Sayangnya, dalam situasi wadah sepak bola akar rumput yang terus dibiarkan tidak jelas fungsi dan kedudukannya secara resmi di PSSI. Tidak ada standarnya, tidak ada regulasinya, tidak ada supervisi dan akreditasinya, maka model wadah nomor (4) ini menjadi makanan empuk  wadah nomor (1), (2), dan (3), yang dengan keberadaannya, membuat persaingan  tidak sehat. Atas keberadaan dan pembiayaan yang berbeda, mereka sangat mudah mengiming-iming orang tua dan siswa khususnya di wadah nomor (4) dengan program beasiswa, padahal hanya sebagai dalih yang nampak sopan dari pada mencomot pemain tanpa membina.
Bila ditarik kesimpulan, sepak bola akar rumput pun wadahnya, sudah tidak sehat. Para pendiri/pemilik wadah yang tujuannya membantu masyarakat dalam hal sepak bola dengan niat ikhlas, menjunjung etika dan moral yang benar dan baik, sudah dilukai oleh manusia-manusia tidak beretika dan tidak bermoral.
Jauh dari standar pondasi yang seharusnya. Bahwa wadah sepak bola akar rumput adalah kawah candradimukanya Timnas Indonesia. Tetapi, di wadah yang seharusnya menjadi pondasi menguatkan teknik, intelegensi, personlaity, dan speed (TIPS) pemain, para pembinanya sudah tidak beretika dan tidak bermoral. Apa yang dapat diharapkan kepada siswa/pemain yang dididik dan dibina dengan mentalitas yang salah?
Lihatlah faktanya, untuk bersaing di tingkat Asia menuju Piala Dunia, Timnas Indonesia akhirnya harus diisi oleh para pemain Indonesia yang dididik dan dibina oleh klub dan wadah sepak bola luar negeri.
Sebab pelatih yang kini menangani Timnas Indonesia sudah menemukan dan membuktikan sendiri bahwa para pemain binaan di wadah dan klub sepak bola Indonesia, banyak yang tidak lulus rapor TIPSnya, saat direkrut ke Timnas.
Sampai di sini, apa yang dapat kita "baca" dari persoalan sepak bola nasional mulai wadah sepak bola di akar rumput klub Liga 4, 3, 2, 1, hingga persoalan pemain Timnas?
Apakah Timnas akan dapat diisi oleh para pemain yang sehat TIPS yang dibina di dalam negeri Indonesia?
Para pemilik klub dan wadah sepak bola akar rumput banyak yang sudah tidak berdaya dalam hal biaya. Bisa jadi, semua sudah tidak sehat. Tetapi sepak bola di Indonesia pun sudah menjadi mata pencaharian bagi sebagian rakyat Indonesia.
Pelatih, ofisial, pemain, khususnya di Liga 1, 2, 3, dan 4, banyak yang menggantungkan hidup dari sepak bola. Begitu pun pelatih dan ofisial di wadah sepak bola akar rumput.
Tetapi, para pemilik/pengelola klub dan wadah sepak bola, menggantungkan kehidupan klub dan wadahnya kepada siapa? Di klub, sponsor terbatas, donatur terbatas, subsidi biaya kompetisi di Liga 1, 2, dan 3 juga terbatas. Apalagi di wadah sepak bola akar rumput. Negara pun tidak hadir membantu kesulitan ini, bukan?
Katanya, di Indonesia, sepak bola sudah menjadi industri. Tetapi mengapa kisahnya masih seperti yang saya tulis? Tapi Timnas Indonesia pun bemimpi masuk Piala Dunia 2026.