Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Praktik Nilai-Nilai Kekeluargaan Membutuhkan Keteladanan

30 November 2024   20:58 Diperbarui: 30 November 2024   20:58 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miskin keteladanan

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, praktik nilai-nilai kekeluargaan di tengah masyarakat kian terkikis.   Semakin banyak anggota kekeluargaan yang sikapnya terbalik.

Tidak mau menerima, tidak ada kasih sayang, tidak mau berbagi, tidak mau membantu, tidak jujur, tidak komunikatif, tidak menghormati, tidak menghargai, tidak bersyukur, tidak tahu terima kasih, tidak tahu diri, tidak peduli, tidak simpati, tidak empati, dan tidak rendah hati.

Kegagalan para anggota dalam kekeluargaan, melanggengkan kekeluargaan, penyebabnya seperti masih gagal dalam agama dan pendidikan, sehingga rendah SQ, IQ, dan EQ.

Parahnya lagi, di negeri ini juga miskin keteladanan. Miskinnya keteladanan karena sampai  hal etika dan moral saja ditanggalkan oleh orang-orang yang mencari makan dari uang rakyat, memakai jalur haram. Yang diincar adalah jabatan pemimpin negeri, pemimpin daerah, dan parlemen. Tetapi selalu menggunakan kedok amanah.

Maka, lihatlah negeri ini. Meski sudah 79 tahun merdeka. Lepas dari penjajahan kolonialisme. Rakyat Indonesia justru "bak lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya". Nasibnya seperti luput dari satu bahaya, jatuh kembali ke bahaya yang lain.

Bahaya yang pertama, dijajah oleh penjajah dari negara lain (kolonialisme) membuat rakyat menderita, miskin, hingga rela mengorbankan darah dan nyawanya untuk merebut kemerdekaan.

Bahaya kedua, masuk cengkeraman buaya, penjajah dari orang-orang "tamak dan rakus" di negeri sendiri, yang selalu bernyanyi mendewakan etika, moral, dan amanah demi mendapatkan suara rakyat yang konsisten dibikin bodoh, miskin, dan menderita. Lalu dimanfaatkan saat mereka butuh suara untuk kedudukan dan tahta.

Diguyur bansos dan rupiah sekadarnya dengan skenario TSM. Lalu mudah ditebak. Politik utang budi dan pandai bersyukur pun, jitu membangkitkan etika dan moral yang benar dan baik dari rakyat jelata. Miskin, bodoh, menderita.  Belum tentu hari ini dapat makan. Maka, bansos dan lembar rupiah sekadarnya, cukup buat menyentuh mata hati dan pikiran, sehingga akan membalasnya dengan mencoblos "si penjajah bertopeng" yang baik hati dan baik budi itu, di TPS-TPS seantero negeri.

Terlebih, gambar-gambar yang dianggap baik hati itu, didukung oleh sosok-sosok baik hati sebelumnya, yang levelnya sudah "ulung menipu dengan topengnya".

Atas miskinnya keteladanan tersebut. Terutama yang dipertontonkan oleh manusia-manusia "penjajah" yang tidak tulus dan ikhlas terjun ke dunia politik. Karena jalur politik bagi mereka hanya sekadar kendaraan untuk mewujudkan cita-cita menjadi pemimpin demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.
Saat apa yang mereka dapatkan kurang. Segala muslihat dilakukan sampai yang terang-terangan "korupsi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun