Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pelatih=Guru, Menuju Generasi Emas 2045, Berproses dengan Benar

12 September 2024   12:58 Diperbarui: 12 September 2024   13:14 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Pengakuan pemerintah, guru memenuhi syarat sebagai pengajar profesional, wajib lulusan S-1/D-4 dan pendidikan profesi guru (PPG) untuk kompetensinya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang akan didapatkan jika mengikuti PPG. Di luar ketentuan UU tersebut, seorang Guru wajib cerdas IQ, EQ, SQ. Pelatih=Guru, lho?

(Supartono JW.12092024)

Apakah generasi emas 2045 yang dicitakan oleh Pemerintah Indonesia hanya akan menjadi mimpi di siang bolong? Sekadar utopia, yaitu "sesuatu" yang sempurna, yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.

Tentunya, bicara generasi emas itu, tidak dapat dipilah-pilah. Tetapi berlaku di semua bidang dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Generasi emas 2045, utopia?

Bicara generasi emas, maka dari kehidupan berbangsa dan bernegara hingga Indonesia berusia 79 tahun, lihatlah sektor pendidikan kita.

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Di tahun 2024 sudah berusia 79 tahun. Mimpi generasi emas dicanangkan tahun 2045. Artinya, tersisa waktu 21 tahun lagi.

Apakah bukan utopia namanya, bila yang 79 tahun sudah dilalui, sektor pendidikan masih terpuruk. Anggaran besar untuk pendidikan, apakah yang diserap benar-benar untuk pendidikan. Jawabnya, tidak. Anggaran pendidikan, selama ini hanya untuk bancakan, meski dibuat aturan penggunaan yang jelas. Siapa yang membuat aturan? Ternyata bukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tetapi bunyinya, anggaran untuk pendidikan dari APBN 20 persen.

Apakah waktu 21 tahun bukan hal yang mustahil bagi pemerintah melahirkan guru-guru yang profesional untuk menyiapkan generasi emas 2045 dan kejayaan Indonesia di masa mendatang? Jawabnya, sepertinya, mimpi.

Sertifikasi formalitas, uang

Saya kutip dari Kompad.id (25/5/2024) Sekolah-sekolah mengalami kekurangan guru bersertifikat pendidik yang disyaratkan pemerintah sebagai guru profesional. Jumlah guru bersertifikat pendidik justru semakin menurun akibat minimnya lulusan pendidikan profesi guru dari perguruan tinggi.

Sertifikat pendidik tersebut dibutuhkan sebagai pengakuan pemerintah bahwa guru memenuhi syarat sebagai pengajar profesional, yakni lulusan S-1/D-4 dan pendidikan profesi guru (PPG).

Kendati sekolah-sekolah sudah diisi oleh guru yang memiliki sertifikat pendidik, pertanyaanya, benarkah guru bersertifikat tersebut terdongkrak kualitas kompetensinya sesuai syarat? Bagaimana praktik di lapangan? Masyarakat bisa menilai keberadaan guru di sekolah putra-putrinya. Peta pendidikan Indonesia di Asia Tenggara, Asia, dan Dunia, tetap terpuruk.

Artinya dengan proses PPG yang sesuai standar saja, tidak menggaransi seorang guru benar-benar akan berganti baju menjadi kompeten. Menanikan kualitas pendidikan yang melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Dan, nyatanya, secarik kertas bernama Sertifikat hasil PPG itu, menjadi sekadar formalitas. Plus, syarat untuk mendapatkan uang tambahan guru dari uang rakyat.

Lihatlah yang kasat mata, hasil pendidikan di Indonesia. Mulai dari rakyat jelata ada program tawuran pelajar, tawuran masa, "tawuran" akademisi dan politikus, hingga di kalangan elite partai hingga pemimpin negeri, sudah membuat keteladanan, tidak punya rasa malu, menanggalkan etika dan moral demi kepentingan dan keuntungan pribadi, dinasti, politik, golongan, oligarki, dan cukong.

Sebelumnya, dari laman Kemendikbud.go.id (16/5/2024) diungkapkan, berdasarkan data 2019 hingga 2023 lalu, perbandingan jumlah guru yang memiliki sertifikat pendidik mengalami penurunan. Pada 2019 jumlah guru bersertifikat pendidik sebanyak 1.392.155 guru sedangkan di 2023 jumlah tersebut menurun menjadi 1.274.486 guru.

Hal tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti: tingginya jumlah guru honorer nonsertifikasi pendidikan yang menyebabkan beban pendidikan profesi guru (PPG) semakin besar. Lalu, input guru bersertifikasi pendidik masih minim dan belum sepenuhnya mengisi kekosongan guru di setiap daerah. Selain itu, hingga saat ini belum terbentuknya ekosistem guru yang profesional dan mandiri di setiap daerah.

Demi 2045, transformasi

Hal yang ironis, demi percepatan pemenuhan guru bersertifikat pendidik menuju 2024, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan transformasi PPG dalam jabatan yang mendorong pemenuhan guru bersertifikat pendidik.

Bahkan, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbudristek, Nunuk Suryani menyampaikan, perlu adanya penyesuaian sertifikasi guru melalui pembaharuan sistem penyelenggaraan Program PPG yang berfokus pada perolehan sertifikat pendidik bagi guru dalam kondisi tertentu yang lebih efisien, dengan melalukan transformasi.Wah, luar biasa.

Demi percepatan pemerolehan sertifikasi guru pun, dilalukan jalan pintas. Seperti Erick Thohir menaturalisasi pemain agar sepak bola Indonesia berprestasi secara instan.

"Kalau tidak melakukan transformasi ini (PPG dalam jabatan) bisa sampai 2045 untuk 1,6 juta guru yang belum serdik (sertifikat pendidik), saat ini," ujarnya pada acara Kuliah Umum Arah Kebijakan Kemendikbudristek Terkait Pendidikan Profesi Guru di Kampus Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), di Kepulauan Riau, Rabu, (15/5). Wow, keren.

Hebatnya lagi, Nunuk menjelaskan, proses seleksi PPG dalam jabatan hanya seleksi administrasi saja, tidak lagi seleksi secara akademik. Kemudian pembelajaran PPG bagi guru yang aktif mengajar pada tahun 2023/2024 dilakukan secara daring melalui penugasan terstruktur dan pembelajaran mandiri yang ditempuh kurang dari satu semester. Khusus untuk guru yang sulit menjangkau internet, pembelajaran bisa dilakukan melalui Awan Penggerak, sebuah sistem berbasis server lokal sehingga dalam pemanfaatannya tidak terhubung jaringan internet.

Luar biasa bukan? Demi percepatan, sertifikasi guru pun dimudahkan dengan bahasa keren beranama transformasi. Yaitu perubahan berupa bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya.

Cara instan ini pun, dari sisi uji kompetensi, materi diselaraskan dengan materi pendidikan dan pengalaman mengajar para guru sehingga peluang mengikuti ujikom lebih besar.

"Kami (Kemendikbudristek) ingin kinerja guru berfokus pada siswa dan perubahan yang baik bagi siswa," kata Nunuk.

Selanjutanya, upaya potong kompas yang instan, transformasi PPG dalam jabatan malah diharapkan dapat mengisi kekosongan kebutuhan guru ke depan akibat dari banyaknya guru yang pensiun.

Lebih miris, kata Nunuk, transformasi PPG ini juga sebagai upaya dalam mewujudkan visi menjadikan profesi guru menjadi lebih bermartabat, terhormat, dan membanggakan.

Menjadikan guru sebagai pemimpin pembelajaran dan sebagai agen transformasi pendidikan. Dan terakhir sebagai upaya menghidupkan gotong royong dalam menciptakan ekosistem belajar guru dan tenaga kependidikan yang berdaya dan saling menguatkan. Benarkah demikian?

Apakah cara potong kompas dan instan meraih sertifikasi akan melahirkan guru berkompeten sesuai tujuan? Sedangkan guru tersertifikasi secara wajar dan normal saja, selama ini pendidikan Indonesia tetap terpuruk. Hanya menghasilkan SDM kuantitas. Bukan SDM berkualitas.

Dari berbagai perbincangan, baik di ruang diskusi akademik, media mass, media sosial, masyarakat susah menemukan sosok-sosok guru berkompetensi lengkap, dalam hal pedagogi, kepribadian, sosial, profesional. Lalu benar-benar cerdas IQ, EQ, dan SQ.

Yakinkah dengan kondisi yang ada, transformasi PPG akan membantu pemerintah melahirkan guru-guru yang profesional untuk menyiapkan generasi emas 2045 dan kejayaan Indonesia di masa mendatang?

Sepak bola adalah jawaban

Atas kondisi pendidikan formal yang hingga Indonesia berusia 79 tahun saja masih membuat kualitas SDM Indonesia tertinggal, maka bagaimana tidak SDM dalam sepak bola signifikan terpuruk, yang semua kelemahan pemain Timnas sudah diidentifikasi sendiri oleh Shin Tae-yong (STy), yaitu tidak cerdas teknik(T), intelegensi (I), personality (P), dan speed (S) alias (TIPS).

Temuan STy atas pemain Timnas yang lemah TIPS, pondasinya lemah I dan P, tentu sudah menjadi jawaban bahwa selama ini pola pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan kompetisi sepak bola di Indonesia dari akar rumput hingga Liga 1, sama saja disebut gagal.

Jawaban gagal pun ditunjukkan oleh duet Erick Thohir dan STy, yang bergerak cepat menaturalisasi pemain, pasalnya, dalam Kualifikasi Piala Dunia 2016, ronde 3, pemain binaan asli di negeri Indonesia hanya Rizky Ridho, Witan, Marselino, Egy, Arhan, dan Wahyu Prasetyo, yang baru diberikan menit bermain dalam dua laga versus Arab Saudi dan Australia, saling mengganti. Terselip oleh sembilan pemain yang di bina di negara lain.

Dari jawaban itu, dari sepak bola akar rumput hingga Liga 1, jelas dipertanyakan, apakah para pelatih dan pembinanya selama ini memenuhi syarat untuk melatih dan membina pemain? Sudah terjawab bahwa hanya berbekal praktisi dan sertiikat lisensi pelatih sepak bola, tidak signifikan bukan?

Lihatlah, Pemerintah yang membuat standar adanya pengakuan guru di sekolah formal saja yang memenuhi syarat sebagai pengajar profesional saja, wajib lulusan S-1/D-4 dan pendidikan profesi guru (PPG) untuk kompetensinya sejak dari usia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). 

Bahkan, dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 pasal 8, kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang akan didapatkan jika mengikuti PPG. Di luar ketentuan UU tersebut, seorang Guru wajib cerdas IQ, EQ, SQ.

Bukankah pelatih=guru? Jadi, apakah di sepak bola, pelatih sepak bola, khususnya di akar rumput (usia dini dan muda) yang obyeknya sama, siswa PAUD di sekolah formal, pelatihnya persyaratan pelatihnya akan terus diabaikan oleh PSSI, sekadar Lisensi D dan seterusnya, boleh?

Bila demikian, program naturalisasi pemain, sepertinya akan menjadi Program Unggulan PSSI Erick Thohir, dong.

Inilah peta Indonesia terkini, dalam dunia pendidikan, contoh konkrit SDM dalam sepak bola, rakyat jelata hingga pemimpin negeri yang bagaimana? Tetapi 21 tahun ke depan bercita-cita mewujudkan generasi emas 2045. Semoga tercapai. Bila berproses dengam benar. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun