pemimpin/kegiatan/wadah/tempat/rumah, dll demi kepentingan dan kuntungan pribadi, serta sikap egois dan individualis, dengan meninggalkan "rumah" yang telah "membesarkannya", hanya dilakukan oleh manusia yang miskin pikiran dan hati.
Memilih(Supartono JW.27112024)
Hajatan demokrasi, bernama Pilkada yang serentak digelar di 30 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dengan total 545 daerah pada Rabu 27 November 2024, adalah VITAL untuk  menentukan kepemimpinan di tingkat lokal, yang berorientasi pada pelayanan publik, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.
Pertanyaannya, hal vital ini, apa dilakukan dengan proses yang benar dan baik? Bila jawabannya, ya. Maka, akan mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat di negeri ini. Maslahat adalah kepentingan, manfaat, atau kebaikan yang dapat mendatangkan keselamatan, hingga hal-hal yang "halal".
Bila jawabannya, tidak. Kemudaratanlah yang akan terus menimpa setiap daerah hingga bangsa dan negara ini. Mudarat adalah sesuatu yang merugikan, tidak menguntungkan, gagal, tidak berhasil, dan tidak berguna, hingga hal-hal yang "haram".
Kira-kira, selama ini, jawaban mana yang faktanya terjadi?
Hajatan demokrasi di +62, kini memang dianggap berbagai pihak sebagai sekadar ritual dan tradisi. Sesudahnya selalu menyisakan masalah dan benang kusut. Selalu ada yang terpilih, tetapi dalam prosesnya sulit terhindar dari praktik curang yang terstruktur, tersistem, dan masif (TSM).
Siapa pemilik skenario, sutradara, produser (pemodal), tim produksi tim pemenangan), hingga aktor yang dijagokan akan menang? Sangat mudah "dibaca".
Siapa yang diskenario dapat jadi lumbung suara kemenangan. Dengan "apa" lumbung suara itu "di arahkan?", ini pun sangat mudah "dibaca".
Semua sangat lekat dengan praktik-praktik KKN, dinasti, dan oligarki, tetapi yang dijadikan modal, anggarannya pun dari uang siapa?
Lahan basah, RMMBP
Kelompok pecinta kekuasaan ini, selalu menghalalkan segala cara demi kekuasaan dan tahtanya direbut, sebab selama ini, "mereka" tahu bahwa "wilayah" ini adalah "lahan basah".
"Lahan basah" ini harus dapat mereka rebut dan kuasai demi kesejahteraan dan kemakmuran "mereka" sediri, dengan mengatasnamakan untuk kepentingan rakyat. Tetapi "mereka" pun tahu, rakyat yang masih miskin-menderita-belum berpendidikan (RMMBP), adalah kran suara dan basis kemenangan. Lalu "diapakan RMMBP ini?
Cukup dengan "sembako" dari uang rakyat, tapi atas nama mereka. Cukup dengan "selembar rupiah sekadarnya". Pun dari uang rakyat. Sudah membuat RMMBP, takluk, bersyukur, berterima kasih, utang budi. RMMBP akan terhipnotis ada pahlawan, ada orang baik, dll.
Maka, saat ke TPS, akan sangat mudah mencoblos yang diangap sudah menjadi pahlawan bagi RMMBP ini.
Cuci otak dan hati
Tidak sulit bukan? Selama ini, dari Pilpres hingga Pilkada, cara "cuci otak dan hati" kepada RMMBP, jarang gagal. Dan, mungkin, demi kepentingan kekuasaan ini, "mereka" tetap berupaya membuat program pendidikan Indonesia tetap terpuruk. Kuncinya, ujung tombaknya bernama guru terus dibikin "menderita" agar rakyat tetap "bodoh".
Sampai ada rakyat bodoh yang membuat quote, "Guru memang bukan orang hebat. Tetapi semua orang hebat adalah berkat jasa seorang guru". Mutahilkan? Lahir orang hebat bila gurunya tidak hebat?
Kembali ke hajatan demokrasi. Demi kursi presiden, parlemen, hingga gubernur, bupati/walikota, rakyat +62 yang sudah dalam taraf cerdas sudah banyak diungkap bahwa mereka lebih menganggap hajatan demokrasi ini hanyalah kegiatan ritual, formalitas.
Cawe-cawe memalukan
Lebih miris, dalam Pilkada serentak kali ini, maaf, bahkan seorang mantan presiden dan presiden yang baru menjabat, tetap "merendahkan dirinya" ikut turun gunung secara terbuka dan terang-terangan, ikut cawe-cawe. Memalukan!
Padahal jabatan presiden itu, seharusnya diemban oleh sosok yang kapasitasnya negarawan. Jujur, sebagai rakyat jelata, melihat fakta ini, sangat prihatin. Peristiwa yang sebelumnya, bahkan sosok seorang presiden sampai dianggap mengabaikan etika dan moral karena kepentingan kekuasaan demi dinasti tetap bertahta.
Setelah lengser, yang janjinya mau momong cucu, malah menjilat janjinya sendiri. Ikutan turun ke jalan cawe-cawe dalam Pilkada. Pun presiden yang baru menjabat, setali tiga uang, tidak memikirkan bahwa "mata" rakyat melihatnya. Mereka tidak mengindahkan aturan. Malah seolah pamer kekuatan agar RMMBP, tergerak hati kepada pilihan yang didukung oleh sosok yang sudah berbaik hati. Miris. Sedih.
Atas kondisi itu, maka tidak salah bila rakyat yang sudah dalam taraf cerdas, hanya menganggap Pilkada sebagai sekadar ritual, formalitas demokrasi. Prosesnya juga selalu ada TSM, KKN, skenario, penyutradaraan yang menjadi program unggulan "mereka" demi tahta, jabatan, kekuasaan, tetap dalam genggaman "mereka" sampai ke dinasti anak cucunya.
Hajatan demokrasi yang "mahal", sekadar ritual dan formalitas, untuk kepentingan dan keuntungan siapa? Pakai anggaran siapa?
"Mereka" terus seperti semut di atas gula. Membuat skenario dan penyutradaraan sendiri. Membuat dan menciptakan masalah dan persoalan sendiri. Saat kepepet sahabatnya korupsi. Lengkap, deh.
Semoga, Pilkada serentak 27 November 2024, tidak termasuk dalam hal-hal yang saya bicarakan di atas. Semoga, meski tetap sebagai hajatan ritual dan formalitas, kepala daerah yang terpilih, adalah manusia yang amanah. Membawa kemaslahatan bagi rakyat. Tidak meneladani "mereka" yang terus membodohi RMMBP, agar otak dan hatinya merasa berutang budi. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H