Bicara Jokowi dan kelakuannya saja belum tuntas, kini Prabowo malah meneladani Jokowi. Dan, siapa rakyat cerdas Indonesia yang tidak tahu maksud dan tujuan Jokowi dan Prabowo itu?
Bagaimana dengan tanggapan rakyat jelata yang masih miskin, menderita, dan belum berpendidikan, melihat tokoh yang menjadi pahlwan mereka dengan uluran "bansos" dll, mendukung calon tokoh? Proses cuci pikiran dan cuci hati pun terjadi. Inilah yang mereka tuju, untuk "suara" di TPS.
Luar biasa, dalam Pilpres dan Pilkada ada KPU, ada Bawaslu, tapi kini, siapa mereka? Pelanggaran moral, etis hingga etik yang kesemuanya itu jauh dari sifat kepemimpinan, kesatria, jiwa adiluhung bangsa, semakin mempertegas dan menjadi contoh nyata bahwa keteladanan di bangsa ini menjadi sesuatu yang langka.
Keteladanan hanya sekadar lip service atau basa-basi dan omong kosong belaka, alih-alih menjadi habitus kolektif para pemimpin bangsa. Apa yang tersaji sejauh ini, justru ketiadaan keteladananlah yang terus dipertontonkan.
Habitus adalah kecenderungan batiniah dan jasmaniah seseorang yang membentuk dan dibentuk oleh struktur sosial budaya. Habitus juga diartikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan untuk menghadapi kehidupan sosial. Dan, habitus memiliki beberapa karakteristik:
(1) Habitus merupakan produk dari sejarah yang dipengaruhi oleh struktur yang ada.
(2) Habitus mencakup nilai, norma, dan kebiasaan yang diinternalisasi sejak dini melalui lingkungan keluarga, pendidikan, dan komunitas.
(3) Habitus mempengaruhi identitas sosial seseorang.
(4) Habitus berfungsi sebagai benturan perilaku dari lingkungan sekitarnya.Â
Tidak pernah belajar
Maaf, di luar sosok-sosok yang namannya sudah tertulis, dari semua manusia-manusia yang mencari makan dari uang rakyat, cara memperoleh jabatan/kedudukan/kekuasaan, juga dari suara rakyat, sepertinya memang tidak pernah belajar dari keteladanan tokoh-tokoh di negeri ini, atau dari negara lain. Pasalnya, rakyat Indonesia yang sudah dalam taraf berakal sehat atau bernalar waras, terus dibuat mengelus dada. Bahkan terus dibuat bersusah hati, sedih, kesal, atau sebal (masygul) oleh sikap dan perbuatan mereka.
Mungkin, perilaku mereka akan dapat berubah, bila sudah mendapat "hidayah" dari Allah. Sehingga dapat meneladani para pendiri bangsa, yang menunjukan pentingnya keteladanan.
Sebagai contoh, tokoh yang patut diteladani di Indonesia, di antaranya:
(1) Sutan Syahrir, perdana menteri pertama Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada 1945 itu, rela mengundurkan diri pada 1947, sebagai respons terhadap perbedaan pandangan dan tekanan politik. Sebab, menekankan pentingnya menjaga prinsip-prinsip moral dan etika kepemimpinan politik.
(2) Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia ini juga tercatat dalam sejarah mengundurkan diri pada 1956 sebagai protes terhadap kebijakan pemerintah dalam memilih atau merekrut para pejabat publik saat itu.Â