Indonesia terkini, manusia-manusia yang tidak menjaga, tidak menghormati, tidak menghargai, dan tidak mengutamakan prinsip-prinsip moral, etika, dan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau politik, justru terus dibiarkan bebas berkeliaran. Terus membodohi rakyat demi melanggengkan kekuasaan. Mirisnya, terus diberikan ruang dan dikasih panggung oleh media.Â
(Supartono JW.04122024)
Hari-hari terkini, sebagai rakyat jelata di Republik Indonesia (RI) yang sudah merdeka dari penjajah kolonialisme 79 tahun yang lalu, ternyata semakin merasakan bahwa RI masih terus dijajah oleh manusia-manusia Indonesia yang tidak patut diteladani. Tetapi justru terus diberikan "ruang" dan "panggung" oleh media massa, baik media mainstream (arus utama) mau pun media nonmainstream.
Manusia-manusia yang tidak patut diteladani ini, sudah menanggalkan etika, moral, tidak tahu malu, tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, gila jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan sejenisnya untuk kepentingan dan keuntungan dirinya, dinastinya, oligarkinya, cukongnya, dll.
Manusia-manusia yang tidak dapat diteladani ini, telah mengabaikan fondasi pendidikan Indonesia yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yaitu:
(1) Ing ngarso sung tulodo: Di depan memberikan contoh.
(2) Ing madya mangun karsa: Di tengah membangun motivasi.
(3) Tut wuri handayani: Di belakang memberikan dorongan semangat.
Setop menjadi sponsor
Maaf, untuk semua media di +62, apa tidak ada berita lain untuk cari makan? Hingga rakyat jelata yang notabene-nya masih miskin, menderita, bodoh, harus terus dhujani, dibanjiri oleh berita tentang aktivitas manusia yang tidakk layak diteladani rakyat Indonesia?
Wahai media, sadarkah bila ternyata Anda-Anda ini telah berubah menjadi sponsor bagi manusia-manusia yang tak layak diteladani? Berita-berita yang terus Anda sajikan, semakin membuat rakyat memahami dan membenarkan hal yang salah. Dan, semakin memahami dan menyalahkan hal yang benar.
Sadarlah media! Di tengah pendidikan rakyat Indonesia yang masih terpuruk, Anda malah terus memberi ruang dan terus memanggungkan sosok manusia yang telah merusak tatatan di negeri ini. Menerabas etika dan moral. Menghalalkan segala cara untuk ambisi pribadinya.
Sungguh konyol, bagi media-media yang tidak menyadari bahwa sejatinya, mereka-mereka yang terus memberi panggung sosok yang tidak patut diteladani, malah menjadi sponsor terselubung. Atau jangan-jangan memang sponsor betulan, tak ubahnya seperti influenser dan buzzer.
Ada yang dibanggakan
Meski begitu, saya bangga dan acung jempol untuk media mainstream terkemuka di negeri ini. Media ini adalah Kompas.com yang pada 4 Maret 2023 menayangkan artikel yang ditulis oleh M. Ikhsan Tualeka (Pegiat Perubahan Soaial), yang berani mengulas bahwa hari-hari ini, bangsa yang berasaskan Pancasila ini, betul-betul telah kehilangan keteladanan dari para pemimpinnya.Â
Revolusi mental yang sebelumnya digadang-gadang, menjadi sebatas retorika. Lalu, di dalamnya diulas tentang Anwar Usman Ketua Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng terakhir konstitusi negara, Â justru terlibat conflict of interest dalam memutuskan perkara batas usia minimal capres-cawapres yang akhirnya menguntungkan keluarganya.Â
Berikutnya dibahas soal Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang berkali-kali dalam perilaku yang dinilai publik tak etis juga melanggar etik. Bahkan terkait dugaan pemerasan yang dilakukannya dalam penanganan kasus korupsi, Firli terus mangkir dari pemeriksaan polisi maupun Dewas KPK.
Tak luput, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun setali tiga uang, dengan mempertontonkan perilaku politik inkonsistensi "esuk dele sore tempe" (pagi kedelai, sore tempe) atau hari ini bicara lain besok bicara beda, tidak satunya kata dengan perbuatan.Â
Perilaku Jokowi ini dipertontonkan dalam berbagai pernyataan politik melalui media massa. Misalnya, terkait wacana majunya Gibran Rakabuming Raka dalam PIlpres 2024, Jokowi mengatakan putranya itu belum cukup umur dan meminta agar Gibran tidak didorong menjadi cawapres. "Jangan didorong-dorong, itu sudah tidak logis," sebut Jokowi (Detik.com 29 Mei 2023).Â
Namun tak lama berselang, 22 Oktober 2023, Jokowi justru berbalik dan merestui putranya itu ikut dalam pilpres 2024. Inkonsistensi sikap Jokowi bukan baru terlihat di ujung masa pemerintahannya dan mendekati pemilu. Jokowi juga janji akan membentuk kabinet ramping dan tidak ada rangkap jabatan bagi para menteri, namun apa yang tersaji justru sebaliknya.Â
Nir keteladanan juga diperlihatkan oleh Gibran sebagai representasi pemimpin dari kalangan muda. Gibran yang baru tiga tahun jadi wali kota sebelumnya mengaku akan tetap di Solo dan memilih untuk 'ngurusi' Solo, juga masih memiliki banyak kekurangan sehingga belum layak untuk menjadi cawapres.Â
"Ilmunya belum cukup, pengalamannya belum cukup," ucap putra sulung Jokowi tersebut (Kompas.com, 26 Mei 2023). Â Namun yang terjadi kemudian Gibran bersedia atau menerima pinangan sebagai cawapres Prabowo. Satu sikap politik yang bukan saja tidak elok untuk diteladani, tapi juga telah memberikan kontribusi bagi upaya menghidupkan kultur dinasti politik yang sebelumnya telah pula mengakar di sejumlah daerah.Â
Kisah Anwar Usman, Jokowi, dan Gibran saat itu, apakah hingga kini rakyat Indonsia dapat melupakannya? Jawabnya, mustahil.
Pasalnya, hingga Pilpres usai. Kini, dalam ranah Pilkada 2024, bahkan keteladanan Jokowi yang "mencla-mencle", lalu ikut turun gunung cawe-cawe Pilkada hingga ada yang mengungkap tentang Partai Coklat (Parcok), justru diikuti oleh Presiden Prabowo.
Prabowo pun tidak malu, saat makan berdua dengan Ridwan Kamil (RK) di suatu rumah makan. Bahkan, Presiden Prabowo menyempatkan waktu menemui cagub dan cawagub Jawa Tengah, Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen, didampingi Jokowi.
Bicara Jokowi dan kelakuannya saja belum tuntas, kini Prabowo malah meneladani Jokowi. Dan, siapa rakyat cerdas Indonesia yang tidak tahu maksud dan tujuan Jokowi dan Prabowo itu?
Bagaimana dengan tanggapan rakyat jelata yang masih miskin, menderita, dan belum berpendidikan, melihat tokoh yang menjadi pahlwan mereka dengan uluran "bansos" dll, mendukung calon tokoh? Proses cuci pikiran dan cuci hati pun terjadi. Inilah yang mereka tuju, untuk "suara" di TPS.
Luar biasa, dalam Pilpres dan Pilkada ada KPU, ada Bawaslu, tapi kini, siapa mereka? Pelanggaran moral, etis hingga etik yang kesemuanya itu jauh dari sifat kepemimpinan, kesatria, jiwa adiluhung bangsa, semakin mempertegas dan menjadi contoh nyata bahwa keteladanan di bangsa ini menjadi sesuatu yang langka.
Keteladanan hanya sekadar lip service atau basa-basi dan omong kosong belaka, alih-alih menjadi habitus kolektif para pemimpin bangsa. Apa yang tersaji sejauh ini, justru ketiadaan keteladananlah yang terus dipertontonkan.
Habitus adalah kecenderungan batiniah dan jasmaniah seseorang yang membentuk dan dibentuk oleh struktur sosial budaya. Habitus juga diartikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan untuk menghadapi kehidupan sosial. Dan, habitus memiliki beberapa karakteristik:
(1) Habitus merupakan produk dari sejarah yang dipengaruhi oleh struktur yang ada.
(2) Habitus mencakup nilai, norma, dan kebiasaan yang diinternalisasi sejak dini melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan komunitas.
(3) Habitus mempengaruhi identitas sosial seseorang.
(4) Habitus berfungsi sebagai benturan perilaku dari lingkungan sekitarnya.Â
Tidak pernah belajar
Maaf, di luar sosok-sosok yang namannya sudah tertulis, dari semua manusia-manusia yang mencari makan dari uang rakyat, cara memperoleh jabatan/kedudukan/kekuasaan, juga dari suara rakyat, sepertinya memang tidak pernah belajar dari keteladanan tokoh-tokoh di negeri ini, atau dari negara lain. Pasalnya, rakyat Indonesia yang sudah dalam taraf berakal sehat atau bernalar waras, terus dibuat mengelus dada. Bahkan terus dibuat bersusah hati, sedih, kesal, atau sebal (masygul) oleh sikap dan perbuatan mereka.
Mungkin, perilaku mereka akan dapat berubah, bila sudah mendapat "hidayah" dari Allah. Sehingga dapat meneladani para pendiri bangsa, yang menunjukan pentingnya keteladanan.
Sebagai contoh, tokoh yang patut diteladani di Indonesia, di antaranya:
(1) Sutan Syahrir, perdana menteri pertama Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 itu, rela mengundurkan diri pada 1947, sebagai respons terhadap perbedaan pandangan dan tekanan politik. Sebab, menekankan pentingnya menjaga prinsip-prinsip moral dan etika kepemimpinan politik.
(2) Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia ini juga tercatat dalam sejarah mengundurkan diri pada 1956 sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah dalam memilih atau merekrut para pejabat publik saat itu.Â
Keputusan Hatta untuk mundur, mencerminkan prinsip etika dan keberpihakan terhadap kepentingan nasional. Hatta juga menunjukan keteladanan tidak saja dalam merespons realitas politik yang mengemuka, tapi juga tercermin dalam kehidupan pribadinya yang sederhana sampai meninggal dunia.
(3) Hoegeng Iman Santoso adalah Kepala Kepolisian RI ke-5. Rela menanggung konsekuensi diberhentikan sebagai Kapolri sebelum masa jabatannya habis, karena konsisten mengungkap kasus penyelundupan, di saat ada rivalitas tidak sehat antarlembaga penegak hukum.
Hoegeng pun dikenal hidup sederhana dan tidak mempan disuap. Baginya, lebih baik hidup melarat daripada menerima suap atau korupsi. Prinsip hidup itu ternyata diakui Hoegeng karena meneladani Hatta.
Ketiga sosok manusia Indonesia itu, patut diteladani karena menjaga, menghormati, menghargai, dan mengutamakan prinsip-prinsip moral, etika, dan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau politik.Â
Indonesia terkini
Bagaimana dengan Indonesia terkini? Manusia-manusia yang tidak menjaga, tidak menghormati, tidak menghargai, dan tidak mengutamakan prinsip-prinsip moral, etika, dan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau politik, justru terus dibiarkan bebas berkeliaran. Terus membodohi rakyat demi melanggengkan kekuasaan. Mirisnya, terus diberikan ruang dan dikasih panggung oleh media.Â
Semoga apa yang saya tulis ini, memberikan pencerahan dan kesadaran khususnya bagi media di Indonesia, umumnya untuk rakyat Indonesia, agar Indonesia dalam kondisi baik-baik saja. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H