Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

1446 Hijriah, Polusi Pragmatis, dan Menjadi Manusia yang Menghargai

7 Juli 2024   14:24 Diperbarui: 7 Juli 2024   15:29 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Bila Anda menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", sejatinya Anda sedang memerenkan diri sebagai manusia yang belum cerdas. Bodoh/miskin/lemah otak/pikiran (intelegensi) dan Miskin/lemah hati (personality).

(Supartono JW.07072024)

Momentum cerdas, bertambah taqwa

Sesuai Kalender Hijriah yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag), tanggal 1 Muharram 1446 Hijriah jatuh pada Minggu, 7 Juli 2024. Sementara, malam 1 Suro diperingati pada malam hari setelah Maghrib sebelum tanggal 1 Suro. Ini berarti malam satu suro berlangsung sehari sebelum 1 Muharram yaitu pada Sabtu (6/7/2024).

Untuk itu, khususnya bagi Umat Islam, dan umumnya bagi Umat beragama lainnya, semoga sejak Minggu (7/7/2024), menjadi momentum, pijakan untuk kita semua, menjadi manusia yang bertambah cerdas dan bertambah ketaqwaannya. Yaitu, semasa masih bernafas, senantiasa dapat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Arti taqwa tersebut merujuk pada kata waqa-yaqi-wiqayah dalam bahasa Arab yang berarti memelihara atau menjaga diri. Kata waqa memiliki makna melindungi sesuatu, yaitu melindungi dari berbagai hal yang membahayakan dan merugikan.

Karenanya, tidak akan termasuk golongan manusia yang pragmatis menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", sebab, sejatinya, itu sama saja, saya, kita, sedang memerenkan diri sebagai manusia yang belum cerdas. Bodoh/miskin/lemah otak/pikiran (intelegensi) dan Miskin/lemah hati (personality).

Di awal tahun baru ini pun, pada umumnya, Umat Muslim, berdoa yang artinya:

"Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan."

+62 polusi pragmatis hebat

Hingga di akhir tahun Islam 1445 Hijriah, saya mencatat, di +62 ternyata terus terjadi polusi pragmatisme yang hebat. Tertinggal dan terus tercecernya  rakyat Indonesia dari dunia pendidikan yang seperti disengaja, sulit bagi kita membedakan mana manusia yang sudah terdidik dan belum terdidik. Terlebih, banyak manusia berlindung dibalik ketaatan beragama, tetapi perilakunya jauh dari ajaran agama untuk topeng.

Sangat mudah di negeri ini, kita temukan aktor dan aktris kehidupan yang demikian. Yang demikian itulah manusia-manusia Indonesia yang terakreditasi memiliki kompetensi perilaku pragmatisme.

Perilaku pragmatisme adalah sifat atau ciri seseorang yang cenderung berpikir praktis, sempit dan instant. Orang yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berpikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama.

Orang yang berperilaku pragmatis, belum terdidik, belum cerdas, miskin hati, maka sangat mudah menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", dan lainnya.

Orang yang berperilaku pragmatis, sudah terdidik, sudah cerdas, miskin hati, maka akan licik, sangat mudah menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu", dan lainnya.

Bila ditelisik secara komprehensip, saya malah menyebut, sebagian besar manusia Indonesia yang seharusnya menjadi teladan di negeri ini, justru sudah terjangkit polusi pragmatisme yang maha hebat di setiap jiwa (pikiran dan hati) yang terpancar cerminannya dalam praktik di semua lini kehidupan?

Sampai-sampai, demi ambisi tahta, harta, dinasti, oligarki, putus urat malunya. Ada yang menelanjangi diri dengan perilaku asusila. Ada yang mengabaikan moral, etika. Padahal statusnya, seharusnya menjadi panutan, teladan.

Lihatlah! Dalam lingkungan keluarga, pertemanan, persahabatan, masyarakat, perkumpulan, kekeluargaan, organisasi masyarakat,  instansi, institusi, parlemen, hingga pemerintahan. Dari rakyat jelata hingga yang menganggap dirinya kaum elite/sultan. Semua kini sulit membedakan mana yang sudah terdidik dan mana yang belum terdidik. Mana yang benar-benar beragama, bukan bertopeng.

Jiwa-raga, budi-hati

Terkait polusi pragmatisme ini, diberbagai media pun ramai menulis tentang apa yang diresahkan oleh Ketua Umum sebuah Partai Politik, yang juga sosok negarawati di Indonesia.

Apa yang diresahkan sosok ini, secara obyektif, sesuai fakta yang sudah saya ulas, pernyataannya: saya sangat setuju.

Sebagai rakyat jelata, saya juga berterima kasih karena sudah diingatkan tentang makna dari tiga stanza pada lagu kebangsaan "Indonesia Raya" yang selama ini "TERABAIKAN".

Stanza pertama: membangun jiwa dan badan karena tidak bisa membangun badan jika tidak ada jiwa.

Stanza kedua: terkandung spiritualitas kebangsaan, bahwa kita, sadarlah budinya, sadarlah hatinya.

Terkait dengan stanza kedua tersebut, sangat benar bahwa manusia Indonesia sekarang, dalam masalah etika, moral, dan hati nuraninya sangat-sangat memprihatinkan.

Pijakan

Momentum tahun baru Islam, 1 Suro, jadikanlah pijakan agar saya, kita, tidak menjadi golongan manusia yang berpola pikir dan berperilaku pragmatis.

Jangan bersandiwara di hadapan orang lain tentang jiwa, raga, budi, hati yang sekadar akting dan topeng. Dijauhkan menjadi manusia yang mudah menyepelekan, meremehkan, merendahkan, tidak menghargai  "sesuatu" demi untung dan kepentingan sendiri. Apalagi mengabaikan  etika dan moral. Membohongi hati nurani sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun