilik/pengelola klub dan wadah sepak bola, menggantungkan kehidupan klub dan wadahnya kepada siapa? Di klub, sponsor terbatas, donatur terbatas, subsidi biaya kompetisi di Liga 1, 2, dan 3 juga terbatas. Apalagi di wadah sepak bola akar rumput. Negara pun tidak hadir membantu kesulitan ini, bukan?

Katanya, di Indonesia, sepak bola sudah menjadi industri. Tetapi mengapa kisahnya masih seperti yang saya tulis? Tapi Timnas Indonesia pun bemimpi masuk Piala Dunia 2026.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun