Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memahami Mengapa dalam Candaan, Harga Otak Orang +62, Mahal?

13 Agustus 2024   12:27 Diperbarui: 13 Agustus 2024   18:59 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Tidak melalui tes pun, ciri-ciri  seseorang yang cerdas IQ dapat dilihat oleh orang lain dari sikap, perbuatan, perilaku, dan tindakannya dalam perikehidupan sehari-hari sesuai hal yang ditekuni. Normalnya, orang yang cerdas IQ plus cerdas spiritual (SQ), akan signifikan cerdas emosional (EQ).


(Supartono JW.13082024)

Ramai tentang berita pemain timnas sepak bola Indonesia ada yang rendah intelektual, berikut ini, saya sempatkan mengulas tentang kecerdasan otak, hati, dan spiritual orang Indonesia, yang memang faktanya secara umum masih rendah, tercecer dari negara lain, bukan hanya di bidang sepak bola. Tetapi memang terjadi di semua lini kehidupan.

Otak orang +62 bahan candaan

Bila kita sekadar ketik di google: "Otak Orang Indonesia", maka akan muncul banyak sekali artikel yang serius membahas tentang otak. Rata-rata ada berjudul "Otak Orang Indonesia mahal". Bahkan tentang otak orang Indonesia malah mejadi bahan anekdot sampai bahan lawakan seperti di stand up comedy.

Mengapa tentang otak ini, orang-orang Indonesia sendiri malah menjadikannya sebagai bahan candaan? Salah satunya, misalnya,  saya kutip dari santripos.com, ada anekdot:

"Pada suatu hari di sebuah rumah sakit di Amerika, sedang terjadi transaksi otak manusia untuk digunakan sebagai riset para ahli dalam bidang sains dan teknologi cyborg. Kebetulan stok otak yang tersedia cuma tinggal tiga dan masing-masing otak berasal tiga negara berbeda, yaitu dari Jepang, Amerika dan Indonesia. Pihak rumah sakit menawarkan harga yang berbeda-beda.

Dokter : "ketiga otak ini masih segar dan tidak terkontaminasi dan layak digunakan untuk riset anda, silahkan pilih yang mana?"

Periset : "dokter, dana saya cukup banyak, maka saya minta otak yang paling mahal"

Dokter : "kalo begitu saya rekomendasikan anda untuk mengambil otak orang Indonesia!"

Periset : "Alasannya?" tanya si periset heran

Dokter : "Masalahnya otak orang Amerika dan Jepang sudah terlalu sering dipakai, sedangkan otak orang Indonesia jarang dipakai, jadi dijamin lebih original !"

Otak orang +62 mahal

Mengapa tentang otak orang Indonesia sampai menjadi bahan candaan, tentu ada sebabnya, ada latar belakangnya.

Pada tahun 1995, saya mengikuti seminar pendidikan tentang otak di salah satu Kampus ternama di Jakarta. Bahkan "Makalah Seminar tentang Otak" itu, masih tersimpan di lemari perpustakaan saya hingga saat ini. Secara umum, seminar membahas tentang keberadaan dan fungsi otak manusia dari A sampai Z.

Salah satu pembicara, ternyata menyampaikan perihal otak orang Indonesia mahal. Dia adalah Peter Drost. Peter Drost, lengkapnya Drs. Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost S.J. (Lahir 1 Agustus 1925 -- Meninggal, 19 Februari 2005). Akrab dipanggil Pater Drost adalah salah satu tokoh pendidik dan pembelajar yang banyak memberikan sumbangan pemikiran dalam pembaharuan dunia pendidikan Indonesia. Pemikirannya selalu segar dan bermakna demi kemajuan pendidikan Indonesia.

Dalam seminar, dengan makalahnya, Drost membeberkan tentang betapa vitalnya fungsi otak (kanan dan kiri) bagi kehidupan manusia. Drost pun mengungkap fakta berdasarkan hasil beberapa penelitian, menyimpulkan bahwa otak orang Indonesia jarang digunakan, sehingga masih mulus, putih.

Karenanya, saat itu, Drost menyebut bahwa otak orang Indonesia, bila dijual harganya mahal dibandingkan dengan otak dari orang-orang di negara lain.

Selanjutnya Drost pun memberikan kesimpulan dari hasil penelitian bahwa Indonesia saat itu dalam berbagai hal, terutama di bidang pendidikan, tertinggal 10 tahun dari negara lain. Saat itu tahun 1995, ambil contoh semisal dibandingkan dengan negara Jerman, karena tertinggal 10 tahun, maka pendidikan Indonesia masih berkutat di pencapaian terpuruk, walau pun sudah tahun 1995, pendidikan di Indonesia masih sama dengan tahun 1985, sementara Jerman 10 tahun lebih maju.

Lebih parah, dalam setiap tahun, negara lain percepatan kemajuan pendidikannya dalam setahun bisa 2-3 tahun lebih maju. Tetapi Indonesia, dalam setahun berkutat di situ-situ saja. Seperti aroma bau kentut di ruangan ber-AC.

Bila Jerman saat itu sudah meninggalkan Indonesia 10 tahun lebih maju, maka saat Indonesia mengejar Jerman, karena dalam setahun mereka lebih cepat 2-3 tahun. Maka, butuh berapa tahun Indonesia mengejarnya?

Drost pun mengungkap, beberapa negara tetangga di Asia Tenggara, awalnya menjadikan Indonesia untuk tujuan belajar rakyat mereka. Tetapi pada akhirnya, malah terbalik, Indonesia kini belajar kepada negara tetangga.

Apa yang disampaikan Drost adalah fakta, pasalnya saat tahun 1987, di kelas kuliah saya, ada beberapa mahasiswa/i yang berasal dari negera tetangga, dibiayai oleh negaranya untuk belajar kepada Indonesia.

Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia terkini, 2024? Setelah 29 tahun sejak seminar 1995? Apakah pendidikan Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya dari negara lain. Semisal dari negara tetangga Asia Tenggara, khusus yang berkaitan dengan kinerja otak?

Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia masih berada di peringkat 68 dari 81 negara, peringkat buncit dari negara Asia Tenggara, dengan skor; matematika (379), sains (398), dan membaca (371).

Hasil tersebut membuktikan, terkait kecerdasan otak, Indonesia masih tercecer.

Kecerdasan otak (IQ)

Untuk memastikan seseorang cerdas otak, selain dapat dilihat dari ciri-cirinya adalah meggunakan tes intelligent quotient (IQ), maka akan didapatkan hasil pengukuran dari kecerdasan kristal, yaitu kecerdasan yang terbentuk atas proses pembelajaran dan pengalaman hidup.

Karenanya, IQ akan menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir, mengolah, menguasai lingkungan, dan bertindak secara terarah. Sebab, IQ memiliki kaitan yang erat dengan pemecahan masalah logika, matematis, dan strategis. Dan, faktor genetik memiliki peran yang besar dalam pembentukan IQ.

Itulah sebabnya, tingkat kecerdasan IQ seseorang tidak jauh berbeda ketika masih kecil hingga dewasa. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal lain yang memengaruhi tingkat kecerdasan intelektual seseorang berkembang, karena pengaruh lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat selama proses akademik (belajar formal di sekolah/kuliah.

Bagaimana dengan orang yang mendapat pengaruh buruk dari lingkungan dan tidak mendapat asupan ilmu pengetahuan yang didapat dari proses akademik? Inilah yang selama ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemimpin negeri ini. Tetapi jelang 79 tahun Indonesia merdeka, pendidikan yang seharusnya mencerdaskan manusia, hingga otaknya menjadi murah karena dipakai untuk berpikir, bekerja, kritis, kreatif, inovatif, dan lainnya, masih sekadar harapan.

Lihatlah, betapa para pemimpin di negeri ini, hanya sibuk mengurus kepentingan diri, keluarga, dinasti, kroni, kelompok, golongan, partai, oligarki, hingga cukongnya, untuk jabatan, kedudukan, kekuasaan, hingga bancakan uang rakyat,  bukan amanah untuk rakyat.

Atas kondisi ini, orang-orang Indonesia pun dapat di petakan kecerdasan otaknya (IQ), kecerdasan emosinya (EQ), dan kecerdasan spiritualnya (SQ). Lalu, dapat diketahui, mengapa otak orang Indonesia itu mahal.

Dikutip dari Very Well Mind, menurut psikolog Harvard Howard Gardner, ada delapan jenis IQ manusia, yaitu:
(1) Kecerdasan linguistik (verbal-linguistic)
(2) Kecerdasan matematik atau logika (logical-mathematical)
(3) Kecerdasan spasial (visual-spatial)
(4) Kecerdasan kinetik dan jasmani (bodily-kinesthetic)
(5) Kecerdasan musikal (music-rhythmic and harmonic)
(6) Kecerdasan interpersonal (interpersonal)
(7) Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal)
(8) Kecerdasan naturalis (naturalistic).

Nah, dari (8) jenis kecerdasan IQ itu, kira-kira apakah ke-8nya itu saya sudah cerdas? Tentu dengan refleksi, melihat diri, evaluasi diri, akan didapat jawabannya.

Orang-orang yang teridentifikasi memiliki sikap baik di mata masyarakat, maka dapat dipastikan mereka adalah orang-orang yang cerdas emosional (EQ). Dasarnya, tentu karena cerdas IQ karena faktor genetik, pengaruh lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat selama proses akademik (belajar formal di sekolah/kuliah).

Apakah selama ini, saya juga sudah termasuk orang yang cerdas EQ? Tentu dengan refleksi, melihat diri, evaluasi diri, akan didapat jawabannya.

Apakah selama ini, saya juga sudah tergolong orang yang cerdas spiritual? Dengan refleksi, melihat diri, bercermin, evaluasi diri, akan didapat jawabannya.

Bagaimana dengan peta kecerdasan IQ, EQ, dan SQ manusia Indonesia? Bila selama ini kecerdasan IQ orang Indonesia menjadi bahan candaan, meski faktanya benar bahwa otak orang Indonesia masih mahal bila dijual karena sebabnya latar belakang genetik, karena pengaruh lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat, sebab masih banyak rakyat yang belum menikmati proses akademik (belajar formal di sekolah/kuliah). Bahkan yang sudah sekolah/kuliah saja masih tidak cerdas IQ, EQ, dan SQ karena gagal dalam proses pendidikan.

Dengan demikian, siapa orang Indonesia yang dapat dipastikan bila otaknya dijual, hatinya dijual, dan pemahaman spiritualnya harganya sudah murah? Tidak mahal? Rakyat yang sudah cerdas IQ, EQ, dan SQ dapat menjawabnya.

Karena orang-orang tersebut justru memanfaatkan kecerdasan otak, hati, dan spiritual untuk membodohi orang lain, untuk berbuat licik, curang, menanggalkan etika, moral, dan berbuat tidak amanah.

Apakah saya, diri kita, mau ikutan masuk golongan orang-orang yang kecerdasan otak, hati, dan spiritualnya bila dijual, harganya mahal? Atau murah? Orang yang pondasinya cerdas IQ, EQ, dan SQ, tentu dapat memilih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun