Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Menilai Kegagalan Timnas dengan Kacamata Objektif, Bukan Kacamata Kuda

22 Desember 2024   11:05 Diperbarui: 22 Desember 2024   11:05 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karenanya, orang-orang yang objektif, biasanya lahir dan terdidik dengan benar dan baik dalam hal agama, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, lingkungan kuliah, lingkungan kerja, lingkungan kekeluargaan, dan lainnya.

Tercermin kecerdasan SQ, IQ, dan EQ dalam perbuatan, sikap, perilaku, hingga tutur katanya. Tercermin dalam penilaian kepada apa pun yang  berdasarkan fakta. Jauh dari prasangka. Jauh dari bias, emosi, atau prasangka. Pikiran terbuka, mempertimbangkan fakta daripada perasaan pribadi.
Tidak mendistorsi, memutarbalikan suatu fakta.

Menjadi orang yang objektif

Atas kegagalan Timnas Indonesia yang saya sebut Timnas Regenerasi, saya selalu mengingatkan pada diri sendiri agar selalu berupaya menjadi orang yang objektif. Karenanya, sejak awal Timnas Regenerasi ini berkiprah, saya pun sudah menyiapkan diri untuk legawa, rela, bila Indonesia gagal.

Selalu saya ingatkan diri saya, atas fakta-fakta terkait Piala AFF 2024:
(1) Lawan-lawan di Piala AFF menurunkan timnas senior.
(2) Timnas Indonesia menurunkan junior, karena Liga 1 dan Liga tempat pemain Indonesia abroad, tetap bergulir, hingga tidak dapat memanggil pemain yang dibutuhkan.

Terkait fakta (2), terbentuknya Timnas Regenerasi sudah sesuai rekomendasi Ketua PSSI.

(3) Shin Tae-yong (STy) pelatih profesional, tetapi terkendala dalam kompetensi pedagogi, sosial, dan kepribadian.

Akibat fakta (3), 2 pemain mengoleksi kartu merah. Kartu merah pertama diterima Marcelino di laga yang di atas kertas, seharusnya menang vs Laos. Kartu merah kedua diterima Ferrari di laga sangat menentukan.

Sangat parahnya, laga yang ditonton oleh ratusan juta rakyat  Indonesia, di dalamnya banyak pesepak bola akar rumput, justru dihadiahi pertunjukan rendah otak dan hati seorang Ferrari yang di lengannya menempel ban kapten. Sangat jauh dari keteladanan. Sangat tercermin bagaimana kondisi SQ, IQ, dan EQnya.

Bila Ferrari cerdas, masih bermain sampai menit akhir, mungkin Timnas bisa menahan imbang Filipina dan lolos ke semifinal. Atau bahkan lolos karena menang. Atau, meski Ferrari tidak dikartu merah, Garuda tetap kalah.

2 kartu merah di Piala AFF, adalah bukti bahwa STy saya sebut gagal dalam 3 hal, yaitu: pedagogi, sosial, dan kepribadian. Hal ini sudah berkali-kali saya ulas dalam artikel yang saya tulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun