SSB dasarnya sekolah. Apa yang dipikirkan ketika bicara sekolah. Apa, siapa, mengapa, kapan, di mana, bagaimana, sekolah itu? Apalagi kalau gaya-gaya-an pakai nama Akademi dan Diklat.
Namun, sejak nama SSB diresmikan, selama 25 tahun, dengan berbagai kelucuannya, meski yang berdarah-darah pendiri/pemilik SSB dan para orang tua murid. Siapa yang selama ini memetik dan mencomot hasilnya "gratisan" malah "bayar"? Padahal SSB tidak pernah dibuat kejelasan tentang fungsi dan kedudukannya.
Lebih memprihatinkan, sebelum Erick Thohir mengajarkan dan mendidik bangsa ini bagamana meraih prestasi secara instan, jauh sebelumnya, di antara waktu seperempat abad itu, sudah banyak bermunculan Erick Thohir-Erick Tohir yang lain di Indonesia.
Punya "modal" atau dekat dengan orang/pihak "berpengaruh/pejabat/pemodal", maka mendirikan wadah SSB/Akademi/Diklat, tetapi merekrut siswa dengan instan. Comot sana-sini, siswa yang sudah dibina SSB lain, yang diimingi orang tua dan siswanya. Sehingga, di Indonesia pun lahir candaan: "anak seribu bendera". Karena ambisi orang tua yang bergayung sambut dengan pembina instan, maka siswa sangat mudah loncat ke wadah SSB di sana dan di sini. Demi prestasi. Lebih hebatnya lagi, semua ada iming-iming menuju ke pemain Timnas. He he.
Di sisi lain, selama ini, siapa pemetik yang suka memanen hasil tanaman SSB, tapi tidak menanam? Jawabnya:
Siapa lagi kalau bukan Klub dan PSSI. Programnya SELEKSI TERBUKA. Ha ha ha (saya selalu tertawa). Lihatlah, Timnas terkini yang diasuh oleh Nova Arianto, Indra Sjafri, dan Shin Tae-yong, siapa tulang punggung pemainnya? Jawabnya JEBOLAN SSB.
Indra Sjafri rasakan peran SSB
Bahkan, Indra Sjafri sendiri dalam obrolan santai via WA dengan saya, Minggu (1/9/2024) menyebut bahwa:
"Kultur sepak bola Indonesia adalah SSB. Brasil kultur sepak bola jalanan."
"Saya merasakan sendiri SSB sangat berperan." Ujar Indra Sjafri.
Adakah Erick Thohir tergerak hati, berpikir bahwa yang instan itu tidak akan pernah abadi?