Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Sumpah Pemuda dan Fairplay bagi Timnas U-17?

28 Oktober 2024   16:57 Diperbarui: 28 Oktober 2024   17:34 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hanya sekitar satu setengah jam sebelum memasuki detik-detik peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-96 di tahun 2024, publik sepak bola Indonesia, Asia, bahkan dunia, justru disuguhi permainan sepak bola yang tidak menjunjung fairplay, "permainan yang adil". Pasalnya, duel Indonesia vs Australia pada laga ketiga Grup G Kualifikasi Piala Asia U-17 2025 yang berlangsung di Stadion Abdullah Alkhalifa, Minggu (27/10/2024) malam WIB menjadi permainan "sepak bola gajah".

Ini merujuk pada pertandingan yang mempertemukan Indonesia vsThailand, yang dikenal sebagai War Elephant (Gajah Perang) di fase grup Piala AFF 1998. Kedua tim waktu itu tampil tidak serius karena diduga takut bertemu Vietnam di fase berikutnya.

Praktik main mata ini dilakukan untuk menyamakan skor antara satu tim dengan lainnya, atau sengaja menyerah. Tujuannya jelas, agar sebuah tim mendapatkan keuntungan untuk bisa menentukan posisi di klasemen.

Begitu pun saat laga Indonesia U-17 vs Australia U-17, ikut mempraktikan "sepak bola gajah" demi keduanya dapat lolos ke babak berikutnya. Merusak citra Indonesia dan Australia di dunia sepakbola.

Demi aman masuk fase berikutnya, Indonesia dan Australia di babak kedua tidak lagi melakukan jual beli serangan dalam koridor fairplay.

Sejatinya, sepak bola gajah tidak akan terjadi bila pelatih Indonesia tidak ikut-ikutan meladeni pelatih Australia yang pasti sudah menginstruksikan para pemainnya untuk bermain aman.

Nova justru ikutan main aman dengan mendiamkan para pemainnya dibawa arus pertandingan yang tidak fairplay.

Nova tidak mendidik

Sejak awal, saya sudah kurang respek kepada Nova yang menukangi Timnas Indonesia U-17. Sebagai pelatih Usia Muda, Nova bahkan tidak sekadar ikutan main medsos, tetapi malah suka mengumbar keburukan para pemainnya di medsos.

Nova pun saya anggap pelatih yang tidak cakap dalam pedagogi. Karenanya, saya pun mencatat, hanya sekitar 3-4 pemain Timnas U-17 yang cerdas intelegensi (I) dan personality (P).

Andai Timnas U-17 dihuni lebih banyak pemain yang cerdas I dan P, maka minimal 2 peluang emas di babak 1, pasti sudah menjadi gol dan Indonesia menang dan lolos tanpa harus ikutan bermain sepak bola gajah.

Dilansir oleh berbagai media, usai laga, Nova bicara:

"Saya pun malu dengan yang terjadi di lapangan malam ini, tetapi karena kalau kita kalah kami tidak lolos Piala Asia maka saya harus tahan malu itu dan tidak melakukan pressing. Pastinya terlihat tidak baik dan saya yakin pemain pun merasakan hal yg sama di lapangan."

"Tapi sekali lagi, target kita adalah lolos dan saya bersyukur dan percaya ini semua rencana Tuhan buat saya dan tim," Nova menjelaskan.

Maaf, Nova. Anda sudah mncoreng diri sendiri dan catatan sejarah kelam sepak bola Usia Muda Asia. Karena tidak punya malu. Menjual harga diri bangsa.

Apakah Anda yakin, bila tetap menyerang akan kalah dan tidak lolos? Hanya Anda yang bilang ini rencana Tuhan. Itu cuma rencana Anda yang tidak punya harga diri dan tidak tahu malu.

Tidak sesuai Sumpah Pemuda

Atas perilaku Timnas Indonesia U-17 dan pelatihnya yang ikut mendukung perbuatan tidak fairplay Auatralia, jelas merugikan beberapa tim dari negara lain, yang berharap, persaingan menjadi juara grup dan 5 runner-up terbaik diperoleh dengan adil. Dengan fairplay.

Bahkan, Nova pun melakukan tindakan tidak fairplay, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-96 di saat Indonesia krisis pendidikan karakter.

Anak-anak Indonesia di bawah usia 20 tahun banyak menghadapi masalah, termasuk Gen Z yang gagal di dunia kerja karena masih sangat bergantung kepada orang tua. Padahal anak muda adalah generasi yang potensial jika dididik dan diarahkan dengan benar.

Karenanya, bila tidak dilakukan intervensi yang benar untuk mendukung anak muda, maka anak muda semakin tidak memiliki daya saing di tengah zaman yang tidak mudah ini.

Perilaku bermain sepak bola dengan tidak fairplay, adalah salah satu contoh pembunuhan karakter generasi muda oleh generasi yang lebih tua. Yang seharusnya dapat mengarahkan dan mendidik.

Sebab, dengan sikap fairplay, maka akan nampak bagaimana sang pelatih dan timnya memiliki literasi dan skill kehidupan secara konvensional. Akan nampak pula kemampuan dan kompetensinya dari sudut kecerdasan I dan P.

Tidak paham makna

Sekali lagi, tidak fairplaynya Timnas U-17 di saat momentum Hari Sumpah Pemuda, menandakan bahwa Nova dan tim tidak paham fairplay dan makna sumpah pemuda yang sesungguhnya.

Peristiwa sepak bola gajah ini pun akan tetap tergores abadi. Bahkan meski Timnas Indonesia U-17 sukses di Piala Asia 2025, catatan buruk tidak fairplay akan terus menyertai.

Sekali lagi, tidak fairplay itu bukan rencana Tuhan. Tidak fairplay pun, MALU. Menciderai semangat Sumpah Pemuda, pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun